Jalan berliku masih mengiringi nasib pekerja tani. Ditengah gembar – gembor pembanguan yang menyilaukan. Mereka tetap setia mengayuh cangkul, menebar benih dan merawat asa untuk menyambung hidup.
Datim (54), warga Desa Cidahu, Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jawa Barat sudah bertani sejak tahun 1970. Hampir separuh umurnya dipakai dalam peraduan sebagai petani. Suka dan duka tidak begitu dihiraukannya. Asalkan panen bagus dan tidak rugi, itu sudah mewakili segenap perasaannya.
“Saya memiliki lahan garapan sekitar 500 bata (7000 meter persegi). Tiap panen sekitar 3,5 ton gabah tergantung cuaca dan pasokan air. Nantinya hasil akan dibagi dua bersama pemilik lahan. Tetapi harga sering tidak tentu, jadi untuk penghasilan kadang tidak tentu,” kata Dia kepada Mongabay, Selasa (24/10/2017).
Ditempat lain, Sarif (52), petani di Gedebage, Kota Bandung mengaku pasrah bila suatu saat harus beralih profesi. Pasalnya, lahan yang digarapnya milik sebuah perusahaan. Dia hanya menggarap lahan seluas 400 meter persegi.
“Saya menggarap lahan bersama istri lumayan ngurangin ongkos. Anak kami sudah tidak ingin jadi petani. Entahlah,” kata Sarif. Selagi masih ada lahan dirinya masih mau menggarap untuk mecukupi kebutuhan sehari – hari.
Data Kementerian Pertanian menunjukan produksi padi naik tiga tahun terakhir. Dari 70,8 jutan ton gabah kering giling (GKG) pada 2014, lalu 75,4 juta ton pada 2015, dan 79,1 juta ton di 2016.
Dengan kebutuhan beras 31,9 juta ton tahun 2015, Indonesia surplus 11,3 juta ton karena produksi mencapai 44,7 juta ton per tahun.
Jika angka itu benar, semestinya melegakan. Apalagi, selama ini sebagian kebutuhan beras dipenuhi masih dari impor. Namun, selama 2012 – 2016, rata – rata keran impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih mengalir, yaitu mencapai 1,03 juta ton.
Petani Dan Kehilangan Lahan
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menilai, kondisi sektor pertanian kian terdegradasi. Hal yang mendasari adalah pekerjaan tani tidak lagi dirilik lantaran persoalan kesejahteraan. Hal itu juga memicu terjadinya penurunan jumlah rumah tangga tani.
Menurutnya berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS), rumah tangga tani berada dikisaran 26,1 juta pada 2003. Diperkirakan sekitar 500.000 rumah tangga tani berkurang setiap tahunnya. Bila dihitung 4 tahun terakhir saja, 2 juta rumah tangga tani telah melepas perkakas dan enggan pergi ke ladang.
Selain itu bila mengkaji data BPS secara detail pada 2003 -2013, tejadi peralihan lahan pertanian ke lahan bukan pertanian, sebesar 508.000 hektar atau lebih dari setengah juta hektar.
Imbasnya, kemauan berusaha di bidang pertanian semakin minim. Lantas, pertanian dipandang bukan sebagai sesuatu yang menarik. “Karena tidak menarik maka ditinggalkan. Jelas, tidak menarik secara ekonomi,” kata Dwi saat dihubungi Mongabay, beberapa waktu lalu.
Survey BPS tahun 2014 menunjukan pendapatan rata – rata keluarga tani di Indonesua hanya dikisaran Rp 1.050.000/ bulan. Dampak lainnya adalah regenerasi pelaku tani kian sepi peminat.
Dwi menambahkan, keberadaan petani muda kurang dari 30 tahun jumlahnya hanya 8% saja. Malah justru pahlawan pangan ini didominasi oleh kaum tua diatas 50 tahun. Fenomena ini mengisyarakatkan bakal terjadi pemerosotan human capital di sektor pangan secara signifikan.
Kondisi ini sudah barang tentu sangat bisa memicu meluasnya konsersi lahan. Karena nyatanya bukan lagi petani yang memiliki lahan, melainkan pihak lain. Situasi ini membuat lahan menjadi spekulatif. Artinya, daya guna lahan pertanian tidak lagi diperhitungkan.
“Apalagi kalau posisi lahan tersebut berdekatan dengan perkotaan atau wilayah potensial ekonomi. Pasti akan beralih. Kondisi ini akan terus terjadi dan harus sesegera antispasi,” paparnya.
Dikatakan Dwi, Kabupaten Karawang, misalnya, secara data menunjukan kawasan tersebut merupakan lumbung padi tertinggi di Jawa Barat. Tetapi kini, hampir 80% sudah dipastikan lahannya tidak untuk usaha – usaha pertanian.
Di satu sisi, salah satu penyebab terjadi konversi lahan berasal dari sikap pemerintah sendiri yang tidak tegas mengatur tata guna lahan. Padahal regulasi telah dirancang, misalnya, UU Nomor 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Pangan Berkelanjutkan.
“Pertanyaan besarnya, apakah regulasi ini dijalankan oleh pemerintah daerah?,” tanya Dwi.
Dipelbagai daerah acapkali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak berpihak pada pertanian. Zona merah atau lahan produktif seiring waktu berubah fungsi dan menyusut.
Pemerintah daerah berdalih Pendapatan Asli Daerah (PAD) maksimum tidak bisa diperoleh lewat pertanian. PAD akan diraih lebih besar bila dihasilkan dari non pertanian seperti pengembangan industri dan jasa ataupun pertambangan.
Semestinya, terang dia, pemerintah memiliki roadmap pembanguan yang dituangkan dalam RDTR dan RPJMD. Agar pembangunan wilayah menjadi terukur dan terstuktur dengan tanpa mengesampingkan potensi pertanian.
“Kalau pemerintah tidak menyadari dan berusaha mempertahankan wilayah pertanian. Ancaman peralihan lahan pertanian bisa mengacam urusan pangan kita yang kini sudah mengkhawatirkan,” tegas Dwi.
Darurat Agraria
Problematika agraria sudah menjadi problem yang mendasar. Di negara tongkat kayu pun jadi tanaman, reforma agraria selalu dihembuskan bak harapan. Padahal mayoritas rakyat telah menggantungkan hidup dan harap dari hasil mengolah tanah.
Peneliti Agrarian Resource Center Dianto Bachriadi kepada Mongabay di Bandung mengatakan, masalah agraria hanya ada dua. Pertamn, ketimpangan. Kedua, konflik. Dua hal ini menjadi masalah pokok sebab merunut pada keadilan.
“Darurat agraria sudah lama terjadi, dimulai sejak orde baru berkuasa. Hari ini, darurat agraria kian nyata jika melihat angka konfilk dan gap ketimpangan makin melebar,” kata Dianto seusai acara lauching buku Pusaka Agraria di Kampus Unpad, Dago.
Politicall will yang dijalankan terkesan tidak sungguh – sungguh menyelesaikan problematika ini. Reforma agraria yang digaungkan pun sebatas berkutat pada situasi monoton. Sejauh ini pemerintah belum mengambil langkah komperhensif. Kecuali mengeluarkan kebijakan parsial dan retorika belaka.
Seperti swasembada padi, Indonesia hanya satu kali di tahun 1986. Catatan menunjukan satu tahun berikutnya sudah tidak terjadi demikian.
“Swasembada artinya kan produk domestik memenuhi kebutuhan domestik. Kalau kita pakai perhitungan itu, selama ini kita masih importir untuk memenuhi kebutuhan domestik. Trennya kan sekarang agar swasembada diatasi dengan impor. Dan swasembada tidak akan tercapai di tengah konflik agraria,” ucapnya.
Geliat pembangunan tanpa mempertimbangan permasalah agraria menimbulkan konflik struktural. Sehingga memuculkan pertanyaan urgensi infrakstruktur itu untuk masyarakat yang mana? Jika pemerintah hanya memfasilitasi para pemodal menguasai lahan.
Dikhawatirkan dalam kebijakan yang dihadirkan akan terkominasi oleh oligarki dan kapital. Dianto mengatakan, “Saya beprinsip situasi ini tidak akan terselesaikan.”
Padahal, reforma agraria berbicara penyelasaian jangka pendek dengan efek jangka panjang.
“Para ahli agraria sudah bersepakat dan berkomitmen bahwa reforma agraria yang tidak dijalankan prinsip – prinsip keharusan membereskan persoalan tadi, tidak akan selesai. Selanjutnya, mesti ada pembatasan penguasaan lahan dan redistribusi lahan kepada petani,” kata Dianto.
Dia mengatakan, dewasa ini akan jadi konflik terhadap proyek – proyek infrastruktur dan energi. Kedepan konflik itu akan dipicu oleh pengadaaan tanah untuk korporasi – korporasi.
Harus jadi catatan, semangat pemerintah membangun jangan sampai mengabaikan kepentingan rakyat yang notabene adalah pekerja tani. Jangan sampai nasib petani hanya numpang hidup di negara agraris.