Kaji Ulang Kebijakan dan Izin-izin Industri Ekstraktif di Papua

 

 

Pemerintah didesak meninjau kembali kebijakan peraturan dan perizinan yang melanggar hak asasi masyarakat adat Papua, cacat hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hasil peninjauan atas perusahaan-perusahaan ini harus disampaikan terbuka kepada publik dan dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan khusus maupun langkah politik “diskresi” hingga tercapai keadilan, penegakan hukum dan penyempurnaan tata kelola lahan dan hutan.

Demikian salah satu rekomendasi dari lokakarya yang membahas kritis kebijakan dan izin-izin investasi industri ekstraktif pertambangan, pembalakan kayu dan perkebunan skala luas di seluruh Tanah Papua, di Jayapura, 21-22 November 2017. Lokakarya ini dihadiri kelompok masyarakat adat dan organisasi masyarkat sipil dari berbagai daerah di Papua.

Peninjauan kembali kebijakan dan peeizinan ini, sudah diatur dalam Pasal 40 UU Otonomi Khusus Papua. Dalam UU itu menyatakan, setiap perizinan dan perjanjian yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam, yang merugikan hak hidup masyarakat adat Papua, cacat hukum dan bertentangan dengan UU, wajib ditinjau kembali.

Y.L. Franky dari Yayasan Pusaka mengusulkan, langkah-langkah menuju kaji ulang izin-izin perusahaan di Papuan antara lain mengumpulkan dan mengidentifikasi izin dan perjanjian sebelum UU Otsus dan setelah 2001. Juga mengumpulkan gugatan dan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum terkait izin dan perjanjian cacat hukum, bertentangan dengan UU dan merugikan masyarakat.

Kemudian, katanya, kajian izin dan perjanjian dari berbagai keputusan pengadilan baik pengadilan umum, Mahkamah Agung, peninjauan kembali maupun PTUN. “Lalu gugatan hukum ke pemerintah dan mendorong pemerintah meninjau kembali perizinan melalui jalur tertentu seperti diskresi.”

Joel Wanda dari Komisi Informasi Papua berpendapat, agar peninjauan kembali kebijakan dan izin-izin perusahaan efektif, pemerintah harus transparan. Dengan begitu, semua pihak bisa lakukan pengawasan dan memberi penilaian atas praktik-praktik investasi.

“Harus ada juga mekanisme pengaduan jika masyarakat ingin melaporkan perusahaan yang dinilai melanggar hak masyarakat maupun merusak lingkungan,” katanya.

 

Dampak buruk

John Way, Sekretaris Dewan Adat Papua Leo Imbiri menceritakan dampak buruk investasi ke Tanah Papua. Selama ini, katanya, setelah investasi masuk malah terjadi perampasan hak masyarakat atas sumber alam, sumber penghidupan masyarakat hilang akibat eksplotasi skala besar, dan nilai adat maupun budaya orang Papua berkaitan erat dengan tanah dan hutan juga hilang.

Selain itu, katanya, terjadi pelanggaran HAM kala masyarakat adat berupaya memperjuangkan keadilan karena investor pakai aparat negara. Depopulasi orang Papua pun terus terjadi.

Pernyataan Leo ini diperkuat pengalaman peserta dalam lokakarya. Egedius P. Suam, Kepala Suku Awyu, mengatakan, hampir sebagian besar wilayah Boven Digoel dan tanah adat Suku Awyu di Kali Digoel, menjadi sasaran investasi perkebunan dan pembalakan kayu.

“Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tanpa ada musyawarah dan persetujuan masyarakat adat. Masyarakat mendapat ancaman dan tekanan untuk menerima keinginan perusahaan,” katanya.

 

Aksi protes Freeport di Jayapura, pekan lalu. Foto: Front Persatuan Rakyat.

 

Adolvina Kuum, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tembagapura, mengatakan, kehadiran industri pertambangan PT. Freeport Indonesia yang menguras kekayaan tanah Amungme selama puluhan tahun mendatangkan malapetaka.

“Sejak awal Freeport beroperasi dan hingga kini, saudara-saudara kami sudah jadi korban, tanah kami dirampas, kebun digusur, tempat- tempat keramat dibongkar dan dikuras hasilnya,” katanya.

Masyarakat pindah paksa dan alami kekerasan. Sungai dan danau rusak, tercemar limbah berbahaya dari tambang Freeport. “Dari tanah datar hingga pesisir pantai,” kata Kuum, anak asli Amungme.

Perwakilan Suku Yerisiam Gua, Nabire, Sambena Inggeruhi, mengungkapkan, kala awal investasi masuk masyarakat adat setempat–perempuan dan laki-laki–direkrut jadi buruh kasar. Upah mereka, katanya, tak sebanding dengan pendapatan kala memanfaatkan hasil hutan dan dusun sagu.

Setelah itu, masyarakat adat tak lagi kerja dan berkonflik dengan perusahaan. “Kami yang memperjuangkan hak-hak masyarakat mengalami ancaman kekerasan dan dituduh dengan berbagai label miring, yang merugikan dan merendahkan martabat masyarakat adat,” katanya.

Tahun 2001, terjadi peristiwa Wasior Berdarah di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Pemerintah menetapkan peristiwa itu sebagai salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Peristiwa ini bermula dari konflik masyarakat adat dengan perusahaan pemegang izin kayu.

Pandangan umum soal investasi datangkan manfaat muncul dari John Way, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua. Dia bilang, Papua adalah the last resource Indonesia bagi investasi yang berkaitan pengelolaan sumber daya alam.

Investasi, katanya, bisa mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi, mempercepat transfer teknologi dan pengembangan sumber daya manusia.

Dari 28 kabupaten dan kota di Papua, hanya ada 17 alami pertumbuhan ekonomi, seperti Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, Timika, Merauke, Mappi, Nabire.

Dia klaim, ciri-cirinya di sana ada bank dan perputaran Uang. “Jika tidak ada, pemerintah daerah hanya menunggu uang dari Jakarta untuk pembangunan,” katanya, dalam lokakarya itu.

Pemerintah terus mendorong investasi masuk ke Papua. Data statistik 2017 menunjukkan peningkatan investasi di Papua yaitu 118 izin Rp10, 652.556 triliun pada 2010 jadi 2013 unit dengan nilai Rp130,276.174 triliun pada 2016. Proyek-proyek investasi ini diketahui lebih banyak dari perusahaan asing.

Pada 2016, investasi eskploitasi sumber daya alam antara lain 75 izin perkebunan (Rp44,421.216 triliun), empat kehutanan (Rp18,681.200 triliun) dan 16 pertambangan (Rp482, 295 miliar).

Bahasan dalam lokakarya menyebutkan, investasi di Papua meningkat karena berbagai penyebab seperti sumber alam melimpah, arahan gubernur menarik investasi sebanyak-banyaknya, dan komitmen pemerintah memperbaiki iklim investasi.

Sayangnya, peningkatan investasi tak diimbangi kebijakan tata kelola pemanfaatan sumberdaya alam yang transparan dan adil hingga jadi sumber permasalahan ketimpangan dan konflik antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan.

Tata kelola buruk terlihat antara lain, minim partisipasi masyarakat dalam menentukan pemanfaatan sumber alam, pemerintah dominan menentukan kebijakan dan perizinan. Lalu, tak ada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, masalah keterbukaan informasi, korupsi, politik perizinan berpihak pada pemodal, minim penegakan hukum adil, deforestasi serta minim perlindungan terhadap kawasan bernilai ekologi.

Pemerintah dan perusahaan juga dinilai tak transparan terbukti kesulitan memperoleh informasi perizinan maupun berbagai dokumen perusahaan. Ada dugaan praktik korupsi dan agenda tersembunyi lain.

Sebenarnya, pemerintah sudah mulai tinjau perizinan. Untuk perkebunan sawit, misal, ada 25 perusahaan sedang diberi peringatan dan tiga izin dicabut.

Adapun dasar review izin ini antara lain, pemegang izin prinsip tidak menindaklanjuti mengurus izin lain seperti pelepasan kawasan atau analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), konflik antarmasyarakat pemilik hak ulayat, masyarakat belum diberdayakan secara layak, pengalihan perizinan kepada perusahaan lain tanpa izin dari pemberi izin, tak ada melaksanakan kegiatan lapangan selama lebih tiga tahun sejak terbit izin usaha.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,