Dimanakah Kau Berada, Wahai Badak Bukit Barisan Selatan?

Mongabay menampilkan seri tulisan tentang badak sumatera, spesies ikonik yang terancam punah dari muka bumi. Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari 4 tulisan yang diterbitkan secara berturutan. Tulisan pertama seri ini dapat dijumpai dalam tautan ini.

Keringat bercucuran dan nafas terengah-engah, saat saya mengikuti rombongan Rhino Protection Unit (RPU) mendaki dan menuruni lereng-lereng curam hutan tropis TN Bukit Barisan Selatan (BBS) di pesisir barat Lampung. Saya merasa bersyukur karena bisa mengatur nafas tiap kali rombongan kami berhenti, entah untuk mengecek tanda rusa di batang pohon, atau memeriksa bunga Rafflesia raksasa yang sedang mekar. Sampai akhirnya kami benar-benar bisa berhenti untuk istirahat minum diantara lekukan tanah yang agak besar.

“Ini tempat Rosa biasa berkubang,” kata Marsum, koordinator lapangan RPU BBS kepada saya.

“Rosa? Tunggu. Rosa si badak?”

“Ya, dia dulu biasa berkubang di sini,” jelas Marsum, yang, seperti banyak orang Indonesia cuma punya satu nama saja.

Kami hanya berjarak sekitar 20 menitan berjalan kaki dari kamp RPU. Apakah masih ada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) tersisa lainnya di sini?

Rosa sekarang sudah tinggal di rumah barunya, Suaka Rhino Sumatra (SRS), yang berada di TN Way Kambas. Dia dipindahkan pada tahun 2005 demi keselamatannya. Tidak seperti kebanyakan jenisnya, Rosa tidak takut pada orang, bahkan pernah ditemukan makan di kebun masyarakat. Bahkan pernah masuk ke pasar lokal, hingga diikuti oleh ratusan penduduk desa yang ingin tahu. Zulfi Arsan, kepala dokter hewan SRS, pernah menggambarkan perilaku Rosa sebagai “otaknya agak miring”.

Sekitar waktu Rosa ditangkap, para ahli memperkirakan BBS adalah rumah bagi sekitar 60 sampai 80 individu badak. Tapi bisa jadi, Rosa adalah sisa jenisnya yang terakhir di BBS.

Ada dua narasi tentang badak di BBS. Satu klaim menyatakan badak masih ada jauh di dalam hutan BBS, jumlahnya sekitar belasan individu. Narasi lainnya mengatakan badak telah hilang, punah. Jika ada pun hanya tersisa beberapa individu; atau mungkin yang terakhir telah mati dalam tahun-tahun terakhir ini.

Kisah badak di BBS dan pertanyaan apakah Rosa adalah salah satu yang terakhir, menimbulkan pertanyaan tentang mau dibawa kemana konservasi badak sumatera. Haruskah kita menangkap sisa badak untuk dibawa ke lokasi penangkaran atau apakah benar ada populasi yang masih berpotensi tetap bertahan di alam liar ini?

Selanjutnya, jika badaknya sudah tidak ada lagi, apa yang akan dilakukan dengan tim pria dan perempuan pemberani yang tergabung dalam RPU BBS?

 

Lokasi TN Bukit Barisan Selatan yang berada di pesisir barat provinsi Lampung.

 

Mencari Tanda Kehadiran Badak

Dalam upaya untuk menghitung jumlah badak di BBS, RPU pada tahun 2012-2013 mengumpulkan 62 sampel kotoran yang dianggap kotoran badak. Namun, pada saat uji genetik dilakukan, hasilnya mengejutkan semua orang, 60 persen sampel bukanlah badak, tapi tapir.

Kemana hilangnya badak-badak itu. Apakah badak di BBS, akan mengikuti cerita hilangnya badak di TN Kerinci Seblat yang terletak di utara BBS, atau Sabah di Malaysia?

Untuk memantau keberadaan badak, RPU dibentuk. Tim ranger ini sebagian besar dananya didukung oleh International Rhino Foundation (IRF). RPU memiliki empat tugas pokok: perlindungan, survei, restorasi habitat, dan melakukan penyelidikan aktivitas ilegal seperti perburuan dan perdagangan satwa liar.

Namun setelah insiden kotoran tapir, banyak pihak yang mempertanyakan kemampuan RPU untuk memperkirakan populasi badak secara akurat. Apakah mereka salah memperkirakan keberadaan badak, padahal badak sudah tidak ada lagi di lokasi itu?

RPU melakukan monitor badak melalui “pembacaan tanda”: jejak kaki, kotoran, bekas kubangan, cabang pohon yang bengkok. Tapi ada masalah dengan akurasi membaca tanda-tanda itu. Bisa saja seseorang salah mengira jejak yang ditinggalkan oleh tapir yang dianggap jejak badak karena jejaknya sudah lama. Membaca tanda kotoran juga terbukti bermasalah oleh studi genetik. Tempat berkubang babi dan badak juga mirip. Juga, masih ada kemungkinan bisa saja seseorang salah menafsirkan cabang pohon yang dipelintir oleh badak saat ia makan.

Ketidaksempurnaan ini, bukan berarti RPU tidak bekerja dengan baik. Nyaris diluar tim ranger RPU, tak ada orang yang memiliki kemampuan mengidentifikasi keberadaan badak di lokasi ini. Beberapa anggota tim seniornya telah bekerja di RPU sejak akhir 1990-an. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk melindungi spesies ini, meski ada juga anggotanya yang sampai hari ini belum pernah bertemu badak secara fisik langsung di alam bebas.

“[Sebenarnya] sangat mudah untuk membedakan antara jejak kaki badak dan tapir, dan saya yakin tim kami tahu cara membedakannya,” jelas Inov Sectionov, Koordinator Program Indonesia untuk IRF.

Namun, manusia tak luput dari khilaf. Kesalahan menjadi lebih umum saat kita memantau spesies yang hampir tidak ada lagi dan tak pernah terlihat.

Lalu apa yang terjadi dengan kasus kotoran badak yang ternyata kotoran tapir itu? Arief Rubianto, manajer RPU Sumatera, menyebut hujan selama waktu pengambilan sampel menjadi biang masalahnya. Ini membuat sulit untuk membedakan kotoran badak dan tapir. “Ini semata bukan kesalahan RPU,” katanya. Saat itu tim berupaya mengumpulkan sebanyak mungkin kotoran karena harapannya mereka bisa mendapat berbagai sampel DNA badak.

Arief menyebut, RPU menemukan semakin sedikit “tanda-tanda kehidupan” badak di BBS. Tapi menurutnya ini bukan berarti populasi badak menurun. Dia berargumen aktivitas ilegal seperti perambahan, kebakaran dan aktivitas lain manusia mendorong badak untuk masuk lebih dalam ke hutan, bergerak ke lereng-lereng curam, yang sebenarnya bukan habitat ideal badak.

Arief mengklaim setidaknya ada 12 badak yang tersisa di BBS termasuk dua anak yang lahir tahun ini, yang diketahui dari jejak kakinya. Populasinya rendah tapi “tetap stabil”, jelasnya.

Jika ini benar, badak yang tersisa masih mampu mempertahankan populasinya dengan layak, dengan asumsi mereka masih mampu berbiak. Dalam sebuah laporan tahun 2015, disebutkan minimal 15 badak dibutuhkan untuk membentuk populasi yang layak.

Tapi perkiraan Arief itu adalah jumlah angka yang paling optimis yang pernah saya dengar.

 

Badak yang sedang berkubang di Suaka Rhino Sumatera (SRS). Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Cerita Kamera Jebak

Para ahli berkonsesus bahwa hanya tersisa beberapa individu badak yang ada di BBS. Termasuk Susie Ellis, Direktur IRF, yang meyakini hanya sedikit individu badak tersisa di BBS.

Data perangkap kamera jebak mengkonfirmasi hal ini. Survey tahun 2014 hanya memotret satu atau dua individu badak saja. Sejak itu tidak ada lagi yang terfoto, meski RPU melaporkan mereka melihat satu individu badak di tahun 2015.

Wulan Pusparini, peneliti di Wildlife Conservation Society (WCS), mengatakan kelompok Smart Patrol-nya menemukan lebih dan lebih sedikit lagi gajah setiap tahunnya di BBS. Tidak seperti yang dilaporkan RPU, WCS pun tidak menemukan tanda-tanda keberadaan badak. Dia menyebut RPU mendapat “sinyal yang salah”.

“Ini bisa dimengerti, Jika Anda fokus hanya mencari badak, maka semua tanda diarahkan kepada badak. [Istilahnya] kalau Anda fokus mencari bigfoot maka suatu saat pun Anda bakal menemukannya,” jelasnya.

Dalam upaya mencari tanda kehidupan badak di BBS, dia menyebut tim WCS telah menyiapkan lebih banyak lagi perangkat kamera jebak, dengan harapan bisa mengkonfirmasi populasi tersembunyi yang disebutkan oleh Arief.

“Di BBS, 20 unit kamera itu tidak cukup; 50 pun tidak cukup. Mereka berencana memasang 200 itu pun tidak cukup. Tidak akan pernah cukup,” jelas Wulan.

Arief berargumen bahwa kamera jebak tidak lagi efektif untuk memastikan keberadaan badak. Katanya, badak telah belajar menghindar dari segala hal yang berhubungan dengan manusia, termasuk kamera jebak.

Namun Wulan skeptis dengan pernyataan ini. Dia menyebut di TN Gunung Leuser, dengan hanya 25 kamera jebak saja, timnya telah mengkonfirmasi populasi badak, setidaknya 12 individu.

“Jika ada badak, kamera jebak pasti akan menangkapnya,” katanya.

John Payne, Direktur Borneo Rhino Alliances, menyebut saat para peneliti menemukan badak betina, Iman, di Lembah Danum, Sabah, WWF bisa mendapatkan puluhan foto dirinya.

“Mereka satwa yang mudah ditemukan,” jelas Payne. “Mitos bahwa mereka satwa pemalu itu tidak benar, seperti satwa liar lainnya, saat takut mereka melarikan diri. Tapi jika mereka tidak mendengar kehadiran Anda, mereka akan terlihat.” Payne mengatakan bahwa RPU seharusnya melihat badak secara teratur jika jumlahnya ada di angka yang diklaim.

Tapi Arief berpendapat bahwa aktivitas patroli yang dilakukan banyak LSM telah mulai mengganggu badak. “Setiap LSM sekarang memiliki unit patroli mereka sendiri yang berada di jalur yang sama,” katanya. Menurutnya, ini mendorong badak berpindah lebih jauh ke dalam hutan.

Wulan berpendapat “beban pembuktian” ada di pihak yang menyebut populasi badak masih eksis.

“Anda harus membuktikan badak itu ada di sana,” katanya. Dan sampai hari ini, tidak ada yang mampu membuktikannya.

Perdebatan ini memiliki konsekuensi bagi dunia saintis: kelompok konservasi tidak lagi menggunakan data RPU untuk memperkirakan jumlah badak. Data RPU pun diragukan akurasinya. Meski, keberadaan RPU tetap penting bagi semua pemangku kepentingan, dalam upaya perlindungan habitat dari perburuan dan pemasangan jerat liar.

 

Tim RPU sedang memeriksa sebuah pohon yang digosok oleh seekor rusa. Dari kiri ke kanan: Yuliane Afterya, asisten manajer pendidikan RPU Sumatra; Marsum, koordinator lapangan RPU BBS; dan Bahara, anggota senior RPU. Foto: Jeremy Hance/Mongabay.

 

Dilema badak

Bisakah kita tahu jika ada badak yang tersisa? Ellis merujuk metode yang digunakan dalam mengamati badak jawa di TN Ujung Kulon. Sebelumnya, tidak ada satu pun pihak yang punya data dasar tentang jumlah badak jawa. Kemudian, IRF dan WWF memenuhi kamera jebak di seluruh taman. Sekarang jumlahnya tak terbantahkan.

“Tiba-tiba kita punya data terbaik tentang badak jawa,” kata Ellis. “Seharusnya hal ini tidak sulit untuk dilakukan di taman lain.”

Namun Payne berpendapat lain. Baginya alih-alih sibuk menghitung angka badak sumatera yang merupakan pemborosan waktu dan sumber daya. Sebaliknya, katanya mereka harusnya ditangkap saja. Pernyataan Payne membawa konsekuensi bagi pertanyaan lain. Yaitu, jika ada badak yang tertinggal di BBS, lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?

“Bahkan jika dijumpa 10, itu bukan populasi yang layak. Pemerintah perlu memikirkan beberapa langkah proaktif,“ kata Bibhad Talukdar, ketua IUCN SSC Asian Rhino Specialist Group. Dia menyebut survey cepat harus segera dilakukan untuk mengidentifikasikan berapa badak tersisa. “Jika rasio jantan/betina sesuai, baru anda bisa memutuskan melangkah pada perlindungan habitat yang tepat.”

Namun, pertemuan para ahli badak di bulan Mei lalu di Jakarta mencapai sebuah konsensus yang merekomendasikan bahwa semua badak di BBS – jika ada – harus ditangkap dan dibawa ke lokasi penangkaran yang saat ini jumlah individunya terbatas. Sebagian besar ahli yang saya ajak bicara mengamini pilihan ini.

“Setiap badak yang ada di BBS harus ditangkap dan dimasukkan ke SRS atau Way Kambas,” ungkap Widodo Ramono, Direktur Eksekutif YABI.

Pandangan Widodo tampaknya memiliki pengaruh, beliau adalah rimbawan senior yang dihormati. Juga anggota Sekretariat Bersama Konservasi Badak Indonesia yang tugasnya memberi masukan bagi pemerintah untuk menentukan langkah yang harus dilakukan. Namun, sampai saat ini belum begitu jelas, apakah pemerintah yakin dengan masukan ini. Hingga saat ini belum ada perangkap yang direncanakan untuk menangkap badak di BBS.

Jika opsi untuk menangkapi badak liar BBS adalah solusi terbaik untuk kelestarian spesies ini, lalu bagaimana nasib tim ranger RPU?

 

TN Bukit Barisan Selatan bukan hanya rumah bagi badak sumatera, juga rumah bagi satwa lain, seperti anak gajah ini. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hidup Bersama RPU

Malam kedua di BBS, tim RPU membawa saya ke lokasi tarsius. Meski tidak bertemu dengan spesies malam itu, kami bertemu banyak lintah, kodok, kadal dan Rafflesia yang baru mekar. Selama 36 jam bersama tim RPU BBS, saya sangat terkesan dengan dedikasi, ketrampilan, ketangguhan, keramahan, dan selera humor mereka.

Setelah makan siang pada hari kedua, saya duduk mengobrol dengan Marsum dan Bahara, anggota senior RPU, serta Yuliane Afterya asisten manajer pendidikan RPU Sumatera. Mereka menyebut bahwa tim RPU terakhir kali melihat badak pada tahun 2015. Baru-baru ini mereka pun telah menjumpai jejak kaki induk badak betina dan anaknya.

Sama seperti Arief, mereka mengatakan badak telah bergerak jauh ke dalam lereng taman untuk menghindari gangguan manusia. Sementara populasinya tersebar, tim RPU percaya bahwa badak masih bisa bertemu untuk berkembang biak saat musim kemarau.

Lalu apakah badak-badak di BBS harus ditangkap? “Itu bukan keputusan kami, itu keputusan pemerintah,” jelas mereka. “Kami tim RPU ada di sini untuk membantu pemerintah.”

Apa yang sebenarnya mereka butuhkan, kata mereka adalah dukungan resmi dari pemerintah, termasuk untuk menjadi penjaga hutan permanen, diberdayakan untuk melakukan penangkapan, dan tetap dapat berpatroli.

Dari hasil pengamatan tim RPU, perburuan dan pemasangan jerat di taman indikasinya menurun, meski perambahan kawasan tetap menjadi ancaman terbesar keberadaan taman. RPU baru-baru ini menghentikan aktivitas ilegal penduduk yang menebangi hutan. Mereka langsung menjelaskan situasinya kepada masyarakat, tidak ada yang ditangkap, dan warga akhirnya bersedia pindah ke lokasi lain.

Hal penting disini adalah, keberadaan RPU bukan hanya untuk menjaga badak, tapi untuk spesies lain di BBS. Seolah menggarisbawahi hal ini, sebuah studi terakhir WCS dan Panthera menemukan bahwa populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) meningkat di BBS, sebuah sinyal harapan hidup untuk spesies lain yang terancam punah di pulau ini.

“Jika Anda tidak memiliki RPU, semuanya tidak akan terlindungi,” jelas Widodo, Dia menyebut fakta bahwa pemerintah belum memiliki tim ranger reguler di BBS. Widodo mengatakan dia ingin melihat RPU tetap dipertahankan di BBS, meski akhirnya nanti opsi penangkapan badak dipilih.

“Jika Anda mampu menbentuk RPU, mengapa tidak [sekalian] membentuk tim perlindungan satwa liar?” tanyanya. “Jika donor mendukung, kita bisa lanjutkan.”

Tanpa RPU, kawasan konservasi TN BBS yang telah ditetapkan sejak tahun 1935 terancam kehilangan spesies kuncinya. Situs warisan dunia UNESCO ini mungkin bisa kehilangan badak, tapi tetap menjadi benteng tempat tinggal bagi harimau sumatera, gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan spesies burung tokhtor sumatera (Carpococcyx viridis) yang semuanya sangat terancam. TN BBS juga merupakan rumah bagi kelinci bergaris sumatera (Nesolagus netscheri), enam spesies primata, enam rangkong, serta ribuan spesies lainnya, baik besar dan kecil.

Jika tempat lain di Asia tropis menghadapi ancaman hilangnya hutan dan spesies, TN BBS masih tetap menjadi permata. “[Beruntung] kami memiliki tim yang berdedikasi,” jelas Widodo tentang RPU.

“Anda sulit menemukan banyak orang yang bekerja sebaik mereka.” (Diterjemahkan oleh: Ridzki R Sigit).

 

Tulisan ini telah mengalami penyuntingan. Artikel asli berbahasa Inggris di Mongabay.com dapat anda jumpai dalam tautan ini.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,