Benarkah Perhutanan Sosial Upaya Menjaga Peradaban Indonesia?

 

 

Apa yang terjadi jika hutan di Indonesia habis? Bukan hanya melahirkan persoalan ekologi, sosial, dan ekonomi, juga hilangnya peradaban luhur yang melahirkan bangsa ini. Benarkah perhutanan sosial merupakan upaya menjaga peradaban tersebut?

“Skema perhutanan sosial adalah mempertahankan hutan dengan cara membangun hubungan dengan manusia,” kata Safredo dari The Zoological Society of London (ZSL) dalam diskusi terbatas mengenai perhutanan sosial di Sumatera Selatan, di Palembang, pekan ketiga Oktober 2017.

“Kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia salah satu dampaknya adalah habis dan rusaknya sumber kekayaan alam, khususnya hutan di Indonesia. Bangsa yang pernah berjaya di masa lalu ini mengalami kemunduran yang kita rasakan hingga sekarang,” katanya.

Banyak penelitian membuktikan rusak dan habisnya hutan diikuti dengan kemiskinan dan berbagai persoalan sosial yang dialami masyarakat di desa atau sekitar hutan. “Oleh karena itu, perhutanan sosial harus dipahami sebagai upaya menjaga dan melestarikan hutan yang masih tersisa, alangkah idealnya mengembalikan hutan yang sudah rusak,” katanya.

Melihat sejarah bangsa ini, kata Safredo, sebagaimana Kerajaan Sriwijaya mampu memaknai hutan sebagai sesuatu yang terjaga meskipun dimanfaatkan, tidak ada catatan atau bukti sejarah yang memperlihatkan Kerajaan Sriwijaya merusak bentang alam. Yang ada justru sebaliknya, Raja Sriwijaya memerintahkan rakyatnya untuk membuat bendungan, kolam-kolam, serta menanam sejumlah tanaman yang baik untuk lingkungan dan dapat dimanfaatkan manusia secara berkelanjutan. “Ini tercermin dari Prasasti Talang Tuwo,” jelasnya.

Prasasti tersebut dibuat pada saat pembuatan Taman Sriksetra yang lokasinya berada di wilayah barat Palembang saat ini. “Taman” yang dimaksud oleh Raja Sriwijaya, kata Safredo, bukanlah taman dalam pengertian miniatur atau demplot dari keindahan alam. “Taman yang dimaksud merupakan lansekap atau bentang alam, yang mampu menghidupi semua makhluk hidup. Bayangkan, taman itu juga menjadi koridor gajah, badak dan harimau,” jelasnya.

Sebagai informasi, pemerintah menargetkan sekitar 600 ribu hektare perhutanan sosial di Sumatera Selatan. Dari angka tersebut baru terwujud 10 persen. Guna melakukan percepatan target, Pemerintah Sumatera Selatan kemudian membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Tim Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Selatan (PPSS), akhir Maret 2017. Pokja ini dipimpin Guru Besar Universitas Sriwijaya Dr. Robiyanto Susanto. Baru beberapa bulan memimpin, Robiyanto meninggal dunia yang diduga terkena serangan jantung

Sampai saat ini, Pemerintah Sumatera Selatan belum mengeluarkan surat keputusan baru, yang menetapkan posisi Ketua Pokja Tim PPSS yang baru. “Siapa pun yang ditunjuk Gubernur Sumsel sebagai ketua, kita harus bekerja sama dan melanjutkan tahapan kerja yang sudah dilakukan selama kepemimpinan Pak Robi,” kata Syafrul Yunardy, Wakil Ketua Pokja Tim PPS Sumsel.

 

Perhutanan sosial mendorong masyarakat Semende menanam kopi di antara tegakan hutan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Bentang alam yang harus diselamatkan

Diperkirakan, Sumatera Selatan memiliki berbagai lanskap, yang ditandai dengan keberadaan sungai, pegunungan, atau pantai. Sungai, antara lain Musi, Komering, Ogan, Lematang, Enim, Rawas, sementara pegunungan adalah Pasemah, dan pantai yaitu Mesuji, Tulungselapan, dan Sungsang. Setiap bentang memiliki karakter, yang dilahirkan dari hubungan antara manusia dengan kondisi alam yang sama. “Menariknya, masyarakat atau manusia pada setiap lansekap sangat menghormati satwa yang saat ini mulai terancam seperti gajah dan harimau,” kata Safredo.

“Diperkirakan, pada masa Kerajaan Sriwijaya maupun Kerajaan Palembang komoditas dari setiap bentang alam ini yang diperdagangkan di Nusantara atau Timur Tengah dan Asia. Bukan komoditas yang dipaksakan pada setiap lanskap,” kata Safredo.

Namun sejak kolonialisme masuk ke Nusantara hingga era moderenisasi, ada upaya penyeragaman komoditas atau eksplorasi kekayaan alam berlebihan. Dampaknya terjadi perubahan bentang alam dan kebudayaan yang terbentuk sebelumnya. Komoditas itu mulai dari teh, karet, damar, migas, hingga padi, sawit, HTI dan batubara.

“Bentang alam itu pun kini tinggal penyebutan atau hanya tersisa identitas manusia yang berasal dari wilayah tersebut. Kearifan terhadap alam pun nyaris tidak ada lagi,” lanjutnya.

Bagaimana caranya mengembalikan keberadaan bentang alam tersebut? Kembalikan hutannya, dan komoditas dihasilkan berdasarkan karakter alam dan kearifan masyarakat. “Peluang ini mungkin dapat dijalankan atau diwujudkan melalui perhutanan sosial. Mengembalikan taman-taman Sriksetra di wilayah Kerajaan Sriwijaya, yang wilayahnya bukan hanya di pegunungan, juga pesisir seperti di sekitar lahan gambut,” ujarnya.

 

Pemukiman warga di sekitar lahan gambut yang selama ini terbakar di Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Berlian Pratama

 

Dukungan semua pihak

Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus (Pilar Nusantara), sebuah lembaga yang melakukan pemantauan batubara dan penguatan masyarakat yang ikut perhutanan sosial, setuju dengan pemikiran Safredo. “Oleh karena itu, tidak ada alasan dari pihak mana pun untuk menolak program perhutanan sosial jika mereka setuju mengembalikan kejayaan bangsa ini seperti di masa Kerajaan Sriwijaya. Mereka harusnya berlomba memberikan arti dan bekerja,” katanya.

Pemerintah Sumatera Selatan sendiri sudah memberikan dukungannya dengan membentuk Pokja Tim PPSS. Tinggal bagaimana pemerintah daerah (kabupaten dan kota), lembaga pemangku kepentingan atas hutan dan lahan, legislatif, pelaku usaha, turut mempercepat proses perhutanan sosial ini. Bukan sebaliknya.

“Perhutanan sosial tidak akan terwujud dengan cepat dan meluas jika kebijakan pemerintah hanya mengandalkan masyarakat dan lembaga non-pemerintah. Kita butuh semua kekuatan karena ini menyangkut alam dan manusia, yang bukan untuk hari ini, juga masa mendatang,” ujarnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,