WHO mengidentifikasi perdagangan daging anjing di Indonesia sebagai kontributor utama penyebaran penyakit rabies mematikan di negeri ini.
Pada Kamis, (2/11/17), para aktivis hewan dari Koalisi Indonesia Bebas Daging Anjing (Dog Meat Free Indonesia) meluncurkan investigasi terhadap para pemasok anjing ke berbagai kota di Indonesia. Sebuah video mengungkap kebrutalan dan penderitaan mengerikan dialami jutaan anjing setiap tahun dalam perdagangan di Indonesia.
Anjing-anjing itu, dicuri secara kasar, ditangkap dari jalan dan dijejalkan ke belakang truk dengan kondisi kaki dan mulut terikat tali. Anjing-anjing ketakutan berjam-jam dalam perjalanan menuju pasar, rumah-rumah jagal dan restoran, dimana mereka dipukuli brutal dan bersimbah darah di hadapan satu sama lain.
Dessy Zahara Angelina Pane, Programmes Director AFJ mengatakan, Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Change For Animals Foundation (CFAF), AFJ dan Humane Society International (HSI) membentuk kampanye “Dog Meat-Free Indonesia” berdasarkan komitmen bersama menangani perdagangan daging anjing di Indonesia.
“Kami pada posisi mengatasi perdagangan daging anjing di Indonesia dan dunia,” kata perempuan yang biasa disapa Ina ini.
Data koalisi, di Asia, diperkirakan terdapat 30 juta anjing dibunuh untuk konsumsi manusia setiap tahun. Di Indonesia, sekitar satu juta anjing dibunuh setiap tahun. Mereka ditangkap dan dicuri untuk diangkut ke seluruh Indonesia. Banyak hewan peliharaan keluarga dicuri, dan ditangkap dari jalanan maupun perkampungan.
Dalam perdagangan anjing, terjadi proses pengangkutan dan pengiriman besar-besaran (antar kota, provinsi, dan antar pulau) yang tak teregulasi. Perdagangan ini, katanya, melanggar rekomendasi pengendalian rabies oleh para pakar kesehatan manusia dan hewan terkemuka, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
“WHO mengidentifikasi perdagangan daging anjing di Indonesia sebagai kontributor utama penyebaran penyakit rabies mematikan di Indonesia,” ucap Ina.
Selain sangat kejam, perdagangan daging anjing di Indonesia menimbulkan risiko kesehatan manusia serius, terutama penyebaran rabies. Mengingat, hanya praktik inilah terjadi perpindahan massal dan tidak diatur melibatkan anjing dalam jumlah besar.
Dengan begitu, katanya, ada kekhawatiran anjing positif rabies pindah ke kota padat seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta.
Mongabay datang melihat langsung penjagalan anjing-anjing di Solo, Jawa Tengah. Keranjang plastik memuat anjing-anjing berbagai jenis dan ukuran, digotong dan dibawa penjual kebagian belakang rumah.
Empat orang penjagal memainkan peran masing-masing. Mulai membakar bulu anjing, memotong, membersihkan organ tubuh dalam hingga menjual ke pembeli. Bahkan tetangga satu rukun tetangga tak tahu, rumah itu tempat penjagalan anjing.
“Loh itu jagal anjing toh? Saya malah tak tahu,” kata Supartini.
Supartini bahkan tak tahu, aliran berwarna merah di selokan rumah dia merupakan darah anjing. Bau bebakaran bulu dan kulit anjing menyengat, tercium dari depan rumah, hingga ke tetangga.
Untuk menjagal anjing, sebatang besi dengan panjang sekitar 30 sentimeter untuk memukul kepala dan mulut anjing. Lalu dikuliti dan daging dipotong.
Pantauan Mongabay kondisi sanitasi buruk di rumah jagal dan status kesehatan anjing konsumsi tak diketahui. Menurut Ina, kekhawatiran juga harus diperhatikan, mengingat semua orang dalam perdagangan ini, baik pemasok, penjagal, penyedia (penjual) dan konsumen berada dalam posisi berisiko terkena rabies maupun penyakit zoonosis lain.
“Yakin saja anjingnya sehat. Selama saya dagang rica-rica daging (anjing) aman saja,” kata Lina, pedagang Erwe (masakan daging anjing) di dekat Kampus Universitas Sebelas Maret, Solo.
Mongabay juga menelusuri asal anjing didapatkan sebelum disetorkan ke penjagalan. Temuan di lapangan, anjing dari Purwodadi, dikirim langsung pakai mobil bak, dan ditutupi terpal. Terkadang, jika suplai sedikit, anjing dikirim pakai bus umum, dan diletakkan di bagasi. Soal kesehatan anjing, tak pernah jadi perhatian.
Data AFJ dan JAAN, perdagangan anjing untuk konsumsi di berbagai kota besar di Indonesia seperti Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Bali, Medan dan Manado serta berbagai kota lain di Jateng makin marak. Walaupun perdagangan daging anjing di Indonesia tak pada skala sama dengan Korea, misal, namun jumlah tidak bisa diremehkan.
Menurut Ina, perdagangan daging anjing untuk konsumsi dinilai bukan hal wajar. Menurut ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties, OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC), anjing tak termasuk hewan potong untuk konsumsi manusia.
Anjing termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal. Apabila daging anjing dikonsumsi oleh manusia, menurut OIE dan CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare.
Dari investigasi AFJ sebelumnya, ditemukan dari perjalanan riset dan investigasi di beberapa tempat, ditemukan fakta-fakta mencengangkan mengenai perdagangan anjing untuk konsumsi, seperti transportasi ilegal puluhan anjing-anjing untuk konsumsi dari Pangandaran, Jawa Barat belum bebas rabies. Masuk ke wilayah bebas rabies seperti Yogyakarta dan Solo secara berkala lepas sama sekali dari pengawasan Dinas Peternakan maupun instansi lain.
Tim juga investigasi pada 12 hingga 23 restoran di Jakarta untuk mengetahui asal dan bagaimana anjing dijagal, jalur distribusi daging anjing, situasi keseluruhan di rumah jagal anjing. Restoran banyak mendapatkan suplai daging anjing dari penyuplai berlokasi di Cililitan, Jakarta Timur dan Pasar Senen.
Pasokan daging anjing dari luar Jakarta seperti Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Bahkan kadang mendapatkan 40 anjing dari Bali. Di Yogyakarta, lebih dari 50 warung penjaja menu daging anjing tersebar di Bantul hingga Sleman. Daging anjing dari Jawa Barat dan Yogyakarta.
“Investigasi mendalam kami lakukan ke penyuplai anjing hidup dan daging anjing terbesar di Yogyakarta dengan mengikuti perjalanan dari Yogyakarta ke Jawa Barat dan kembali ke Yogyakarta,” kata Ina.
Mereka merekomendasikan, pemerintah daerah dan pusat melarang perdagangan, penjagalan dan transportasi anjing untuk konsumsi di seluruh Indonesia. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang risiko kesehatan dan penyebaran rabies dari perdagangan dan konsumsi daging anjing.
Ina bilang, menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran dalam praktik perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga menyusun rencana efektif dalam memberantas rabies dan menciptakan Indonesia Bebas Rabies tahun 2020. “Ini sesuai komitmen Kementerian Kesehatan Indonesia yang disampaikan pada ajang International One Health Congress dalam laporan mengenai Zoonosis di Indonesia,” katanya.
Pemerintah juga perlu mengedukasi ketidakefektifan metode pemusnahan massal untuk memberantas rabies, menggalakkan program vaksinasi rabies berkelanjutan.
Di Yogyakarta, diperkirakan 360 anjing dibunuh tiap minggu. Di Manado dan Sumatera, dimana daging anjing sebagai makanan lezat, diperkirakan paling sedikit lima kali lipat (1.800 per minggu dalam satu area hingga total 3.600 ekor).
Kemudian kota besar seperti Jakarta memiliki jumlah lebih besar dari Yogyakarta, paling sedikit dua kali lipat, kira-kira 720 anjing per minggu. Jadi, jika dijumlahkan semua, didapat angka 4680 ekor anjing per minggu, 18.720 per bulan dan 224.640 per tahun
“Dan jangan lupa estimasi tersebut hanya di 4 daerah saja di Indonesia dan belum di daerah lainnya,” kata Ina.
Di Bali, Juli 2017, I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali mengeluarkan surat resmi memerintahkan tindakan tegas terhadap perdagangan daging anjing di Bali. Surat keluar atas dasar kekejaman terhadap hewan, risiko kesehatan masyarakat dan reputasi Bali sebagai tujuan wisata.
“Tindakan tegas harus diperluas ke seluruh wilayah Indonesia untuk menghentikan perdagangan daging anjing, kejam, tidak sehat, dan tidak aman.”