Banjir-Longsor Jogja Tak Hanya Gara-gara Curah Hujan

 

Sunaryo hanya bisa pasrah, cabai siap panen di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, habis terandam banjir.

Dia hanya bisa berharap hujan deras bercampur angin segera berhenti dan air segera surut. Tak hanya cabai, tanaman lain seperti terong, pepaya, dan padi ikut terendam, beberapa batang kelapa pun tumbang.

“Gagal panen, mau bagaimana lagi. Semoga pemerintah segera memberi bantuan,” katanya, Rabu (29/11/17) sore, kepada Mongabay.

Di Gedung Serbaguna Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, dipenuhi 600 warga pengungsi banjir.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kulon Progo, banjir juga terjadi di Gulurejo, Kecamatan Lendah dan Galur.

Keterangan pemerintah menyebutkan hujan dan angin  dampak dari siklon tropis Cempaka sejak 27 November 2017. Data terbaru dari BPBD Yogyakarta Kamis, (30/11/17), angin kencang 149 titik, dengan rincian 10 di Kota Yogyakarta, 76 Kabupaten Bantul, 26 titik Gunung Kidul, 28 titik di Kabupaten Kulon Progo.

Kerusakan terjadi pada 17 rumah sakit, 107 pohon tumbang, satu motor rusak, empat jaringan telepon tertimpa, 19 jaringan listrik tertimpa, dua fasilitas ibadah, perkantoran dan fasilitas pendidikan.

Tak hanya banjir,  longsor juga terjadi di  151 titik yakni Kabupaten Bantul (46),  Kulon Progo (61), Gunung Kidul (10), Sleman (20) dan Kota Yogyakarta (14).

Dampak kerusakan, tiga jembatan rusak, lima jalan rusak, delapan talud rusak, 63 rumah sakit rusak, dua fasilitas pendidikan dan fasilitas ibadah rusak. Korban jiwa,  sembilan luka dan tujuh meninggal dunia.

Sedangkan pengungsian ada 80 titik dengan jumlah 8.679 jiwa. Rinciannya, 3.003 Jiwa Gunungkidul, Kulon Progo (1.072 jiwa),  4.527 (Bantul), Kota Yogyakarta (151 jiwa) dan 214 jiwa di Sleman.

Manager Pusdalops BPBD Yogyakarta mengatakan, kerusakan longsor antara lain menimpa rumah, mengancam rumah warga dan fasilitas umum, menutup akses jalan, talud ambrol dan menjebol tembok masjid pondok Pesantren.

“Korban meninggal dunia akibat cuaca ekstrim ada 16 orang. Tujuh meninggal, sisanya luka-luka,” katanya, pada Mongabay.

Pada Kamis (30/11.17), masyarakat mulai membersihkan rumah dan lingkungan, terkecuali terdampak cukup berat. Cuaca cerah. Siklon tropis cempaka, mereda.

Gunungkidul dan Bantul,  telah menetapkan status tanggap darurat hingga mendirikan posko penanganan lebih optimal.

Pada Rabu, (29/11/17), Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan, Yogyakarta siaga darurat mulai Rabu hingga seminggu ke depan.

“Saya berharap status siaga ini dana cadangan di setiap kabupaten, kota dan provinsi bisa digunakan memperbaiki maupun menolong warga di pengungsian.”

Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan SK status siaga darurat bencana.

Di Sleman, intensitas hujan beberapa hari ini membuat rawa meluap dan buaya terbawa arus hingga ke sungai. Untuk menelusuri dan menangkap buaya muara itu, polisi hutan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)  Yogyakarta turun tangan.

Berdasar hasil observasi BKSDA, buaya muara diduga hewan peliharaan yang dilepas pemilik.

Koordinator Polisi Hutan BKSDA Yogyakarta Purwanto mengatakan, dari keterangan saksi mata, foto dan video yang ditunjukkan warga, buaya muara masih muda, panjang sekitar 2,5 meter dan berbobot kurang 100 kilogram.

“Sungai sini jelas bukan habitat buaya muara. Jadi besar kemungkinan ini buaya yang dilepas pemilik karena sudah terlalu besar,” katanya.

Angin, banjir dan longsor bikin aliran listrik ke 23.000 pelanggan padam pada Rabu (29/11/17).  Manajer Area PLN Yogyakarta, Eric Rossi Priyo Nugroho mengatakan, total se Yogyakarta  ada 302 trafo padam. Di Wonosari, Kwangen, Tonggor, dan Wilayu ada 40 trafo padam atau 3.249 pelanggan mengalami pemadaman listrik.

“Kami akan bekerja cepat memperbaiki semua trafo, hingga listri cepat hidup kembali,” katanya.

 

Dampak ke pertanian

Dinas Pertanian Yogyakarta mendata luas lahan pertanian terendam banjir dan longsor serta angin kencang.

Sasongko, Kepala Dinas Pertanian (Distan) Yogyakarta, Kamis, (30/11/17), berdasarkan data sementara, mengatakan, sawah terendam paling dominan ada di Kulon Progo dan Bantul.

Ada 12 hektar sawah terandam di Prambanan, Sleman, setelah dicek air sudah surut. Pendataan itu, katanya,  untuk memetakan seberapa besar petani berpotensi mengalami gagal panen akibat banjir.

Seluruh petani yang mengalami gagal panen dan punya asuransi tani, katanya, akan mendapatkan ganti rugi Rp6 juta per hektar.

Bagi petani yang belum mendaftar asuransi, tak bisa mengklaim ganti rugi berupa uang. Meski demikian, Distan Yogyakarta berencana memberikan bantuan benih padi.

Meski banyak sawah terendam bajir, Sasongko meyakini target produksi padi pada 2017 mencapai 920.000 ton terpenuhi.

Alasannya, padi jenis tumbuhan relatif tahan genangan air dengan catatan lama genangan tak sampai sepekan.

Distan Yogyakarta telah menyediakan pompa di seluruh kabupaten untuk menguras genangan air di sawah. Pengurasan belum dapat mengingat debit air di sungai masih tinggi. “Air kami pompa dan alirkan ke sungai, masalahnya air di sungai saat ini lebih tinggi daripada di sawah,” katanya.

 

Banjir rendam lahan pertanian, seperti cabai, terung sampai sawah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Penataan ruang

Yuli Kisworo,  ahli tata kota dari Arsitek Komunitas (Arkom) Yogyakarta mengatakan, penyebab banjir dan tanah longsor di Yogyakarta, tak sekedar hujan lebat.

Dalam 10 tahun terakhir di berbagai wilayah di Yogyakarta,  hujan turun tempo satu jam saja, genangan sudah ada di mana-mana.

“Minimal saya mencatat beberapa lokasi selalu tergenang, seperti Jalan Kemasan Kotagede, Giwangan, Tamansiswa, Jalan Solo, Samirono, dan Jalan Batikan. Ini membuktikan ada tidak beres terkait pembangunan Yogyakarta,” katanya.

Menurut dia, ada masalah sistem drainase di Koya Yogyakarta. Sungai-sungai lebih banyak sebagai drainase kota. Kondisi ini, katanya, membuat banjir sebagai hal wajar ketika hujan lebat mengguyur.

“Debit air turun melalui hujan overload, akhirnya menyebabkan kawasan rendah tergenang.”

Kota-kota besar, katanya,  punya komitmen mewujudkan 30% wilayah sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Kota Yogyakarta RTH kurang 20%.

Selain itu, katanya, ada pula risiko lain yang lebih mendasar, yakni Kota Yogyakarta tak sadar jika pembangunan salah arah.

Paradigma pembangunan lebih mengedepankan aspek artifisial, estetis, katanya,  cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan.

Seharusnya, kata Yuli, kembalikan fungsi sungai, tak hanya drainase kota tetapi area resapan air. “Komitmen mewujudkan ruang terbuka hijau 30% harus diwujudkan,” katanya.

 

Banjir di Klaten dan Pacitan

Tak hanya di Yogyakarta, banjir juga terjadi di Klaten dan Pacitan sejak Selasa, (28/11/17). Di Klatenmengakibatkan aliran sungai melewati beberapa kecamatan di Klaten meluap menggenangi persawahan, hingga masuk ke pemukiman warga.

Dihubungi Mongabay, Kepala BPBD Klaten, Bambang Giyanto mengatakan, hasil pemantauan ada enam kecamatan di Klaten terdampak banjir, yakni Prambanan, Gantiwarno, Wedi, Bayat, Cawas dan Trucuk.

Menurut Bambang, di Prambanan 50 hektar padi terendam akibat luapan anak Sungai Dengkeng. Di Kecamatan Gantiwarno, ada lima desa terendam, yaitu Desa Kragilan meluap ke sawah, Desa Jogoprayan, Desa Gentan, Desa Sawit, Desa Ngandong saluran jebol. Total 120 hektar sawah terendam.

Dia melanjutkan, di Kecamatan Wedi, 100 hektar lahan tanaman padi di Desa Pacing, terendam air. Luapan  air karena hujan masuk ke pemukiman warga yang mengakibatkan kurang lebih 2.000 warga terdampak. Puluhan warga yang bermukim di Wedi terpaksa diungsikan karena kampung terisolir genangan air.

Di Pacitan, Jawa Timur, sekitar 5.000 warga korban banjir mengungsi lebih 15 titik. Korban banjir menerjang tiga kecamatan di lebih 20 desa. Tiga kecamatan itu yakni, Kecamatan Kota Pacitan, Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Ngadirojo.

Agus Ansori Mudzakkir, tim Pengendali Informasi Posko Utama Banjir Pacitan mengatakan, selain korban banjir, mereka mengevakuasi warga rawan longsor.

 

Waspada! Usai cempaka, muncul dahlia

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengatakan, dampak eks-siklon tropis cempaka memberikan pengaruh kondisi cuaca di Indonesia, seperti hujan dengan intensitas sedang hingga lebat di Selatan Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Lombok.

“Curah hujan kategori ekstrem di atas 150 mm perhari,” katanya.

Sementara itu, bibit siklon tropis di Barat Daya Bengkulu mengalami peningkatan kekuatan menjadi siklon tropis pada pukul 19.00 dengan nama siklon tropis dahlia. Ia berada pada posisi 8.2 LS dan 100.8 BT, sekitar 470 km sebelah Selatan Bengkulu dengan pergerakan ke tenggara menjauhi wilayah Indonesia

Lahirnya siklon tropis dahlia akan berdampak pada peningkatan hujan lebat, tinggi gelombang, angin kencang, maupun potensi petir di beberapa wilayah di Indonesia.

BMKG mengimbau,  kepada masyarakat waspada potensi genangan, banjir maupun longsor bagi yang tinggal di wilayah berpotensi hujan lebat.  Terutama daerah rawan banjir dan longsor, seperti dataran rendah, cekungan, bantaran kali atau sungai, perbukitan, lereng-lereng dan pegunungan.

“Waspada potensi hujan disertai angin kencang yang dapat menyebabkan pohon tumbang dan tidak berlindung di bawah pohon jika hujan disertai petir,” katanya.

Dia mengimbau, waspada peningkatan ketinggian gelombang laut lebih 2.5 meter di Perairan Kepulauan Nias, Perairan Kepulauan Mentawai, Samudera Hindia barat Aceh hingga Kepulauan Mentawai. Juga waspada gelombang laut tinggi 4-6 meter di Perairan Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia Barat Enggano hingga Lampung, Selat Sunda bagian Selatan, Perairan Selatan Banten, Samudera Hindia Selatan Banten.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dalam keterangan tertulis mengatakan, badai siklon tropis cempaka yang melanda wilayah Jawa dan Bali, menyebabkan bencana cukup besar pada 28 kabupaten/kota selama 27-29 November 2017.

“Saat ini siklon tropis cempaka sudah menjauh dan luruh. Tidak memberikan dampak yang kuat lagi tetapi muncul siklon tropis dahlia,” katanya.

Posisi siklon tropis cempaka yang begitu dekat dengan daratan di 23 km selatan Pacitan menyebabkan hujan ekstrem, angin kencang dan gelombang tinggi.

Curah hujan turun, katanya,  termasuk ekstrem. Di Pacitan, curah hujan tercatat 383 mm, dan Yogyakarta 286 mm perhari.

Bayangkan, ucap Sutopo, biasa hujan sebulan hanya dijatuhkan sehari. Sudah pasti sungai dan anak-anak sungai beserta drainase yang ada tidak akan mampu menampung aliran.

“Itulah yang menyebabkan banjir besar khususnya di Wonogiri, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Klaten, dan Pacitan,” katanya.

Dampak siklon tropis cempaka ada 27 orang meninggal dunia dan hilang,  yaitu sembilan korban hanyut karena banjir dan 18 tertimbun longsor.

Sebanyak 27 korban meninggal dunia terdapat di Pacitan (13 orang), Kota Yogyakarta (3), Bantul (1), Gunung Kidul (2), Wonogiri (4),  Wonosobo (1) Kulon Progo (2) dan Purworejo (1).

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,