Negara Kepulauan Semakin Terancam Hadapi Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Negara kepulauan di dunia saat ini tengah menghadapi ancaman nyata dan serius akibat perubahan iklim. Ancaman itu, adalah kenaikan permukaan air laut, abrasi pantai yang tak terkendali, terumbu karang yang mengalami kematian, dan penduduk pesisir yang terpaksa dipindahkan ke tempat baru. Ancaman tersebut, dialami semua negara kepulauan di seluruh dunia tanpa ada perbedaan.

Pernyataan tersebut diungkapkan Deputi Bidang Kedaulatan Kemaritiman Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno di acara side event konferensi perubahan iklim COP-23, Bonn, Jerman, akhir pekan lalu. Dia mengatakan, saat ini ancaman yang dihadapi negara kepulauan dari waktu ke waktu semakin tak terbendung. Ancaman itu tidak mengenal ukuran, jumlah pulau, panjang pantai, dan tingkat kemajuan ekonomi serta teknologi.

Arif mengungkapkan, ancaman yang sedang dihadapi itu, terutama dirasakan oleh Indonesia dan merujuk pada laporan dari Panel Antar Pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC). Kata dia, pada laporan pemeriksaan (asssesment report/AR-5) itu,disebutkan bahwa negara kepulauan dan negara-negara pulau kecil sedang menghadapi ancaman nyata yang merupakan efek dari perubahan iklim.

“Dampak itu berupa banjir, naiknya permukaan air laut, dan naiknya kadar keasaman laut,” jelasnya melalui siaran pers yang diterima Mongabay Indonesia.

Mengingat ancaman yang semakin nyata tersebut, Arif Havas mendesak kepada semua negara kepulauan dan negara pulau untuk segera melaksanakan peningkatan kapasitas dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Salah satu caranya, adalah dengan membentuk kerja sama antara negara kepulauan dan negara pulau untuk isu perubahan iklim.

“Pemerintah ingin forum ini dapat menjadi suatu platform kerjasama, saling tukar pengalaman dan informasi serta memberikan pelatihan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan cuaca di berbagai negara pulau,” tutur dia.

Forum yang dilaksanakan di Bonn tersebut, diakui Arif Havas digagas oleh Pemerintah Indonesia bersama dengan United Nations Development Program (UNDP) dengan menghadirkan empat pembicara dari Indonesia, Fiji, Maladewa, dan UNDP. Sekitar 50 perwakilan dari negara-negara pulau dari seluruh dunia datang dalam acara tersebut.

Arif Havas kemudian menjelaskan, dalam upaya mengatasi perubahan iklim, berbagai langkah telah dilakukan untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Kata dia, beberapa negara melakukan adaptasi dengan membuat tanggul pantai yang terbuat dari semen dengan bantuan lembaga-lembaga internasional atau negara-negara asing.

Selain cara di atas, Arif Havas menambahkan, ada beberapa negara yang melakukan reklamasi di pinggir pantai untuk menyelamatkan kehidupan di pesisir yang terancam kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian akibat naiknya permukaan laut. Salah satu negara tersebut, diakuinya adalah Indonesia.

“Indonesia sendiri telah kehilangan sekitar 29 ribu hektar akibat kenaikan permukaan air laut di kawasan utara Jawa dan kawasan lainnya. Hingga kini masalah kenaikan air laut menjadi suatu masalah global,” papar dia.

 

Sketsa alam dari Pulau Mede, Tobelo Halmahera Utara. Nampak latar Gunung Mamuya dan biru awan, Senin (9/10/17) Foto: Faris Bobero/Mongabay Indonesia

 

Dengan ancaman yang terus bertambah, Arif Havas menegaskan, Pemerintah Indonesia bertekad untuk serius menangani permasalahan ini. Pasca penyelenggaraan COP-23, Kemenko Bidang Kemaritiman akan kembali melakukan kampanye dalam masalah kelautan dengan menyelenggarakan Konferensi Negara Kepulauan dan Negara Pulau pada tanggal 21-22 November mendatang.

“Dalam konferensi ini, pemerintah Indonesia akan menggandeng UNDP. Lembaga tersebut memiliki kekhawatiran yang sama terhadap ancaman nyata perubahan iklim. Terutama pantai yang terabrasi sehingga menyebabkan penduduk yang bermukim disana terpaksa direlokasi,” tandas dia.

 

Pentingnya Isu Laut

Selain pentingnya membentuk kerja sama dengan negara kepulauan dan negara pulau, Indonesia juga mendesak segera dimasukkannya isu laut dalam Paris Agreement. Desakan itu diungkapkan Arif Havas, karena masalah laut menjadi salah satu prioritas dalam perundingan di COP ke-23.

Arif mengatakan, dalam Paris Agreement sebagai hasil COP-21 di Paris, tahun 2015, tidak ada pembahasan masalah laut secara mendalam dan hanya menyebutkan satu kata ‘samudera’ saja di dalamnya. Hal itu bisa terjadi, karena negosiasi yang dilakukan sebelumnya tidak menyertakan pakar kelautan, dan hukum laut.

Menurut Arif, minimnya penyebutan kata ‘Samudera’ di dalam naskah kesepakatan internasional berbasis hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) setelah 2020 itu, dikhawatirkan bisa mengurangi upaya mitigasi perubahan iklim yang tengah dilakukan di kawasan samudera.

“Kita minta ada sebuah upaya internasional agar masalah laut menjadi bagian dan Paris Agreement. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan revisi Paris Agreement atau dengan mekanisme lain yang dapat disepakati bersama,” desak dia.

Kekhawatiran Arif Havas tersebut dinilainya beralasan. Mengingat, menurut sebuah studi yang dipresentasikan dalam COP-23, kini kadar keasaman permukaan samudera naik hingga 26 persen bila dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri. Hal, menurutnya bisa sangat membahayakan ekosistem laut, termasuk mengurangi jumlah stok ikan di laut.

Selain mendesak ada revisi naskah kesepakatan Paris, Arif Havas juga mengungkapkan permasalahan yang dihadapi negara kepulauan dan negara pulau dalam menghadapi perubahan iklim. Permasalahan yang dimaksud, adalah pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi yang dinilainya sangat mahal.

“Menghadapi perubahan iklim adalah upaya yang mahal. Kita perlu pendanaan khusus sehingga harus melibatkan pihak swasta,” kata dia.

 

Nelayan bersiap mendarat di Desa Waepure, Kecamatan Airbuaya, Kabupaten Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, setelah melaut selama 10-12 jam di Laut Seram. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Oleh itu, Arif Havas menghimbau kepada semua negara yang menghadapi ancaman sama untuk membentuk kerja sama dan aliansi bersama dalam menghadapi isu perubahan iklim di negara masing-masing. Kerja sama yang dimaksud, adalah pembentukan sebuah forum negara kepulauan dan negara pulau yang ditujukan untuk melakukan berbagai langkah adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

“Negara-negara yang menghadapi ancaman yang sama perlu untuk membentuk kerjasama dan aliansi bersama. Makanya, di sesi paralel itu saya sampaikan gagasan pembentukan forum negara kepulauan dan negara pulau,” ungkap dia.

Untuk diketahui, forum kelautan bernama Ocean Actions Day dihadiri oleh Komisioner Lingkungan Hidup, Maritim dan Perikanan Uni Eropa Karmenu Vella, Menteri Energi Jerman Joschen Flashbart, Menteri Perikanan Fiji Inia Seruiratu, Wakil Presiden World Bank untuk Pembangunan Berkelanjutan Laura Tuck, Ketua tim negosiator COP-23 dari Fiji dan Chile. Selain itu, akademisi dari AS, Eropa dan Asia turut pula hadir dalam sesi tersebut.

Sebelum kampanye di COP 23, Indonesia lebih dulu menggelar kampanye nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain di darat, kampanye dilakukan untuk laut yang dinilai bisa membantu untuk menghadapi perubahan iklim.

Salah satu kampanye yang dilakukan, adalah tentang pemanfaatan karbon biru. Selain kampanye nasional, pada COP ke-22 di Maroko, 2016, Indonesia juga mengampanyekan karbon biru untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Adapun, pemanfaatan karbon biru, bisa dilakukan dari hutan bakau, padang lamun, dan kawasan payau.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,