Penyusunan Satu Peta Masih Berjalan Lamban, Mengapa?

 

Pemerintah mengadang-gadang kebijakan satu peta (one map policy) sebagai salah satu langkah pembenahan karut marut tata kelola lahan di negeri ini. Guna mempercepat kerja-kerja ini, Presiden Joko Widodo sampai bikin Peraturan Presiden No 9 tertanggal 4 Februari 2016 yang berisi target penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Sayangnya, hingga hampir penghujung 2017, one map tampak berjalan lambat.

Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Perekonomian, menyatakan, one map baru selesai untuk seluruh Kalimantan. Peta Sumatera,  sedang proses dan menargetkan selesai kuartal II 2018. Belum wilayah lain.

Baca juga: Berikut Target Pemerintah Realisasikan Kebijakan Satu Peta

Kelambatan penyelesaian one map ini, salah satu karena Badan Informasi Geospasial (BIG) kesulitan dalam mengumpulkan data (peta) dari masing-masing kementerian dan lembaga.

”BIG datang ke Kementerian ATR/BPN, data tidak diberikan, akhirnya BIG meminta ke KPK. KPK meminta kesana dan memberikan ke BIG. Banyak sekali terjadi termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Laode Moh Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  dalam Konferensi Tenurial di Jakarta, pekan lalu.

Hasanuddin Zainal Abidin, Kepala BIG membenarkan, ada kesulitan dalam pengumpulan data tu. ”Ya memang ada kesulitan-kesulitan, tapi ini masalah komunikasi. Masing-masing kementerian ada prioritas tertentu. Mungkin bagi kementerian tertentu, satu peta masih belum masuk prioritas,” katanya di sela-sela Rakornas Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, di Jakarta, pekan lalu.

Dia bilang, BIG memiliki kewajiban pengumpulan peta dasar, peta tematik dibuat kementerian dan lembaga. BIG hanya mengkompilasi, memperbaiki dan mengintegrasikan dengan peta dasar dan memasukkan dalam sistem Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).

”Jika wali data belum lengkap berarti kita tidak boleh melaksanakan, kan bukan hak BIG tapi hak kementerian lembaga,” katanya.

Sebenarnya kementerian dan lembaga sudah memiliki peta masing-masing tetapi belum ada sistem dan standar. ”Saya paham untuk mengubah langsung butuh proses, peta kehutanan itu dari sistem Belanda. Saya percaya sunrise policy, pelan-pelan tapi sistem dibangun. Kebijakan satu peta ini meminta kita untuk bekerja pada sistem.”

Adapun data Informasi Geospasial Tematik (IGT) ini melibatkan 19 kementerian dan lembaga yang terdata melalui JIGN. Kendalanya, sinkronisasi data karena terjadi tumpang tindih, terutama di hutan, pertambangan dan batas wilayah.

Nurwadjedi, Deputi IGT-BIG mengatakan, dalam pemetaan tematik, katanya, tanah ulayat belum terakomodasi dan peta desa masih minim.

”Konflik penetapan batas wilayah dan pemetaan tematik sulit terpecahkan karena ego sektoral kuat,” katanya.

Soal lambat pengumpulan data, Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian menyebutkan, telah berkoordinasi dengan wali data masing-masing kementerian dan lembaga dalam pengumpulan data itu.

”Saya ingin meng-higlight kebijakan satu peta itu sangat krusial dan urgen bagi negara seluas Indonesia,” kata Darmin.

Peta dikumpulkan di BIG ini sekaligus akan melihat tumpang tindih lahan, termasuk melihat potensi sumber daya Indonesia hingga jadi dasar pemerintah menyusun kebijakan pembangunan. Salah satu, katanya, pembangunan infrastruktur dan tumpang tindih perizinan agar mampu terintegrasi.

”Kebijakan satu peta merupakan upaya mewujudkan satu referensi dan standar dalam menyusun berbagai kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang.”

Dia berharap,  dalam bikin Bappenas pakai peta bukan tabel angka saja. Dengan begitu, pembangunan seperti waduk, dilakukan berdasarkan logika teknis dan sesuai kebutuhan, bukan logika politis.

Tak ada satu peta Indonesia juga munculkan tumpang tindih penggunaan lahan. ”Inilah yang perlu disinkronkan. Pemda, kementerian dan lembaga kita minta identifikasi lebih awal isu tumpang tindih kawasan. Kalau ada kegiatan tambang, kebun, hutan dan kegiatan lain-lan antara satu kementerian dengan yang lain,” katanya.

Darmin mengatakan, Presiden Joko Widodo meminta peta nasional terselesaikan akhir 2019, dengan urutan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan Jawa.

Jawa yang terakhir karena memiliki penduduk padat dan tingkat keruwetan lebih tinggi.  Dia bilang, saat ini peta Kalimantan sudah selesai, menyusul Sumatera, masih proses dengan target selesai kuartal II 2018.

Dia meminta, pada 17 Agustus 2018, portal kebijakan satu peta berisikan integrasi seluruh Indonesia bisa diresmikan. Untuk mengejar target penyelesaian ini, pada Agustus 2018, Darmin meminta pemda dan seluruh kementerian dan lembaga mempersiapkan infrastruktur perangkat keras.

 

Sumber korupsi

Laode mengatakan, sumber daya alam itu menjadi isu penting yang menjadi perhatian KPK. Kekayaan alam ini, katanya, merupakan penyumbang ekonomi dan banyak masalah muncul seputar itu.

Dia sebutkan, salah satu sumber korupsi ada di persoalan izin. Untuk itu, dia menekankan agar izin-izin seperti hak guna usaha (HGU) harus dibuka ke publik. “Itu jadi ruang remang-remang dan potensi korupsi,” katanya.

Di sektor kehutanan, katanya, potensi korupsi, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, sampai penegakan hukum.

Laode mengingatkan,  banyak kepala daerah masuk penjara yang berhubungan tentang tata guna lahan dan hutan. Hingga kebijakan satu peta yang transparan merupakan salah satu kunci penyelesaian masalah.

Dia sebutkan, di Kalimantan Utara, KPK melihat dari izin tambang yang ada, lebih besar daripada daratan provinsi itu sendiri. ”Bagaimana ini tidak terindikasi korupsi?”

 

Pentingnya pelaksanaan Satu Peta. Ilustrasi: BIG

 

Bagaimana pemetaan batas desa dan hutan ulayat?

Hasanuddin mengatakan, target kebijakan satu peta selesai terintegrasi pada 2019. Namun, dia memperkirakan batas desa dan hak ulayat belum bisa selesai. “Prosesnya terus jalan,” katanya.

Kebijakan Satu Peta, katanya, juga mengalami kendala dalam mentransformasikan data pemetaan menjadi digital. Kendala lain, IGT batas desa dan tanah ulayat skala 1:50.000.

”Baru ada 13.000 oleh BIG yang diselesaikan dari 83.000 desa, baru ada 8,2 juta hektar wilayah adat dipetakan,” katanya.

Darmin menyebutkan, batas desa itu ada penetapan, peta yang ada tidak terlalu canggih hingga mentransformasi menjadi peta digital pun sulit. ”Batas desa juga sulit karena belum tentu sepakat antara satu desa dengan desa lain.”

Pada semester I 2017, BIG sudah menyelesaikan kompilasi IGT nasional dan terintegrasi untuk 63 IGT tema target geospasial atau ruang kebumian di Kalimantan. Pada 2017,  BIG menargetkan selesai 82 IGT tema  di Sumatera, 81 IGT di Sulawesi dan 79 IGT di Bali dan Nusa Tenggara. Pada 2018, menargetkan penyelesaian di Maluku, Papua dan Jawa.  “Besar harapan satu peta ini kan mendorong peningkatan daya saing kawasan menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.”

Hasanuddin mengatakan, perlu ada lembaga atau sub bidang khusus terkait informasi geospasial pada level pemerintah daerah. Tujuannya, mengakomodir terkait data-data rigid di tingkat tapak yang masih menyebar.

“Saya meminta lembaga terkait, itu tergantung Kementerian Dalam Negeri. Sudah mengusulkan ada di region Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi untuk ada pusat BIG. Atau masuk dalam Bappeda, ada bagian yang menangani informasi geospasial.”

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sudah menyerahkan peta 8,2 juta hektar hutan adat. Kemenko Perekonomian sedang melakukan verifikasi data. ”Itu mau kita register, mana yang di luar hutan dan dalam hutan,” kata Abdul Kamarzuki, Staf Ahli Menko Perekonomian.

 

Penting peta gambut akurat

Pada diskusi pemetaan gambut untuk konservasi & restorasi memaparkan,  soal pentingnya kebijakan satu peta, khusus pengelolaan gambut di Indonesia.

Kartini Sjahrir, pembina Yayasan Dr. Sjahrir mengatakan, salah satu instrumen penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah peta gambut yang akurat.

Berdasarkan pengamatan Kazuyo Hirose, dari Japan Space System, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sejumlah perguruan tinggi dan lembaga telah memiliki peta gambut skala lokal dan nasional sejak 1970-an-2011. Namun, katanya, peta masih beragam, selisih rentang antara 13,5-26,5 juta hektar.

Dalam upaya restorasi, Budi S. Wardhana, Deputi I Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRG menyebutkan,  tidak ada peta gambut akurat menyebabkan upaya restorasi terkendala.

“Ada 14 peta dan semua berbeda- beda. Untungnya, ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Badan Litbang Kementerian Pertanian, itu pun data 2011,” katanya. Data itu belum diperbaharui dan kurang memadai.

KLHK memiliki peta indikatif lahan gambut dengan skala 1:250.000 dan belum cukup. BRG pun pemetaan hingga skala 1:2.500 dengan teknologi LiDAR (light detection ranging) untuk keperluan detail konstruksi restorasi. Ia mampu menampilkan pemodelan tiga dimensi.

“Penguatan kebijakan perlu diperkuat, salah satu faktor berbasis spasial. Kebijakan satu peta ini mampu mengurangi tumpang tindih lahan.”

 

Warga Komunitas Napu, pasang plang setelah putusan MK bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hingga kini, konflik berlanjut karena wilayah adat mereka diklaim masuk konsesi perusahaan. Foto: AMAN Tanah Bumbu/ Mongabay Indonesia

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,