Harga Karet Rendah Pemicu Api di Lahan Gambut, Benarkah?

 

 

Masyarakat dari lima desa di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, yakni Desa Baru, Talangkerang, Suka Pindah, Plaju, dan Siju, selama 10 tahun terakhir mengakses kawasan SM Padang Sugihan Sebokor yang berada di wilayah Banyuasin. Benarkah mereka beraktivitas di kawasan konservasi tersebut dikarenakan harga getah karet yang rendah?

“Lantaran harga karet yang tidak pernah membaik, warga akhirnya masuk ke suaka margasatwa, sebab mereka mau makan. Tapi, tidak semua melakukannya, sekitar 50 warga saja,” kata Selamet, Kepala Desa Suka Pindah, pekan pertama November 2017.

Harga karet yang berkisar Rp4.500-6.000 per kilogram, tidak mencukupi kebutuhan hidup. “Jika punya kebun karet yang luas mungkin masih bisa bertahan, tapi jika hanya 1-2 hektar tentu sangat kurang pendapatannya,” ujar Selamet.

Di desa yang dihuni 1.735 jiwa ini sebagian besar pendapatan warga dari berkebun karet. Di antara mereka ada juga beternak sapi atau kerbau. “Mereka yang masuk ke kawasan, hidupnya benar-benar miskin,” ujarnya.

 

Baca: Di Desa Siju, Hampir 90 Persen Masyarakatnya Mengakses SM Padang Sugihan Sebokor

 

Di kawasan SM Padang Sugihan Sebokor, puluhan warga Desa Suka Pindah selain bersonor jika musim kemarau, juga menanam sayuran di lahan mineral atau gambut dangkal, serta mencari ikan. Benarkah hanya 50 orang, sebab berdasarkan pantauan BKSDA Sumsel, ratusan warga beraktivitas di lahan tersebut. “Memang ya, tapi warga asli desa ini hanya 50-an jiwa. Saya tidak tahu warga lainnya,” kata Selamet.

Persoalan rendahnya harga karet sebagai penyebab masyarakat masuk kawasan konservasi, yang diduga penyebab kebakaran lahan gambut selama ini, juga diungkapkan Mahmud, Ketua Kelompok Tani Harapan Kita, Desa Plaju.

“Jika harga karet membaik seperti 15 tahun lalu, mungkin tidak akan ada warga yang masuk ke kawasan,” katanya.

Sama seperti di Desa Suka Pindah, hanya sebagian kecil warga Desa Plaju yang masuk ke kawasan, sekitar 20 orang dari 1.300 jiwa penduduk. “Mereka ini memang miskin karena kebun karetnya kecil, getahnya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.”

Dijelaskan Mahmud, mereka yang memanfaatkan lahan gambut selama musim kemarau, bukan hanya 20 warganya, juga para pendatang dari dusun lainnya di Kabupaten OKI, termasuk dari Lampung. “Kami tidak mampu mencegahnya, sebab itu bukan tanah desa atau warga,” katanya.

Pernyataan yang sama dikatakan Kepala Desa Siju, Marwah. “Ini semua gara-gara harga getah karet yang tidak pernah membaik. Jika harga bagus, saya percaya kawasan tersebut aman,” lanjutnya.

Berapa harga ideal getah karet sehingga masyarakat di Banyuasin tidak lagi mengganggu SM Padang Sugihan Sebokor? “Rp10 ribu per kilogram,” kata Selamet. “Ya, kisaran Rp10-12 ribu per kilogram,” ujar Mahmud. “Maunya sih Rp15 ribu per kilogram,” kata Marwah.

 

Harga getah karet yang tidak stabil membuat petani berpikir keras untuk merawat kebunnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ekonomi berbasis ikan

Guna mencegah ke-50 warganya kembali ke kawasan SM Padang Sugihan Sebokor, Selamet berencana membangun kelompok usaha tani berupa pertambakan ikan. “Saya mau mendorong pembudidayaan ikan. Sebab, masyarakat di sini memang terbiasa mencari ikan selain berkebun karet.”

“Tapi saya juga berharap dukungan pemerintah terhadap usaha ini, sebab dana desa terbatas. Butuh dana pembuatan kolam, pakan, dan bibit,” lanjutnya.

Mahmud juga percaya, jika ke-20 warganya yang sering memasuki kawasan SM Padang Sugihan Sebokor diberi bantuan ekonomi, seperti pembesaran ikan dan pembuatan ikan sale atau asap, mereka akan berhenti bersonor atau mencari kayu dan ikan di kawasan itu. “Kalau ekonomi sudah membaik, buat apa lagi masuk kawasan, yang risikonya ditangkap dan buat susah banyak orang karena kabut asap.”

“Pemerintah dapat melakukan hal tersebut ketimbang mengeluarkan biaya besar untuk menyewa helikopter,” terangnya.

Sementara Yahnu, Ketua Kelompok Macan Timur, Kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Plaju, mengatakan alangkah baiknya bila anggota MPA yang dipimpinnya juga diberi usaha tambahan. Dengan begitu, mereka mampu membiayai sendiri kelompoknya.

“Jika menggunakan dana desa untuk melakukan monitoring dan kebutuhan lainnya untuk pertama ini mungkin tidak apa-apa. Tapi, jika seterusnya rasanya kurang baik. Biaya besar itu ya saat melakukan patroli sebab perlu BBM yang tidak sedikit,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,