Saat ini, energi fosil masih jadi andalan utama sumber energi listrik di tanah air meskipun berbagai dampak buruk muncul dari penggunaan energi dengan mengeruk perut bumi ini. Ia menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran (udara, darat dan air), konflik sosial, kerugian ekonomi sampai kesehatan warga. YLKI menilai, perlu mendesak pemerintah segera beralih ke energi ramah lingkungan, salah satu dengan membangun tekanan publik.
Sudaryanto, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, konsumen listrik perlu mengetahui sumber listrik dan dampak dari pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke rumah mereka.
Baca juga: Ongkos Kesehatan sampai Ratusan Triliun, Batubara Itu Ternyata Energi Mahal
Hal itu penting, katanya, untuk membangun tekanan publik dengan meminta pemerintah pakai energi ramah lingkungan.
“Sejauh ini, belum ada upaya dari PLN tranparansi, dari energi primer apa listrik yang dialirkan ke rumah konsumen?” katanya dalam diskusi di Jakarta, dua pekan lalu.
Konsumen, katanya, juga perlu mendapatkan informasi dampak penggunaan energi bersangkutan. Mestinya, konsumen juga mendapatkan informasi lembaga keuangan yang mendukung baik pembangkit kotor maupun pembangkit ramah lingkungan.
Dari segi regulasi pemerintah punya peraturan Otoritas Jasa Keungan No 51/2017 tentang keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik.
Peraturan ini mengatur rencana aksi keuangan berkelanjutan yang disampaikan setiap tahun kepada OJK bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis bagi Lembaga Jasa Keuangan.
Melalui laporan kepada OJK, kata Yatmo, bisa diketahui lembaga keuangan mana yang memberikan dukungan pendanaan pembangkit ramah lingkungan maupun tidak. Pemerintah, juga bisa pakaii data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bauran energi.
“Walau banyak variabel namun bisa diidentifikasi pasien-pasien BPJS Kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan,” katanya.
YLKI selalu mengkampanyekan hak-hak dasar konsumen, salah satu hak hidup dan bekerja dalam lingkungan yang tak tercemar dan tak berbahaya, yang memungkinan suatu kehidupan lebih manusiawi.
Konsumen, katanya, juga memiliki tanggungjawab soal kesadaran lingkungan untuk memahami segala akibat tindakan konsumsi terhadap lingkungan.
“Jika konsumen sadar akan tanggungjawab soal energi, minimal mereka tergerak hemat energi baru, kemudian membangun tekanan publik agar pemerintah pakai energi ramah lingkungan.”
Pernyataan Yatmo ini menanggapi hasil penelitian International Institute for Sustainable Development (IISD) dalam program Global Subsidies Initiative (GSI) yang diluncurkan baru-baru ini.
Dalam analisa IISD, selama ini pemerintah memberikan banyak subsidi kepada industri batubara sebagai pemasok energi pembangkit listrik terbesar.
Peneliti Senior Program Energi IISD, Phillip Gass mengatakan, tahun 2015, dalam analisa IISD setidaknya ada U$644 juta atau setara Rp.8,5 triliun subsidi pemerintah untuk batubara. Jika dikonversi, subsidi ini bisa memberi gaji sebulan untuk 3,3 juta penduduk Indonesia.
Jumlah ini, juga bisa untuk membayar premi asuransi 10% penduduk Indonesia selama setahun atau membayar biaya kuliah 485 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada, satu semester.
“Atau jika dibagikan ke seluruh penduduk Indonesia, akan mendapat US$2,5 atau Rp33.000 per orang per tahun.”
Analisis ini juga membantah anggapan, batubara adalah energi paling murah. Meski saat ini pembangkit listrik batubara bisa menjual listrik US$4 sen per kWh, jika dihitung eksternalitas, polusi dan biaya kesehatan mencapai US$11 sen per kWh. Rata-rata pembangkit energi terbarukan, kata Philip, hanya US$7 sen per kWh.
Sisi lain, subsidi energi baru dan terbarukan pada tahun sama hanya US$133 juta atau setara Rp1,8 triliun.
Philip berharap, dengan temuan ini pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan berbasis informasi memadai. Tahun ini pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No 12/2017 yang berganti Permen 50/2017 memangkas feed in ariff (FIT) atau harga jual beli lisrik yang ditetapkan Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said.
“Mengapa Indonesia tak segera beralih menuju energi terbarukan kala negara lain sudah membuktikan harga listrik pembangkit ramah lingkungan sangat bisa bersaing?” kata Philip.
Benarkah negara lain berhasil transisi dari energi fosil menuju ke terbarukan? “Ia bukan pekerjaan mudah memang,” kata Kurt Morck Jensen, perwakilan Kedutaan Denmark.
Denmark saat ini dikenal salah satu negara terdepan dalam pengembangan energi terbarukan memulai transisi sejak 1970an.
Bermula saat krisis minyak di negara ini hingga pemerintah dan penduduk Denmark mengalami kesulitan dalam transportasi.
“Kami mengalami masalah teknis, juga political battle,” katanya.
Paradigma utama yang harus dibangun negara, katanya, bahwa energi fosil bikin ketergantungan besar konsumen. Mulanya konsumen diminta menghemat karena minyak makin langka.
Kemudian, meski setiap pergantian pemimpin negara isu ini mengalami maju mundur, belakangan Denmark memiliki konsensus politik soal energi terbarukan.
Negara yang pada 2015 pakai energi angin 40% listrik, menargetkan capai 50% energi terbarukan pada 2020.
“Tahun 2050 target 100% listrik dipasok dari energi terbarukan.”
Menanggapi upaya transisi Indonesia yang baru pakai 2% energi terbarukan, kata Kurt, tak ada satu pendekatan cocok dengan segala keperluan.
Keadaan setiap negara, katanya, berbeda-beda. “Pertumbuhan ekonomi, bauran energi dan kerangka dasar. Indonesia pasti bisa.”
Begitu juga dengan Swedia, Konsultan energi untuk Kedutaan Besar Swedia Paul Westin mengatakan, kesuksesan Swedia transisi ke energi terbarukan bermula saat krisis energi. Kala itu, kandungan sulfur dalam batubara dan minyak bumi, juga gas alam, membuat sebagian hutan di Swedia mati.
“Bangunan-bangunan rusak karena hujan asam,” katanya.
Konsensus di parlemen kemudian menargetkan Swedia beralih sepenuhnya ke energi terbarukan pada 2030. Saat ini, penggunaan energi terbarukan mencapai 60% untuk 95% produksi listrik di luar nuklir.
“Indonesia adalah salah satu negara terbesar yang sangat penting untuk negara-negara lain. Keputusan Indonesia soal energi berperan untuk negara lain,” katanya.