Langkah-langkah Kecil bagi Kemanusiaan di Bonn

 

 

Menjelang Konferensi Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, kabar tak sedap muncul. Tahun 2017, menurut laporan dari Universitas East Anglia dan Global Carbon Project akan ditutup dengan polusi karbon dioksida tertinggi yang pernah dicatat. Artinya, setelah tiga tahun berturut-turut kita saksikan kecenderungan tidak meningkat, kini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata umat manusia belum bisa mempertahankannya.

Walaupun energi terbarukan naik produksinya dengan kecepatan rerata 14% per tahun dalam 5 tahun terakhir, energi fosil masih saja naik. Akibatnya, akhir tahun ini tampaknya kita akan melihat konsentrasi karbon dioksida menjadi 405,5 ppm, naik 2,5 ppm dibandingkan tahun lalu. Hampir pasti pula, 2017 akan nangkring di tiga besar tahun terpanas.

Lalu, apakah ini berarti Konferensi Perubahan Iklim setiap tahunnya tak membawa kemajuan yang berarti? Boleh jadi kita tergoda untuk menyatakan demikian. Apa lagi ukuran paling kuat untuk menyatakan keberhasilan atau kegagalan upaya menangani perubahan iklim kalau bukan ukuran ppm kadar karbon dioksida di atmosfer dan catatan suhu Bumi?

Tapi, mari kita tunda dulu kesimpulan yang bisa membuat kita berputus asa atas kemampuan kolektif manusia dalam mengelola tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan terbesar yang pernah dihadapi hingga sekarang.

 

Berbagai Capaian Pra-COP23

 Penelitian WRI (World Resources Institute) baru-baru ini telah menemukan bahwa 49 negara telah memuncaki emisi mereka. Artinya, sekitar seperempat negara sesungguhnya sudah memiliki catatan impresif, dan bisa menjadi modal untuk lebih jauh lagi menurunkan emisi mereka.

Sebuah koalisi baru dari berbagai negara juga sudah berjanji untuk menghapuskan pemanfaatan batubara sebagai sumber energi listrik pada tahun 2030. Ini juga merupakan langkah yang sangat penting, mengingat batubara adalah sumber energi yang paling kotor.

Demikian juga, WRI mencatat bahwa sovereign wealth fund terbesar di dunia, yang berbasis di Norwegia, telah mengajukan usul kepada pemangku kepentingannya untuk melakukan divestasi dari kepemilikan minyak dan gas bumi. Ini tentu saja dapat menimbulkan efek riak yang signifikan, yang membuat dana-dana semacam itu mengikuti langkah progresif mereka.

Amandemen Kigali yang beranggotakan lebih dari 20 negara juga mulai berlaku, di mana semua negara yang menjadi anggotanya telah bersepakat untuk mengganti hidrofluorokarbon, gas rumah kaca yang sangat kuat, dengan alternatif yang lebih aman bagi iklim.

Kemudian—bertentangan dengan niat Presiden Donald Trump untuk menarik Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Paris—perusahaan, kota, negara bagian Amerika Serikat dan lainnya hadir untuk memberikan dukungan penuh terhadap tindakan iklim. Gerakan We Are Still In bukan saja tetap kuat dalam menghadang niat buruk Trump, namun tampak terus mendapat dukungan. Koalisi bisnis yang ada di dalamnya merepresentasikan modal sebanyak lebih dari USD6,2 triliun.

Kalau dijumlahkan dengan kota dan negara bagian, maka koalisi itu merepresentasikan lebih dari separuh kekayaan AS. Tak mengherankan kalau Michael Bloomberg menyatakan bahwa koalisi ini seharusnya mereka mendapatkan tempat sebagai negosiator resmi. Dan besaran ekonomi itu seperti ditunjukkan dengan kehadiran mereka di Bonn, yang membuat paviliun Pemerintah AS terlihat luar biasa kecil. Koalisi itu berada dalam paviliun seluas 2.500 meter persegi, sementara Pemerintah AS hanya hadir dengan 100 meter persegi.

 

 

Peran AS dan Tiongkok

Tetapi, apa saja hasil dari COP kali ini, dan apakah COP ini mencerminkan tekad yang kuat untuk benar-benar mengatasi perubahan iklim, sebagaimana yang dibutuhkan manusia? Ada beberapa petunjuk penting yang perlu dipaparkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Dan yang banyak dinyatakan sebagai petunjuk awal memang adalah soal ‘kepribadian ganda’ AS tersebut. Bagaimanapun, sebagai penghasil 18% dari total polusi gas rumah kaca, apa tindakan yang diambil AS sangatlah penting. Kalau di satu sisi mereka menyatakan keluar, dengan terus-menerus menyatakan ‘ketidakadilan’; dan di sisi lain ada kelompok di dalam negerinya yang serius melawan, maka dampak AS atas perubahan iklim global tidaklah mudah untuk ditimbang. Apakah AS hanya akan mencapai separuh dari komitmen yang telah dinyatakannya dalam NDC mereka, lantaran sekitar separuh ekonomi AS saja yang menyatakan tetap berkomitmen pada Kesepakatan Paris?

Kemudian, apakah Tiongkok kemudian mengambil peran AS yang mengendur itu? Salah satu hal yang konkret dilakukan oleh Tiongkok adalah melalui Climate Cooperation Action (MOCA), sebuah kelompok gabungan yang terdiri dari Uni Eropa, Tiongkok dan Kanada, yang disusun pada COP tahun lalu, sebagai tanggapan langsung atas hasil pemilihan di AS.

Terkait dengan itu, Li Shuo, penasihat kebijakan global senior di Greenpeace Asia Timur, mengatakan kepada Carbon Brief (29/11): “It is worth noting that this is one of the only high-level climate processes that is a collaboration between developed and developing countries. It is also a very concrete case in point that China is lending support to the international climate process as part of collective/shared leadership.”

Di sisi yang lain Mohamed Adow, pimpinan Christian Aid London menyatakan bahwa “The days when you looked to one country to be able to actually lead the transition are gone. We’re now in a new era, where we are actually seeing more shared distributed leadership emerging, where 200 countries have collectively contributed to the global effort.

Tanpa bermaksud untuk mengurangi peran Tiongkok yang memang jadi tampak menonjol perannya dalam kepemimpinan perubahan iklim sejak Trump menjadi Presiden AS, COP 23 memperlihatkan bahwa memang kepemimpinan menjadi lebih terdistribusi. Ini mungkin menunjukkan masa depan kolektif yang lebih baik.

 

Inilah batubara-batubara yang dihasilkan dari menggali perut bumi itu. Foto: Tommy Apriando.

 

Hasil COP 23 yang juga sangat penting adalah munculnya Powering Past Coal Alliance, yang dipimpin oleh Inggris dan Kanada. Lebih dari 20 negara lain termasuk Denmark, Finlandia, Italia, Selandia Baru, Ethiopia, Meksiko dan Kepulauan Marshall, juga negara bagian AS, Washington dan Oregon, adalah anggotanya. Mereka mengupayakan untuk mendapatkan dukungan dari 50 negara di akhir tahun depan.

Sementara aliansi tersebut menyatakan dalam deklarasi mereka bahwa “analisis menunjukkan bahwa tahap batubara habis diperlukan paling lambat pada tahun 2030 di OECD dan EU28, dan paling lambat pada tahun 2050 di seluruh dunia” untuk memenuhi Kesepakatan Paris, namun belum ada tanggal penghapusan tertentu. Koalisi juga tidak melakukan penandatangan untuk mengakhiri pembiayaan pembangkit listrik tenaga batubara, melainkan hanya “membatasi” hal itu.

AS, tentu saja, tidak ikut menandatangani janji tersebut. Demikian juga beberapa negara besar lainnya seperti Jerman, Polandia, Australia, Tiongkok dan India. Pengakhiran batubara telah menjadi titik fokus penting bagi para juru kampanye pada pertemuan puncak UNFCCC itu—bahkan sejak beberapa COP lalu—dan sebetulnya banyak di antara perunding yang berharap Kanselir Jerman Angela Merkel akan membuat keputusan ikut dalam koalisi itu melalui pidatonya pada konferensi tersebut. Harapan itu tak terwujud. Sementara, secara terpisah, Michael Bloomberg, menggunakan acara side event untuk menjanjikan USD50 juta guna memperluas kampanye anti-batubara AS ke Eropa.

 

Peran Negara Berkembang

Berikutnya, COP 23 juga mencatat seruan oleh negara-negara berkembang untuk mempercepat tindakan iklim sebelum tahun 2020, terutama untuk memastikan bahwa komitmen yang telah dibuat di beberapa COP sebelumnya untuk benar-benar dihormati.

Ini merupakan perkembangan yang tak terduga di Bonn. Negara-negara berkembang secara terbuka menyatakan meminta negara-negara maju untuk memenuhi janji yang dibuat seputar pengurangan emisi dan mobilisasi sumberdaya finansial.

Demikian pula, penting negara-negara maju menyelesaikan ratifikasi periode komitmen kedua Protokol Kyoto 1997, yang akan diakhiri tahun 2020, disorot dengan kuat. Delegasi mencapai kesepakatan dengan menyetujui sesi stocktaking khusus pada tahun 2018 dan 2019.

Caballero, dkk (2017) menyatakan bahwa penelitian-penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa emisi global perlu memuncak dan mulai menurun secara signifikan pada tahun 2020 agar dunia memiliki kemungkinan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat C sebagaimana yang ditargetkan, dan dengan demikian mencegah dampak iklim yang sangat berbahaya. Yang paling terkemuka mungkin adalah Tindakan sesegera mungkin adalah sangat penting, dan itu yang disuarakan oleh negara-negara berkembang.

 

Perubahan iklim dipengaruhi oleh penggunaan energi fosil. Source: eco.business.com

 

Fiji dan Dialog Talanoa

Terkait dengan peran negara berkembang, Fiji sangat penting untuk dicatat. Dengan Fiji menjadi negara pulau kecil pertama yang menjadi tuan rumah perundingan iklim—walaupun diselenggarakan di Jerman—harapan membumbung tinggi bahwa hal itu akan memberi dorongan tambahan pada perundingan.

Pembicaraan tingkat tinggi bahkan didahului oleh sebuah pidato dari seorang anak sekolah berusia 12 tahun bernama Timoci Naulusala, yang mengingatkan seluruh delegasi bahwa “…apa yang hendak dilakukan bukanlah tentang bagaimana, atau siapa, tetapi tentang apa yang dapat Anda lakukan sebagai individu.”

Terdapat beragam pendapat mengenai keefektifan kepemimpinan Fiji dalam perundingan, namun dua hasil yang disebut-sebut sebagai pencapaian signifikan. Pertama, Gender Action Plan, yang menyoroti peran perempuan dalam pengelolaan perubahan iklim, terutama dengan mempromosikan kesetaraan jender dalam prosesnya.

Kedua, Local Communities and Indigenous Peoples Platform, yang bertujuan untuk mendukung pertukaran pengalaman dan berbagi praktik terbaik mengenai mitigasi dan adaptasi di antara masyarakat lokal dan adat. Di samping dua pencapain besar itu, Fiji juga tercatat meluncurkan Ocean Pathway Partnership, yang bertujuan untuk memperkuat masuknya isu-isu kelautan dengan lebih kokoh dalam proses UNFCCC.

Sebagaimana sudah dinyatakan di atas, negara-negara anggota UNFCCC mencapai persetujuan dua tahun yang lalu bahwa seharusnya ada momen satu kali pada tahun 2018 untuk mengetahui secara pasti bagaimana tindakan iklim berkembang sejak Kesepakatan Paris.

Informasi ini akan digunakan untuk menginformasikan putaran NDC berikutnya, yang dijadwalkan pada tahun 2020. Cara mencapai enhanced ambition ini dipandang sebagai penting sebagai mekanisme jangka panjang Paris, yang memang bertujuan untuk meningkatkan capaian pengengelolaan secara inkremental setiap lima tahun.

Awalnya, proses tersebut disebut sebagai Dialog Fasilitatif. Kini nama proses satu kali ini pada tahun 2018 diubah menjadi Dialog Talanoa, di bawah pengaruh kepresidenan COP Fiji. Penggantian nama tersebut untuk mencerminkan pendekatan tradisional terhadap diskusi yang digunakan di Fiji untuk proses yang inklusif, partisipatif dan transparan. Bagaimana proses Dialog Talanoa akan berlangsung telah dimasukkan sebagai lampiran empat halaman dari keputusan utama COP23.

Secara ringkas, proses tersebut akan disusun dengan bantuan tiga pertanyaan—Ada di mana kita sekarang? Hendak ke mana kita pergi? Dan, bagaimana kita sampai di sana? Tetapi, proses itu juga mencakup rincian baru, seperti keputusan untuk menerima masukan dari pemangku kepentingan non-pihak, sebuah keputusan untuk membuat platform daring (online) untuk menerima masukan, dan penekanan baru pada upaya-upaya yang dilaksanakan pada periode pra-2020.

 

Pengggunaan bahan-bahan perusak ozon terus ditekan. Mulai tahun ini pelaku usaha akan diberi stimulus agar meninggalkan teknologi yang masih memanfaatkan bahan perusak ozon (BPO) seperti HCFC. BPO ini memberikan kontribusi pada perubahan iklim. Foto: Sapariah Saturi

 

Paris Rulebook

Para negosiator, menurut catatan WRI, telah membuat kemajuan mengenai peraturan dan prosedur yang mendasari Kesepakatan Paris. Untuk menyelesaikan Paris Rulebook pada tahun depan, negara-negara harus mengintensifkan upaya, juga secara hati-hati mengarahkan topik seperti transparansi, penghitungan emisi dan pembiayaan, serta proses untuk meningkatkan ambisi dari waktu ke waktu.

Di Bonn, kemajuan tampaknya paling banyak dibuat pada isu transparansi yang sesungguhnya sangat sensitif. Di tahun depan, para negosiator perlu menyeimbangkan antara memberikan fleksibilitas kepada negara-negara berkembang yang memerlukannya—terutama karena kapasitasnya yang berbeda—sambil tetap memastikan semua negara dipandu oleh prinsip yang sama untuk memperbaiki data mereka dari waktu ke waktu, di samping memberikan prediktabilitas yang dibutuhkan oleh negara dan pasar terhadap pembiayaan penanganan perubahan iklim

Bagaimanapun, para negosiator memang masih perlu menemukan cara yang tepat untuk memanfaatkan upaya lima tahunan tersebut, termasuk bagaimana menangani masalah keadilan dalam proses itu. Dengan demikian Paris Rulebook perlu dipastikan menjadi semakin penting pada agenda politik negara-negara peserta perundingan, untuk memastikan umat manusia bisa mencapai hasil yang jelas pada tahun 2018.

Keadilan bagi seluruh negara dan sinyal pasar yang tepat, dalam pandangan WRI, sangat diperlukan untuk membantu mendukung transformasi menuju ekonomi rendah karbon, dan dunia yang sanggup menghadapi perubahan iklim.

Batas waktu untuk pekerjaan ini adalah COP24 di Polandia, yang akan diselenggarakan pada bulan Desember 2018. Sementara, target di Bonn hanyalah membuat draf pedoman pelaksanaan ini, dengan berbagai pilihan dan daftar ketidaksepakatan yang perlu dibuat sejelas mungkin, terutama untuk menunjukkan apa yang masih perlu diselesaikan pada COP mendatang itu.

Teks COP23 terakhir sendiri mengakui bahwa sebuah sesi perundingan tambahan agaknya diperlukan pada Mei-Desember 2018, untuk memastikan Paris Rulebook bisa selesai tepat waktu. Ini tampaknya akan diputuskan pada pertemuan yang dijadwalkan di bulan Mei itu, meskipun pada draf awal teks tersebut menyarankan Agustus atau September 2018. Isinya? NDC seluruh negara (butir 3), transparansi (butir 5), dan stocktaking global (butir 6).

 

Area persawahan. Petani yang tergantung pada hasil pertanian amat terpengaruh pada dampak perubahan iklim yang terjadi. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Arah yang Tepat

Masih ada beberapa butir yang juga menjadi perhatian penting seluruh delegasi. Diantaranya adalah soal pembiayaan yang terus-menerus muncul. Walaupun komitmen lama belum benar-benar terwujud, COP 23 menyaksikan tambahan USD90 juta untuk pendanaan adaptasi, termasuk USD50 juta yang berasal dari Jerman.

Loss and Damage juga menjadi perhatian penting, bahkan kerap disebut sebagai pilar ketiga setelah mitigasi dan adaptasi. Bedanya, kalau mitigasi dan adaptasi setidaknya sudah dijanjikan USD100 miliar per tahun, belum ada komitmen pendanaan apapun untuk Loss and Damage ini.

Kemajuan lainnya adalah dari sektor pertanian, yang sudah bertahun-tahun tak mengalami kemajuan. FAO bahkan sudah menyatakan bahwa hasil COP23 ini sangat positif bagi penyelamatan sektor pertanian, sekaligus jaminan keamanan pangan bagi dunia.

Bagaimanapun COP23 ini sejak awal memang tidak dianggap sebagai COP yang sepenting Paris, 2 tahun lalu, atau Katowice, di tahun depan. Namun, berbagai langkah kecil tampak sudah mengarah pada tujuan yang diharapkan. Nasib umat manusia akan semakin ditentukan di tahun depan, dan semoga saja semua yang diperlukan pra-2020 benar-benar bisa terwujud.

 

*Jalal. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,