Potensi perikanan dan kelautan di Indonesia Timur sudah lama dikenal sangat berlimpah. Salah satu daerah yang dianugerahi kekayaan tersebut, adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) di Provinsi Maluku. Keberadaan daerah tersebut, juga sangat strategis karena berada di garda terdepan kepulauan Nusantara dan berbatasan langsung dengan Australia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Saumlaki di Kabupaten MTB sebagai salah satu daerah yang akan dibangun menjadi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).
Pada pertengahan Oktober 2017, Mongabay Indonesia datang langsung ke MTB untuk melihat kondisi perikanan disana dan perkembangan pembangunan Saumlaki sebagai SKPT. Ini adalah tulisan kedua hasil peliputan tersebut.
Tulisan pertama berjudul “Pesona Saumlaki, Sekaya Laut, Semakmur Darat” bisa dibaca disini.
Tulisan kedua berjudul “Dari Pulau Yamdena, Rumput Laut Menyebar ke Seluruh Dunia” bisa dibaca disini.
***
Pelabuhan Laut Saumlaki, Selasa (24/10/2017) siang Waktu Indonesia Timur (WIT) terlihat sibuk. Akitivitas bongkar muat kapal yang menurunkan dan menaikkan barang logistik dari dan ke Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku, terus menerus berlangsung tanpa henti. Lalu lalang orang yang datang dan keluar Pelabuhan menambah pemandangan kesibukan pada siang itu.
Di dermaga utama, deretan kapal-kapal bermuatan besar terlihat sedang berlabuh. Selain kapal logistik, berlabuh juga kapal milik Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang diketahui bermarkas di Ambon. Tak lupa, deretan kapal kecil yang diketahui milik para penduduk setempat dan pulau-pulau sekitar Saumlaki, juga terlihat berlabuh.
Sayang sekali, siang tersebut, kapal jejaring tol laut dengan rute trayek nasional T-2 yang menghubungkan Tanjung Perak – Kalabahi – Moa – Saumlaki — Dobo — Merauke – Dobo – Saumlaki – Moa –Kalabahi – Tg Perak, tidak terlihat. Padahal, kapal tersebut adalah satu dari 11 trayek tol laut yang diluncurkan Pemerintah Indonesia. Untuk rute yang melalui Saumlaki, waktu tempuh secara keseluruhan menghabiskan total 28 hari.
Meski tak terlihat di Dermaga, namun jejak kapal tersebut masih terlihat di area pelabuhan. Di hampir setiap sudut, terlihat kelompok penumpang yang membawa barang bawaan lengkap terlihat sedang duduk menunggu bersama keluarganya. Para penumpang yang diduga baru turun dari kapal itu, terlihat dengan wajah yang lelah dan kusut.
Bersama para penumpang, Mongabay Indonesia siang itu turut merasakan menjadi penumpang yang menunggu kapal. Namun, berbeda dengan mereka, Mongabay siang itu menunggu kapal kecil yang akan membawa ke Pulau Matakus, pulau kecil yang letaknya berdekatan dengan Saumlaki. Kapal yang ditunggu, adalah kapal milik warga pulau yang sedang datang ke Saumlaki untuk berbelanja logistik kebutuhan rumah tangga.
Sekitar 30 menit menunggu, akhirnya kapal yang ditunggu terlihat bersandar di pelabuhan. Kapal kecil berukuran 3 gros ton (GT) itu berlabuh di dermaga sisi barat yang terlindung dari laut lepas. Kapal tersebut saat berlabuh, terlihat membawa 4 penumpang yang seluruhnyya adalah warga pulau Matakus.
Butuh waktu sekitar sejam untuk menunggu kapal tersebut dan kembali bergerak keluar dari pelabuhan untuk kembali ke Matakus. Bersama kawan saya yang penduduk asli Saumlaki, kami berenam kembali mengarungi lautan dan menghabiskan waktu sekitar sejam saat tiba di Matakus.
Sang pemilik kapal, Ruben Amarduan, 32 tahun, ada di belakang kendali kapal kecilnya. Dia dengan tenang mengendalikan kapal untuk tetap berada di jalur menuju Matakus, pulau yang sangat terkenal di Kabupaten MTB.
Saat tiba di dermaga pulau Matakus, kehidupan pulau langsung menyambut kami. Anak-anak kecil berlarian di bibir pantai, para ibu duduk bercengkerama, para bapak berkumpul sambil menyeruput kopi, dan para nelayan terlihat sibuk menyiapkan jaring untuk menangkap ikan. Pemandangan tersebut, memberi kesan mendalam: sederhana, namun hangat.
***
Saat sedang duduk bersantai di bibir pantai, tiba-tiba seorang lelaki hampir paruh baya datang menghampiri. Rupanya, dia adalah warga setempat yang mengenali teman saya dari Saumlaki. Kepada saya, dia kemudian memperkenalkan diri dan menyebut nama Godlif Slarmana. Dia adalah nelayan setempat yang biasa bekerja dengan menumpang kapal orang lain berukuran sekitar 5 PK.
Aktivitas melautnya dilakukan rutin setiap bulan jika kondisi cuaca sedang bagus. Biasanya, dia melaut bersama pemilik kapal dan pekerja lainnya dan berangkat pada pagi hari atau sore hari. Saat selesai melaut, seluruh hasil tangkapan akan langsung dibawa ke Saumlaki dan dijual di sana. Sekali melaut, kata Godlif, hasilnya tidak selalu sama.
Namun, meski bisa melaut dengan normal dan mendapatkan penghasilan rerata Rp5 juta per bulan, Godlif tetap tak bisa menyembunyikan keresahan. Apalagi, setelah tahu bahwa saya adalah seorang jurnalis, dia semakin berani menceritakannya.
“Sudah setahun, kapal saya tidak bisa digunakan. Kapal tersebut masih belum punya izin. Padahal, saya sudah mengurusnya ke dinas dan juga ke Ambon. Tapi, hingga sekarang saya belum mendapatkan kejelasan,” ucap dia menceritakan kisah kapal berukuran 30 GT yang sudah dimilikinya sejak beberapa tahun lalu.
Godlif bercerita, awal mula terhentinya operasional kapal, dimulai saat Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakan penertiban kapal di seluruh Indonesia. Melalui penertiban, seluruh kapal yang beroperasi wajib melakukan ukur ulang dan mengecek kembali administrasi kapal secara lengkap.
Karena harus mengikuti prosedur tersebut, Godlif kemudian mengikutsertakan kapal miliknya untuk diukur ulang dan melalui prosedur lainnya. Saat mengikuti semua prosedur tersebut, tak ada kejanggalan ataupun permasalahan. Semua proses diikuti dengan tertib dan rapi. Setelah itu, petugas di dinas mengabarkan, kalau kapalnya akan diproses dan ditunggu kabar lanjutannya.
“Namun sampai sekarang, kabar yang saya tunggu tidak pernah datang. Saya pernah menanyakan langsung ke dinas, dan jawabannya juga tidak jelas. Saya tidak tahu dimana letak kesalahannya. Jika saya tahu, saya akan perbaiki,” tutur lelaki berbadan gempal dan berkulit gelap itu.
Menurut Godlif, akibat tidak bisa mengoperasikan kapalnya, dia harus kehilangan pendapatan dalam setahun terakhir. Kondisi tersebut, diakuinya, membuat perekonomiannya menurun tajam. Untuk tetap bisa bertahan hidup, saat ini dia mengaku harus bekerja kepada orang lain dan menunggu bayaran dari hasil penjualan hasil tangkapan.
Mengingat kondisi yang terus menurun, Godlif tidak berharap banyak dengan kemajuan Saumlaki sekarang. Dia tahu, Saumlaki saat ini sudah dilirik banyak orang, termasuk dari luar Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dia juga tahu, di Saumlaki akan segera dibangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang berfungsi sebagai pusat bisnis perikanan dan kelautan.
“Buat saya, kemajuan di Saumlaki, tak berpengaruh untuk kemajuan saya. Kalau ada kapal, saya mungkin bisa merasakannya. Namun, kapal saja tidak punya,” ujar dia lirih.
Karena itu, Godlif kemudian menyebutkan, walau sebagian warga pulau sudah memperbincangkan tentang rencana kehadiran SKPT, namun dirinya belum memiliki ketertarikan untuk ikut membahasnya. Baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana bisa tetap bertahan hidup di pulau, dengan biaya hidup yang terus meninggi dari waktu ke waktu.
“Semoga saja, saya segera diberikan jalan keluar. Sehingga ke depan bisa bersaing kembali dengan nelayan lain. Bisa mendapatkan kembali pendapatan yang cukup. Bisa merasakan dampak positif dari kehadiran SKPT yang ada di Saumlaki,” jelas dia.
Berkebun Kopra
Lain kepala, lain pemikiran. Lain Godlif, lain pula Ruben Amardua. Pemilik kapal yang saya tumpangi dari Saumlaki itu, mengaku tak memiliki perbedaan dengan penduduk pulau yang lain. Dia biasa melaut secara berkala antara 4 hingga 5 kali dalam sebulan. Sekali melaut,, biasanya dibutuhkan waktu rerata 4 hari.
“Namun, saya biasanya memanfaatkan waktu saat tidak melaut dengan aktif berkebun. Saya menggarap kebun kopra bersama istri. Itu membantu kami dalam perekonomian,” ungkap lelaki yang tinggal di RT 02 RW 01 Desa Matakus, Kecamatan Tanimbar Selatan itu.
Dari hasil melaut, dia mengaku pendapatannya sangat lumayan. Untuk sekali melaut yang menghabiskan waktu berhari-hari sendirian, dia bisa mendapatkan rerata penghasilan kotor Rp10 juta. Namun, dia tidak mau menyebutkan berapa rerata pendapatan bersihnya dari hasil melaut.
Pendapatannya tersebut, kemudian ditabung dan sebagian untuk kebutuhan sehari-hari. Dari hasil melaut juga, Ruben mengaku sudah bisa membangun rumah setelah melangsungkan pernikahan 11 tahun lalu dengan perempuan setempat. Rumah tersebut kini masih berdiri megah dan menjadi tempat berlindung dia, istri, dan dua anaknya.
Selain dari hasil tangkapan ikan, Ruben mengaku, pendapatan setiap bulan juga datang dari hasil berkebun kopra. Namun, berbeda dengan hasil melaut, pendapatan dari kopra datang setiap panen selesai, atau setiap empat bulan sekali. Sekali panen, kata dia, kopra memberikan pendapatan sekitar Rp4 juta.
“Saya berkebun kopra di atas lahan satu hektare yang diberikan Pemerintah Kabupaten. Total lahan yang saya dapat, sebenarnya 7 hektare untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, untuk kopra gunakan satu hektar saja,” tutur dia.
Dengan segala anugerah tersebut, Ruben mengaku tak tergoda untuk tinggal di Saumlaki, atau di kota besar di pulau lain. Dia mengaku akan terus menikmati kehidupannya di pulau sebagai nelayan sekaligus petani.
Dengan tetap melaut, Ruben juga mengaku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi kemajuan perekonomian yang ada di pulau dan juga Saumlaki, ibu kota kabupaten. Di sana, dia tahu akan dibangun SKPT yang memiliki kapasitas usaha besar dan bertaraf internasional.
“Mungkin, jika nanti sudah ada SKPT, saya juga akan memasarkan hasil tangkapan ke sana saja. Siapa tahu harganya jauh lebih tinggi dibandingkan sekarang ke tengkulak. Namun, saya tidak tahu SKPT itu seperti apa, karena hingga saat ini masih belum terlihat,” jelas dia.
Potensi Besar
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara Barat Venan Batlayeri mengakui, sambutan warga dengan rencana kehadiran SKPT sudah sangat baik. Meskipun, pada kenyataannya proyek tersebut hingga sekarang belum juga dibangun di area Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ukurlalan yang berjarak 6 kilometer dari pusat kota Saumlaki.
“Saya bersama tim sudah sering memberitahukan kepada warga tentang rencana SKPT ini. Saya lakukan itu di semua kecamatan. Walau ada yang tidak mengerti dan merespon, namun tidak sedikit juga yang mengerti dan memberikan respon positif,” tutur dia.
Konsep SKPT sendiri, kata Venan, adalah mengintegrasikan rantai bisnis perikanan dan kelautan di satu lokasi. Rantai bisnis yang dimaksud, adalah tahapan bisnis dari mulai penangkapan ikan, pendaratan di Ukurlalan, pengolahan di pabrik, dan kemudian sampai ke tahap pemasaran. Semua proses itu, dilakukan efektif di satu kawasan pusat bisnis yang dibangun di area 2 hektare dan ekstensi 2 hektare.
Jika sudah berdiri, Venan menyebut, SKPT akan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan untuk rantai bisnis perikanan dan kelautan. Segala kebutuhan itu, antara lain pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, tempat penyimpanan berpendingin (cold storage), tempat perbaikan kapal, penyediaan bahan bakar minya (BBM) dan es, karantina untuk ekspor, tempat tinggal sementara untuk nelayan.
(baca : Pemkab Maluku Tenggara Barat Belum Dukung Pembangunan SKPT Saumlaki?)
Keberadan SKPT sendiri, diyakini Venan bisa memberi manfaat bagi warga Kabupaten MTB dan sekaligus membuka segala potensi perikanan dan kelautan dan perekonomian secara umum. Di MTB sendiri, potensi yang hingga sekarang belum dikembangkan dengan baik, adalah tangkapan ikan pelagis besar bernilai tinggi seperti tuna, cakalang, dan juga tongkol.
“Ikan pelagis besar banyak ditemui di Laut Timor dan Arafura yang mengepung kepulauan Tanimbar di MTB ini. Selain Laut Banda juga. Dari potensi pelagis besar tersebut, per tahun bisa ditangkap sedikitnya 490 ribu ton,” jelas dia.
Selain ikan pelagis besar, Venan menambahkan, potensi lain yang juga bisa dikembangkan maksimal melalui SKPT, adalah tangkapan ikan demersal yang juga bernilai tinggi. Ikan yang dimaksud, seperti kerapu dan kakap yang potensinya mencapai 560 ribu ton per tahun.
Venan mengungkapkan, pada 2016, produksi perikanan tangkap di MTB baru mencapai 9.702 ton atau senilai Rp151 miliar. Jumlah tangkapan tersebut, didapat dari nelayan yang jumlahnya 11.245 orang dan tersebar di seluruh MTB. Para nelayan tersebut, diakui dia, sebagian besar adalah nelayan kecil yang menggunakan perahu tanpa motor dengan alat tangkap sebagian besar adalah pancing dan gillnet.
Jika SKPT sudah dibangun, Venan yakin, hasil tangkapan ikan yang dilakukan para nelayan bisa meningkat hingga mencapai 36.500 ton per tahun. Angka tersebut, selain berasal dari nelayan yang sudah ada, juga nelayan pendatang yang akan beroperasi begitu SKPT dibuka.
“Dengan jarak hanya 490 kilometer atau penerbangan sekitar sejam ke Darwin (Australia), Saumlaki ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Kita akan terus mengusahakan agar SKPT segera dibangun, karena aset yang diperlukan sudah kita serahterimakan ke Provinsi Maluku untuk diteruskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan,” tandas dia.
Untuk keperluan pembangunan di Saumlaki, KKP mengalokasikan dana sebesar Rp5 miliar yang ditujukan untuk perbaikan PPI Ukurlalan dan pembangunan sejumlah fasilitas baru lain. Adapun, fasilitas yang dibangun itu adalah, cold storage berkapasitas 200 ton, 3 unit ice flake machine berkapasitas 1,5 ton per hari, instalasi listrik, dan stasiun pengisian BBM.
“Sementara, untuk perbaikan, itu dilakukan untuk dermaga PPI, dan tempat pelelangan ikan,” tambah dia.
Selain Pemerintah Pusat, pendanaan juga akan dilakukan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Lembaga tersebut akan membantu pendanaan untuk membangun pelabuhan perikanan, pasar ikan, radar laut (coastal radar), dan satelit pemantauan.
(baca : Sudah Dua Tahun, Kenapa Pembangunan SKPT Berjalan Sangat Lamban?)
Untuk diketahui, penetapan Saumlaki menjadi lokasi SKPT bersamaan dengan penetapan untuk lokasi lain yang seluruhnya mencakup 12 lokasi di pulau kecil dan kawasan terdepan. Selain Saumlaki, mereka adalah Natuna (Kepulauan Riau), Merauke (Papua), Mentawai (Sumatera Barat), Nunukan (Kalimantan Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Morotai (Maluku Utara), Biak Numfor (Papua), Mimika (Papua), Rote Ndao (Nusa Tenggara Timur), Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), dan Sabang (Aceh).
Senada dengan Venan, Asisten Daerah II Kabupaten MTB Bidang Pembangunan Ekonomi dan Kemasyarakatan Alo Batkombawa juga mengatakan, kehadiran SKPT Saumlaki nanti bisa memangkas waktu tempuh ekspor produk perikanan dan kelautan dari MTB dan sekitarnya.
Alo mengatakan, jika selama ini produk ekspor harus dikapalkan dulu ke Surabaya (Jawa Timur) atau Jakarta dan memakan waktu lama, maka ke depan ekspor bisa dilakukan langsung dari Saumlaki. Ekspor terutama dilakukan ke kawasan Oceania seperti Australia dan Selandia Baru.
“Dari sini ke Darwin kan penerbangan kurang dari sejam. Itu lebih efisien. Itu jauh lebih bagus dibandingkan ekspor melalui Surabaya atau Jakarta,” tutur dia.