Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet

 

 

Komang Arya, pelajar kelas 2 SMP Sila Candra, Batubulan, Gianyar ini menjaga stannya sendiri. Ada sebuah lemari kaca besar dan meja berisi puluhan kreasi mengolah sampah aneka jenis model dan bahan baku.

Ia membuat sendiri semuanya setelah belajar dari teman ibunya saat kelas 5 SD. Bahan bakunya tak sulit karena ibunya membuka Bank Sampah di rumahnya. Arya sudah terbiasa bekerja dalam sunyi. “Teman-teman saya tidak terlalu tertarik,” katanya. Keuntungannya hanya saat pelajaran keterampilan, ia dengan mudah mencari nilai karena sudah terbiasa mengolah sampah jadi aneka kerajinan.

Ada yang bisa dibuat dengan mudah, lebih banyak yang cukup sulit dan lama karena perlu ketekunan dan detail. Misalnya yang mudah terjual adalah gantungan kunci dari aneka jenis kemasan yang termasuk bad plastic atau plastik yang tak laku dijual karena sulit didaur ulang jadi plastik baru. Misal kemasan sampo, deterjen, kopi saset, pewangi, dan lainnya. Biasanya plastik ini mengandung lapisan aluminium foil di dalamnya.

Ia mengolah sampah nakal ini menjadi bentuk-bentuk hewan seperti ikan. Agar lebih atraktif ditambah manik-manik untuk mata dan anyaman sebagai sisiknya. Dijual Rp5000 per biji. “Saya bisa beli handphone dan lemari sendiri,” Arya bangga.

Desain dan pengerjaan lebih rumit di antaranya wadah sesajen dari anyaman kertas koran bekas dan tas. Hasil kerajinan sampahnya terlihat rapi dan kuat. Misalnya tas dari aneka “bad plastic” tebal hanya dianyam tanpa dijahit. Lalu disambungkan tali untuk pegangan tangan. Ia mengaku belum bisa menjahit.

Arya adalah salah satu pengrajin sampah di Trash Fest, festival olah sampah yang dilaksanakan kelompok muda atau Yowana Desa Padangtegal, Ubud, Gianyar pada 4-5 November lalu. Dipusatkan di sebuah lahan sebelah Monkey Forest, objek wisata populer di Ubud yang dihuni ratusan monyet dan hutannya.

Beberapa tahun ini Padangtegal memperlihatkan sistem pengolahan sampah terintegrasi. Tiap rumah didorong memilah sampah organik dan anorganik dahulu sebelum diangkut truk milik desa. Termasuk hotel dan restoran yang memadati desa ini. Sampah organik diolah di Rumah Kompos dan TPS Temesi di kota Gianyar yang digunakan untuk menyuburkan hutan monyet ekor panjang di Monkey Forest.

 

Stan yang mengenalkan cara membuat kompos cair dan aneka tumbuhan dari pot olahan botol bekas dalam pameran di Trash Fest oleh Desa Padangtegal, Ubud, Bali, awal November 2017. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Lingkaran ekologis di Padangtegal ini diperkenalkan lewat stan Rumah Kompos. Ada sebuah video yang ditayangkan berisi kampanye memilih sampah dan mengurangi penggunaan plastik. Pesan ini disampaikan alm Ida Pedanda Made Gunung, mendiang pemimpin ritual agama Hindu yang dikenal kritis dan dihormati.

“Ke pura bawa canang pakai plastik? Seperti TPA nanti. Plastik tidak datang sendiri dari langit atau dibawa anjing. Plastik dibuang manusia sendiri, jangan lagi menggunakan plastik,” ingatnya. Ada juga role model Komang Arnawa, juara binaraga yang berkampanye pria sejati buang sampah di tempatnya. Di sini juga dipamerkan tong sampah terpilah dan booklet panduan mengolah sampah organik di rumah. Bisa dijadikan kompos organik cair dan padat.

Kadek Sujana, salah satu anak muda dari Yowana Desa Padangtegal penggagas acara ini mengatakan sebagai daerah wisata Ubud harusnya bisa menyontohkan pengelolaan sampah. “Daerah wisata kan wajib bersih,” katanya. Ia sendiri relawan TrashStock, gerakan dengan misi sama di Bali.

Anak-anak muda desanya ingin bergerak dalam penyadaran lingkungan ini melalui Trash Fest. Apalagi desanya menurut Sujana sudah menyontohkan pengelolaan sampah. “Ada pemberian penghargaan untuk warga yang rajin memilah sampah, tong sampahnya diisi nama,” tutur pria yang akrab dipanggil Eby ini. Selain masalah sampah, saat ini menurutnya Ubud makin padat karena kemacetan panjang. Jadilah polusi asap jika berjalan kaki di kampung turis ini.

Karena bersinggungan dengan seni dan budaya, tak heran aneka kerajinan yang dipamerkan di Trash Fest lekat dengan ritual. Misalnya dalam lomba kreasi olah sampah ada kelompok banjar yang buat Barong, purwarupa rangkaian sesajen atau Gebogan, dan ogoh-ogoh (boneka raksasa yang diarak malam jelang Hari Raya Nyepi).

Ada puluhan stan produk olahan sampah serta makanan yang dibuat tanpa menawarkan plastik sebagai wadah. Jadilah piring diganti dengan anyaman janur atau daun. Demikian juga sendoknya. Makanan juga lebih sehat seperti sayuran, ketupat, dan lainnya. Namun air kemasan masih dijual di salah satu stan.

Selain itu ada juga aneka pertunjukkan fashion show daur ulang yang dibawakan remaja-remaja Desa Padangtegal. Show seperti ini menarik perhatian anak-anak muda yang hadir.

 

Desa Padangtegal , Ubud, Gianyar, Bali, yang terkenal dan kaya dari hutan monyet Monkey Forest membuat sistem pengolahan sampah dari rumah dan terpilah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Rumah Kompos

Rumah Kompos dibuat desa persis depan Monkey Forest. Di hutan ini dihuni sekitar 600 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Orang Bali menyebut bojog, dalam bahasa Bali. Warna bulu monyet lucu yang kerap naik ke bahu pengunjung ini keabu-abuan hingga coklat kemerahan. Ada jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidung datar dengan ujung hidung menyempit. Ekornya panjang.

Menurut catatan ProFauna, monyet yang umum dijumpai ini tersebar luas di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Statusnya tidak dilindungi. Namun di Desa Padangtegal, Ubud, monyet ini dilindungi. Mereka tinggal di lahan 12 hektar, di pusat keramaian,  salah satu desa turis terkenal di dunia. Mereka membuat Padangtegal kaya. Hutan monyet yang terkenal dengan nama Monkey Forest ini menjadi sumber oksigen di tengah makin macetnya Ubud.

“Luas hutan terus ditambah, ini pohon-pohon baru umur 10-15 tahun,” kata Murdana, salah satu pengelola. Tak mudah menumbuhkan pohon di habitat bojog ini. “Banyak bibit mati dirusak, dahan dipatahkan  atau dicabut buat mainan.” Monkey Forest punya tim khusus menangani hutan konservasi ini.  Bibit terjaga, kalau rusak segera diganti.

Membuat hutan baru dan menumbuhkan dalam waktu cepat memerlukan pupuk. Mereka memutuskan menggunakan kompos agar alami dan tak meracuni habitat bojog.

Kalau kompos beli terus, biaya cukup besar. Bagaimana solusinya? Sejak 2013, mereka mulai merintis produksi kompos skala rumah tangga. Tiap warga diminta memilah sampah rumah, lalu mengolah menjadi kompos padat maupun cair. Tak berjalan mulus. Tak banyak yang mau membuat kompos walau desa sudah memberikan tiga tempat sampah gratis.

Untungnya,  di Gianyar ada tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi yang mengelola sampah dengan composting. Setelah diangkut dari lebih dari 700 rumah dan restoran, hotel, café, dan usaha lain di desa, sampah organik dibawa ke TPA Temesi. Karena sudah terpilah di truk antara organik dan anorganik, Temesi barter dengan kantong-kantong kompos tiap hari.

Rumah Kompos  tak bisa mengolah semua sampah organik karena lahan sempit. Hanya buat model cara pengolahan, misal  petak model composting, petak kecil kebun, dan penampungan sedikit sampah anorganik. “Kami ingin mendidik anak-anak memilah sampah, mengolah sejak dini dan memperlihatkan caranya di sini,” kata Supardi Asmorobangun, pengelola Rumah Kompos.

Volume sampah organik terangkut di Padangtegal saat ini disebut sekitar 12-16 ton per hari. Sedangkan non organik 4 truk. Residu plastik dibawa ke TPA Suwung sekitar 2 truk per hari. Supardi menyebut jumlah pelanggan sampah di desa ini per November ini sebanyak 710 warga, 367 di antaranya pengusaha hotel, restoran, cafe, warung, kantor, artshop, dan lainnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,