Budidaya Udang Percontohan dari Kawasan Perhutanan Sosial, Seperti Apa Itu?

 

 

Desa Pantai Bakti di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat menjadi kawasan percontohan program perhutanan sosial yang digagas Pemerintah Indonesia. Di desa tersebut, Pemerintah melaksanakan optimalisasi lahan tambak non produktif melalui perikanan budidaya dengan komoditas udang vaname.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan langsung program tersebut di Muara Gembong, Rabu (1/11/2017). Di atas lahan seluas 17,2 hektare, Presiden meresmikan beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial.

Sebagai tanda dimulai beroperasinya unit tersebut, Presiden menebar sedikitnyya 200 ribu ekor benih udang vaname untuk satu petak tambak seluas 4.000 meter persegi. Tak lupa, pada kesempatan yang sama, Presiden juga melakukan penanaman bakau (mangrove) untuk kawasan tersebut.

Seusai peresmian, Presiden mengatakan bahwa usaha rintisan budidaya ikan di atas lahan tambak non aktif, menjadi penanda bahwa Indonesia memiliki sebuah bisnis model yang baru dan akan menjadi rujukan model di daerah lain. Percontohan tersebut, kata dia, bukan hanya akan diterapkan pada perikanan budidaya saja, melainkan juga akan diterapkan pada usaha holtikultura, padi dan komoditas lainnya.

Presiden menjelaskan, untuk kawasan seperti Muara Gembong, Pemerintah membantu untuk aspek infrastruktur. Dengan demikian, siapapun yang akan masuk ke kawasan tersebut akan menjadi lebih mudah mencapainya. Selain itu, dengan dibangun infrastruktur yang bagus, akses transportasi hasil panen akan mudah.

 

Presiden Joko Widodo meresmikan beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/2017). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Untuk fasilitas pembiayaan, Presiden mengungkapkan, Pemerintah sudah menunjuk Bank Mandiri untuk memfasilitasi akses pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memfasilitasi dukungan input produksi dan pendampingan teknis.

“Sementara hasil produksi akan dibeli oleh Perindo sebagai off-taker, atau pihak swasta,” jelas dia.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden menyampaikan, untuk menumbuhkan usaha, perlu dibuat kelompok besar petani atau petambak dengan pola korporasi. Dengan kata lain, usaha yang dijalankan harus skala usaha yang besar.

“Sehingga secara hitung-hitungan ekonomi dapat layak atau bankable,” ucap dia.

Sebagai unit usaha percontohan, Presiden mengapresiasi penggunaan teknologi dalam bisnis model budidaya udang tersebut. Inovasi teknologi itu, akan disebarkan ke daerah dengan cara memberikan edukasi penerapan teknologi budidaya modern.

Dia menyebutkan, saat meresmikan unit kawasan budidaya di Muara Gembong tersebut, dia melihat proses pemberian makan udang vaname dilakukan dengan menggunakan teknologi e-fishery. Penggunaan teknologi tersebut, kata dia, secara otomatis bisa memantau dari jauh melalui aplikasi berbasis sistem operasi android.

“Kemudian penggunaan plastik, dan kincir. Ini, kalau enggak dilakukan seperti ini, ya seperti yang petani katakan tadi yaitu hasilnya hanya 3 kilogram per hektar. Tapi dengan penerapan teknologi seperti ini paling tidak hasil panen udang dapat mencapai 4-5 ton atau bahkan lebih,” papar dia.

 

Presiden Joko Widodo melihat penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/2017). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Lipatgandakan Produksi

Jika inovasi teknologi bisa diterapkan di semua tambak di seluruh Indonesia, Presiden meyakini, Indonesia tidak akan menjadi negara eksportir nomor tiga di dunia lagi. Melainkan, bisa jadi akan menjadi negara nomor satu di dunia.

Presiden menegaskan, daerah seperti Lampung, Tarakan, dan lainnya, harusnya bisa menerapkan teknologi serupa di Muara Gembong. Tak hanya akan menggenjot produksi, kata dia, model seperti di Muara Gembong tersebut akan menyerap tenaga kerja yang banyak. Ia menggambarkan, dari 1 (satu) hektar, paling tidak dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 50 orang.

“Oleh karenanya saya minta nanti model usaha budidaya udang ini harus berhasil, dan saya akan pastikan dan terus pantau perkembangannya,” tegas dia.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto di tempat yang sama menjelaskan, optimalisasi lahan tambak Kawasan Perhutani di Muara Gembong memang difokuskan untuk pengembangan usaha budidaya udang/ikan berbasis lingkungan. Menurut dia, pengelolaan budidaya udang vaname akan menggunakan teknologi semi intensif ramah lingkungan.

“Sementara ikan bandeng dan mangrove akan diintegrasikan melalui budidaya sistem silvofishery,” ujar dia.

Slamet menuturkan, di dalam bisnis model seperti itu, Pemerintah mendorong terciptanya integrasi budidaya dengan hutan bakau. Hal itu dilakukan, karena model tersebut fokus pada lingkungan dan itu bisa diwujudkan dengan memanfaatkan 50 persen kawasan untuk budidaya dan 50 persen untuk hutan bakau.

Mangrove merupakan reservoir alami yang paling baik untuk menetralisir limbah buangan tambak, merupakan provider makanan alami bagi ikan/udang, dan efektif untuk menahan erosi,” jelas dia.

“Presiden menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan model usaha ini. Beliau berharap program ini dapat berhasil dan menjadi contoh masyarakat, sehingga menjadi alternatif usaha bagi mereka. Beliau juga mengatakan akan mendukung program ini, sehingga benar-benar berjalan,” tambah dia.

 

Presiden Joko Widodo melakukan penanaman bibit mangrove setelah melakukan penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/2017). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Slamet memaparkan, Pemerintah setidaknya akan melakukan redistribusi pengelolaan kawasan seluas 830 hektar untuk pengembangan pertambakan ikan/udang, dari total lahan di Muara Gembong yang mencapai 11.000 hektar. Tahun 2017 sebagai program awal, akan direstribusi seluas 17,2 hektar melalui skema kemitraaan dengan masyarakat desa hutan.

Melalui program rintisan untuk lahan tambak 17,2 hektar ini, Slamet berharap, akan ada peningkatan produksi udang dan bandeng sebanyak 204 ton per tahun; nilai ekonomi mencapai Rp16,3 miliar per tahun; pendapatan masyarakat pengelola Rp35-50 juta per tahun; dan serapan tenaga kerja lebih dari 425 orang.

Sementara itu, Kepala Badan Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang Warih Hardanu menyatakan, tambak rintisan program ini diharapkan akan menjadi contoh bagi masyarakat sekitar untuk melakukan usaha budidaya sebagai alternatif dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.

 

Wabah Berak Putih

Di sisi lain, Slamet Soebjakto tetap meminta kepada para pembudidaya dan pembenih untuk waspada akan kehadiran wabah penyakit berak putih atau white feces disease (WFD). Wabah tersebut, hingga saat ini masih ditakuti setelah sebelumnya muncul wabah white spot.

“Penyakit WFD ini sebagai bahaya laten yang suatu saat akan mengancam tiba-tiba usaha budidaya udang,” ucap dia.

Agar ancaman penyakit WFD bisa dihindari, Slamet meminta kepada semua pembenih dan pembudidaya untuk menggunakan udang vaname hasil breeding asli Indonesia. Himbauan tersebut didasarkan pada bukti bahwa saat wabah WFD menyerang Banyuwangi, Jawa Timur, namun benih hasil breeding Indonesia tetap terbebas dari wabah.

“SDM handal yang akan mendorong peningkatan kualitas induk vaname asli Indonesia. Oleh karenanya saya yakin udang vaname asli Indonesia ini akan mendominasi penggunaannya di seluruh daerah,” tandas dia.

Lebih jauh Slamet mengatakan, agar kegiatan budidaya udang bisa berjalan baik, maka penting untuk menerapkan pengelolaan tahapan rantai produksi secara terukur dan terencana. Yaitu, mulai dari pemilihan benih melalui breeding program, proses produksi dengan menerapkan best management practice, penerapan biosecurity yang ketat, dan penggunaan pakan dan obat-obatan secara tepat.

Selain pengelolaan tahapan rantai produksi, Slamet mengingatkan bahwa pengelolaan budidaya udang harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Menurutnya, prinsip ini merupakan hal mendasar yang harus menjadi perhatian para pembudidaya.

“Semua unit usaha budidaya udang wajib memiliki unit pengelolaan limbah (UPL), kami juga akan melakukan sosialisasi sekaligus fasilitasi penyiapan dokumen lingkungan hidup bagi unit usaha, sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Dokumen Lingkungan,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,