Tambang Emas Ilegal Bertebaran di Aceh, Bagaimana Dampaknya Terhadap Lingkungan?

 

 

Pertambangan emas ilegal yang muncul di pelosok Provinsi Aceh, membuat pemerintah setempat kesulitan menghentikannya. Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, dan Aceh Tenggara adalah wilayah yang ramai dengan aktivitas tersebut.

Di Aceh Selatan, pertambangan emas ilegal tumbuh di beberapa kecamatan, seperti di Manggamat dan Sawang. Selain menggali dengan cara tradisional, emas yang bercampur batu di dasar sungai itu diambil dengan menggunakan mesin penyedot.

“Akibatnya, air sungai yang dulu jernih, berubah menjadi keruh, dan masyarakat sudah tidak bisa memanfaatkan air tersebut. Padahal, untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian besar warga sangat bergantung pada sungai ini,” sebut Dahlan, warga Manggamat, baru-baru ini.

Dahlan mengatakan, pertambangan emas ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mulai bermunculan, setelah konflik bersenjata tidak lagi terjadi di Aceh. “Banyak lubang yang kedalamannya hingga belasan meter berserakan di hutan atau perbukitan,” sambungnya.

Di Kabupaten Aceh Barat, tepatnya di Kecamatan Sungai Mas dan Pante Ceureumen terjadi hal yang sama. Kegiatan menggunakan alat berat beroperasi sejak 2015, sebelumnya petambang hanya menggunakan mesin pompa untuk menyedot pasir yang bercampur emas. Di Pante Ceureumen, pertambangan emas tersebar di tiga desa yaitu, Pulo Teungoh, Lawet, dan Canggai.

Azhar, petani di Kecamatan Pante Ceureumen mengatakan, sebagian besar masyarakat di sejumlah desa di Pante Ceureumen memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. “Sungai-sungai kecil yang bermuara ke Sungai Mas dan Sungai Meureubo, sebelum pertambangan emas ilegal hadir, merupakan sungai yang airnya sangat jernih.”

Mulyadi, masyarakat Pante Ceureumen mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, selain sungai yang tercemar, hutan di pinggir sungai juga rusak akibat pertambangan ilegal. “Alat berat yang dipakai umumya dari Sumatera Utara dan Banda Aceh, yang disewa pemilik tambang.”

Mulyadi mengungkapkan, pertambangan ilegal ini bukan barang baru, berbagai pihak telah mengetahuinya. Namun, hingga saat ini belum ada upaya penertiban. “Tidak mungkin alat berat bisa masuk ke hutan di Pante Ceureumen dan Sungai Mas jika tidak didukung oleh pihak-pihak tertentu,” ungkapnya.

 

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie

 

Perkiraan kerugian

Pada 2016, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh telah melakukan investigasi pertambangan ilegal di Aceh. Khususnya Aceh Barat yang berada di sungai dan masuk hutan lindung, di Kecamatan Pante Ceureumen, Kecamatan Panton Reu, Kecamatan Sungai Mas, dan Kecamatan Woyla Timur.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan, perkiraan emas yang diproduksi perbulan di Aceh Barat mencapai 89.262,9 gram. Jika dikalkulasikan setahun mencapai 1.071.154,5 gram atau 1,1 ton. Jika setiap gram emas dijual seharga Rp400.000, setahun kerugian negara mencapai Rp568.361.004.627. “Ini hanya perkiraan kerugian di Aceh Barat.”

Askhalani mengatakan, pertambangan emas ilegal di Aceh Barat merupakan masalah serius yang tidak akan mampu ditangani pemerintah daerah, karena melibatkan banyak pihak. Begitu juga kondisi yang sama di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Antara 2015 dan 2016, pertambangan ilegal bermunculan di sejumlah sungai yang terdapat di wilayah tersebut. “Jika terus terjadi, selain bencana banjir, masyarakat juga akan kehilangan lahan pertanian.”

 

Tambang emas ilegal yang bermunculan di Aceh hingga kini belum tertangani dengan baik. Foto: Boyhaqie

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh yang melakukan investigasi ke Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya mengatakan, pertambangan emas di empat desa yaitu Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak, dan Krueng Cut sudah parah. Pertambangan ilegal tidak hanya terjadi di sungai, tapi juga di halaman rumah penduduk.

“Ada 65 unit alat berat mengeruk sungai hingga pekarangan rumah warga. Luas pertambangan sekitar 1.108,93 hektare,” sebut Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur.

Krueng (Sungai) Cut dan Krueng Pelabuhan juga rusak akibat pertambangan emas ilegal tersebut. Dampak lain, semua tanaman produktif, seperti kelapa dan pinang, sudah ditebang. Demikian juga persawahan yang tak dapat lagi ditanam padi, karena dijadikan pertambangan. “Status sosial masyarakat memang meningkat, tetapi tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan.”

Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie juga terjadi hal yang sama. Puluhan alat berat tersebar di Sungai Alue Suloh dan Alue Rek yang berada di hutan lindung kawasan Ulu Masen.

“Kerusakan hutan tidak hanya terjadi di lokasi pertambangan, pembukaan jalan untuk dilalui alat berat juga merusak hutan. Jalan harus dibuka selebar 5-10 meter, sejauh satu kilometer, dan sudah ada 10 lokasi,” ungkap Muhammad Nur.

 

Sungai di Geumpang yang rusak akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Dok. Walhi ACEH

 

Akibat kegiatan ilegal ini, sekitar sembilan kilometer daerah aliran sungai di Geumpang rusak. Hutan yang rusak akibat pembangunan jalan juga hampir 40 kilometer. “Ini bukan masalah biasa, pemerintah kabupaten maupun provinsi harus segera menghentikan pertambangan, sebelum hutan dan sungai bertambah rusak dan bencana besar terjadi,” tuturnya.

Terkait maraknya pertambangan ilegal di Kabupaten Pidie, perangkat daerah yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Pidie pada Juli 2017 telah mengeluarkan maklumat. Pernyataan ini ditandatangani oleh Bupati Pidie, Kapolres, Dandim, Kepala Kejaksaan Negeri Pidie, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua DPR Kabupaten Pidie.

“Pemilik modal untuk tidak melakukan usaha pertambangan emas, tanpa memiliki izin usaha pertambangan dan pertambangan khusus. Untuk masyarakat, tidak menambang emas secara ilegal di pegunungan atau daerah lain. Sementara pemilik alat berat, tidak menyewakan atau menyediakan alat berat untuk pertambangan emas ilegal. Apabila dalam waktu satu bulan sejak himbauan ini masih ditemukan kegiatan pertambangan emas ilegal, pemerintah akan melakukan upaya penegakan hukum,” tulis Forkopimda Pidie dalam himbauan itu.

 

Sungai di Geumpang yang rusak akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Dok Walhi ACEH

 

Bupati Pidie, Roni Ahmad mengatakan, pemerintah tidak bermaksud kejam terhadap masyarakat terkait dikeluarkan himbauan larangan pertambangan ilegal. Larangan tersebut, murni untuk menyelamatkan masyarakat dan lingkungan yang sudah rusak.

“Limbah pertambangan emas sudah mengganggu sumber mata air masyarakat. Jadi, harus dilakukan pencegahan agar kerusakan tidak bertambah parah,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,