Menikmati Surga di Ujung Halmahera

 

Langit cerah kebiruan. Hembusan angin menerpa wajah, menepis terik matahari di ujung utara Halmahera. Siang itu, 8 Oktober 2017.

Di sepanjang Pesisir Teluk Kao menuju Tobelo, terhampar pemandangan menyejukkan mata. Sekaligus menghilangkan penat tubuh.

Begitu tiba di Desa Sosol, Malifut, terlihat bangkai kapal perang Jepang yang pernah berjaya, kemudian ditenggelamkan sekutu di pangkalannya, Teluk Kao. Kapal Toshimaru, kapal perang ini, jadi saksi perang dunia, yang menyentuh wilayah ini.

Menurut penuturan warga, bangkai kapal ini sejak 1944 usai pemboman dari pesawat Amerika Perang Dunia II. Mereka, menduga, kapal itu sebagai pengangkut logistik kekaisaran Jepang yang saat itu mendiami Teluk Kao.

Lokasi ini, kini sering jadi spot diving beberapa klub lokal, kendati ancaman ranjau laut masih membayang, karena di masa perang, daerah ini ditebari beragam ranjau dengan tujuan menghalangi kapal perang dan kapal selam sekutu (Amerika).

Saya menelusuri jejak sejarah, budaya, dan sosial ekonomi di kabupaten yang menghadap langsung ke lautan Pasifik ini. Halmahera Utara, dengan ibukota Tobelo, salah satu kabupaten dengan ekonomi paling menggeliat. Sejarah masa lampau hanya tersimpan di ceruk ingatan para tetua.

Cerita rakyat, artefak sejarah, bahkan keindahan alam di gugusan pulau-pulau kecil. Wisata laut sangat menjanjikan. Kejernihan laut membuat kita tak perlu menggunakan alat untuk menikmati keindahan terumbu karang di dasar laut yang dangkal. Ada juga agak dalam, kisaran 10-20 meter.

Badan Pusat Stastistik 2016 mencatat, Halmahera Utara merupakan kabupaten bahari, terletak di timur Indonesia, berbatasan dengan Samudera Pasifik, memiliki 216 pulau. Luas keseluruhan mencapai  22.507,32 km2 (22%) dan lautan 17.555,71 km2 (78%).

 

Seorang anak mendayung sampan di Pesisir Tobelo, Minggu (8/10/17) nampak Pulau Kumo di depannya. Foto: Faris Bobero/Mongabay Indonesia

 

 

***

Berkendara berdua memakan waktu empat sampai enam jam untuk sampai di pusat Kota Tobelo, tanpa macet. Saat perjalanan, hijau pepohonan sesekali ilalang luas di kiri kanan jalan terlihat jelas.

Sepanjang jalan, beberapa lokasi wisata sejarah bisa dikunjungi dengan akses mudah. Di tengah perjalanan, sekira 25 kilometer sebelum masuk pusat Kota Tobelo, terlihat plang menandai lokasi menuju Desa Telaga Paca.

Di sini, terdapat telaga atau danau begitu luas dan air tenang. Orang menyebut, Telaga Paca, atau Paca Lake.

Telaga ini menyimpan cerita legenda. Dikisahkan oleh warga, di masa lalu, seorang gadis di lokasi itu bertemu lelaki dari Galela hingga menjalin hubungan dekat dan akhirnya memutuskan menikah.

Sebelum menikah, lelaki minta izin kembali ke kampung di Galela. Sang gadis menitip pesan permintaan. Jika sekembali dari Galela, jangan lupa membawa air telaga dari sana, sebab di sini sulit mendapat air. Permintaan gadis itu dikabulkan si lelaki. Dia membawa air yang dimasukkan ke satu ruas bambu. Air dalam bambu itu sebagian masuk dalam kuali, sisanya di tempurung dalam lubang tanah.

Menurut cerita rakyat, keesokan hari, tempurung berisi air itu hanyut. Air lalu meluap. Mereka pun berusaha menutup luapan air dengan berbagai cara. Alhasil, air tetap meluap luas. Rakyat pun berlarian mencari tempat aman akibat air mulai menenggelamkan desa. Naasnya, kedua pasangan itu tak selamat dari luapan air. Mereka tenggelam.

Meski hingga sekarang belum ada riset, masyarakat sekitar percaya di dasar telaga terdapat bekas-bekas bangunan desa yang tenggelam itu.

Selain Telaga Paca, ada satu telaga di pedalaman Halmahera Utara yang menurut beberapa catatan sejarah menyebutkan, sebelum bermigrasi ke daerah-daerah Pesisir Tobelo hingga ke pulau-pulau di Halmahera, orang-orang Suku Tobelo awalnya bermukim di sana. Namanya Telaga Lina.

Kisah tentang Telaga Lina, kampung asal orang Tobelo, Modole, Boeng, dan beberapa klan lain, dapat dinikmati dalam novel Sejarah, Ikan-Ikan Hiu Ido Homa, buah karya YB Mangunwijaya.

Sebelum memasuki Kota Tobelo, kita akan bertemu salah satu lokasi wisata pantai di Desa Kupakupa yang memiliki laut teduh-jernih dan pasir putih. Sepanjang tepian pantai terlihat beringin dan ketapang berjejeran. Wisata di sini cukup lengkap karena tersedia enam pondok dengan dinding terbuat dari bambu, atap dari daun sagu (katu, bahasa lokal Halmahera).

Fasilitas baik seperti air panas, dan setiap kamar ada air conditioner. Harga perpondok mulai Rp.300.000-Rp.600.000. Meskipun wisata Pantai Kupakupa belum memiliki website untuk promosi, dalam setahun, dikunjungi sekitar 50 wisatawan asing dari berbagai negara.

Ona, pengelola wisata Pantai Kupakupa mengisahkan, pada 2002, dia hanya berjualan pisang goreng di tepi pantai. Saat itu, dia mulai menabung. Hasil jualan pisang goreng, 50% dia tabung setiap hari. Hingga 2006, dia sudah bisa membeli tanah di sekitar pantai. Para pengunjung pun bisa menyewa perahu dan diantarkan di lokasi-lokasi snorkeling sepanjang Pantai Kupakupa.

“Saat itu, 2006, saya mulai membangun satu pondok untuk wisatawan, dari hasil menabung. Sekarang sudah enam pondok,” katanya.

Ona tak pernah melupakan perjuangan itu. Lokasi pertama saat dia menjajakan pisang goreng, tak dibongkar. Dia bahkan mengajak warga sekitar memanfaatkan lokasi ini untuk berjualan pisang goreng.

“Sekarang saya tak lagi jual pisang goreng. Saya mengajak saudara-sadara di sekitar sini berjualan di lokasi lama saya. Kita harus saling mendukung.”

 

Bawah laut di Pulau Pawole, Halmahera Utara. Foto: Ican/ Mongabay Indonesia

 

 

Wisata pulau dari Tobelo

Akses menuju ke lokasi-lokasi wisata dari pusat kota Tobelo cukup mudah. Mulai dari kota ini, akses menuju wisata pulau bahkan mendaki gunung berapi Dukono.

Kota ini punya pelabuhan speedboat di Kompleks Dufa-Dufa, Desa Gamsungi. Dari sini, Pulau Kumo nampak di depan mata. Dari pelabuhan, dengan speedboat atau perahu lain, ke pulau-pulau berpasir putih, berpenghuni maupun tidak,  dapat dilakukan.

Beberapa pulau bisa dengan mudah seperti Pulau Pawole, Rarangane, Pulau Tulang, Tolonuo, Kakara, bahkan ke Pulau Morotai. Pulau dengan sejarah Perang Dunia II.

Mirdad, pemuda Tobelo mengisahkan, sejak dahulu, Kompleks Dufa-dufa menjadi tempat bertemu masyarakat antarpulau. Anak-anak di Pulau Kumo, Kakara, dan Tolonuo jika bersekolah ke Tobelo, mereka turun di Dufa-dufa. Orangtua saling memberi hasil alam berupa kelapa, pisang, ubi, dan lain-lain.

Kompleks Dufa-dufa begitu heterogen. “Orang-orang dari pulau menjalin hubungan kekeluargaan di sini. Ada yang menjadikan anak dan orang tua angkat. Hubungan seperti ini sudah sejak lama. Dari zaman orangtua kita,” ucap Mirdad.

Bahkan, dulu, laut memberikan sumber penghidupan cukup buat warga sekitar. di Dufa-dufa, sebagian warga membangun rumah panggung di atas laut. Setiap hari,  terlihat aktivitas memancing ikan. Setiap Mei, ada memanen cacing laut yang disebut laor di Pulau Kumo. Akses menuju ke sana tak sulit. Hanya perlu 10 menit dengan dayung perahu sampan.

 

Tempat rekreasi di dekat pusat Pemerintahan Maluku Utara, Sofifi. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 

Cincin api Pasifik

Hampir semua potensi wisata di Halmahera Utara, terutama Tobelo dipromosikan oleh anak-anak muda. Beberapa dari mereka adalah pecinta fotografi dan menyukai aktivitas mendaki gunung.

Nahrawi Usman, sejak 2015 bersama rekan-rekannya mulai membuat agenda, menyambangi pulau-pulau berpasir putih di Tobelo, yakni Pulau Pawole, Kakara, dan Rarangane. Pilihan tiga pulau ini karena menurut mereka memiliki potensi wisata  yang bagus.

Awalnya, mereka hanya mendokumentasikan alam bawah laut dan keindahan pasir putih dengan laut biru yang tenang di pulau-pulau itu, lalu memuat di media sosial.

Seiring waktu, kenalan mereka dari luar daerah berkunjung ke Tobelo. Nahrawai dan rekan-rekan pun menjadi pemandu.

“Jadi pemandu, kami tidak memasang harga jasa. Ke depan baru nanti kita pikirkan,” ujar Awi.

Untuk sampai di beberapa pulau, mereka cukup menyewa perahu bermesin 25 pk bahkan ketinting dengan harga cukup terjangkau Rp10.000 per orang. Kadang mereka sewa perahu, hanya berkisar Rp200.000-Rp250.000.

Pada 2016, mereka mulai dengan kegiatan membersihkan sampah di daerah wisata. Aktivitas pertama mereka di Telaga Biru. Mengangkat sampah di dalam dan sekitar telaga atau danau. “Kami memasang plang berisi pesan mengajak masyarakat dan wisatawan tak membuang sampah di area wisata,” katanya.

Mereka pun menamai kelompok dengan sebutan Pengangguran Elite. Baginya, nama ini tidak masalah, terpenting kegiatan mereka positif.

Mereka juga pintar memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Dari postingan mereka di media sosial, beberapa wisatawan asing pernah datang dan mengajak mereka mendaki Puncak Dukono.

Ketinggian Gunung Dukono mencapai 1.335 meter atau 4.380 kaki. Ia terdiri dari beberapa kawah berapi dengan aktivitas yang tinggi.

Sejak 1933, hingga sekarang, terjadi erupsi kecil terus menerus. Kawah gunung terus bergemuruh. Terdengar hingga ke pusat kota Tobelo. Asap tebal mengepul sekira 400-500 meter ke langit.

Gunungapi Dukono masuk dalam gugusan Pasific Ring of Fire atau cincin api Pasifik, di mana terletak gugusan gunungapi paling aktif di Pasifik Barat.

Nicholas Hughes, lelaki paruh baya, warga asing yang sudah bermukim di Jakarta, kepada Mongabay bilang, sejak 1990-an, sudah mendaki Puncak Dukono. Dukono adalah gunungapi berbeda dengan gunung lain.

Menurut dia, wilayah itu tidak boleh sekadar menjadi tempat wisata. Lebih dari itu, seharusnya lokasi penelitian para geolog bahkan arkelog.

“Seharusnya, Dukono menjadi lokasi penelitian. Saya berharap begitu,” katanya.

 

Sketsa alam dari Pulau Mede, Tobelo, Halmahera Utara. Nampak latar Gunung Mamuya dan langit biru, Senin (9/10/17) Foto: Faris Bobero/Mongabay Indonesia

 

 

***

Pemuda itu mulai menyiapkan sampan yang dipinjam, milik masyarakat sekitar Pesisir Desa Popilo, Kecamatan Tobelo Utara, Halmahera Utara. Saudara perempuannya, Asmidar menyiapkan perlengkapan berupa gelas, sendok, dan satu buah panci.

“Sebentar, saya cari dayung dulu,” Kata Fahrul. Pemilik sampan lagi keluar rumah, Fahrul meminjam dayung tetangga pemilik sampan.

Orang-orang Popilo tidak keberatan perahu mereka dipinjam tanpa disewa.  Bahkan pada orang yang baru dikenal sekalipun.

Kali ini, saya diajak bermalam di pulau tak berpenghuni yakni Pulau Mede, terletak di depan Desa Popilo. Hanya membutuhkan lima menit mendayung sudah sampai di pulau kecil yang tak banyak diketahui orang ini.

Tidak sampai sejam keliling pulau kecil itu dengan berjalan kaki. Dari cerita rakyat, dulu pulau ini tempat Suku Tobelo-Galela mencari kerang (yia, bahasa Tobelo) saat purnama. Karena itu, mereka menamai mede berarti bulan dalam bahasa lokal.

Seiring waktu, masyarakat setempat membuat kebun di pulau ini.  Mereka menanam kelapa, pepaya, pandan, dan lain-lain. “Pemuda-pemuda di sini bisa memanfaatkan air kelapa bahkan pepaya yang ada. Bisa langsung diambil. Setelah itu baru diberitahu pada pemiliknya,” ucap Asmidar.

Desa Popilo terletak di Kecamatan Tobelo Utara, 85% penduduk petani kelapa. Letak desa ini sekitar 1,5 kilometer dari pusat kota. Jumlah penduduk sekitar 1.967 jiwa.

Asmidar, perempuan yang sempat kuliah di IAIN Ternate ini berujar, beberapa kali rumor bahwa ada orang Jepang ingin membeli Pulau Mede namun ditolak masyarakat. Alasannya, pulau itu kebun mereka.

“Akibat rumor ini, pemerintah desa juga sempat berpikir mengajak beberapa wartawan lokal berkunjung ke pulau ini, dengan harapan, media dapat menulis potensi wisatanya,” katanya.

 

Pulau Pawole, Halmahera Utara. Foto: Komunitas Penggangguran Elite/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,