Melihat Konflik Lewat Film Menata Asa di Jalan Terjal Kebun Sawit

 

Hutan-hutan lebat tropis digundul lalu berganti tanaman sawit menyeruak di halaman sebuah hotel di Bali. Warga yang tidak pernah melihat pohon sawit bisa jadi bertanya dari mana asal usul bahan makanan atau produknya kosmetiknya yang berbahan minyak sawit.

Ada foto sosok Japin, warga sebuah dusun di Ketapang, Kalimantan Barat yang ditahan karena dianggap mengganggu usaha perkebunan padahal ingin menjaga tanah adatnya. Juga seorang perempuan yang mengolah karet sebagai penghasilan utama sebelum diganti sawit.

Foto-foto warga dan hutan dari Papua dan Kalimantan ini sebagai pintu pembuka menuju pemutaran film bertajuk Menata Asa di Jalan Terjal Kebun Sawit oleh Een Irawan Putra (INFIS). Japin juga hadir dalam diskusi pembahasan film bersama Michael Rice (BothENDS), dipandu Sekar (ELSAM) pada Senin (27/11/2017) sebelum peluncuran buku.

Film dokumenter pendek ini dibuka testimoni sejumlah warga yang melawan tindakan korporat atas eksploitasi hutan. “Tak memberi berkah tapi hura-hara karena perombakan hutan,” salah satu warga sudah mendudukkan topik film ini.

Dua tokoh utamanya adalah Japin dari Kalimantan Barat dan Daniel Yeworebi dari Papua. Melalui keduanya, kisah perlawanan warga disampaikan melalui testimoni, aktivitas kebun buruh sawit, sampai mempertanyakan efektivitas RSPO sebagai penyelesaian konflik pengusaha dan warga.

Dalam diskusi, Japin dengan semangat menyala-nyala mengingat kembali bagaimana warga protes sampai pasang plang di tanah yang akan dialihfungsikan tapi tak digubris. Sampai warga adat mengamankan alat berat sebagai barang bukti di persidangan adat. “Nilainya 21 tajo dan menuntut tak beroperasi lagi tapi tetap saja,” urainya soal sanksi adat. Ujungnya warga yang dilaporkan sebagai perusak sampai menjalani proses persidangan melelahkan.

Een menyebut bagian yang memakan waktu dalam pembuatan film ini adalah mengumpulkan dokumen dan footage rekaman video peristiwa yang sudah berlangsung sejak 2008. Pendokumentasian konflik sawit di Indonesia melalui film ini dirancang sampai pada tahap solusi melalui meja RSPO. Namun terkendala kesulitan mewawancarai para pihak terkait. Ia menguraikan sejumlah kasus yang belum diselesaikan RSPO, warga juga belum mendapat haknya setelah dikonversi sawit.

Een menyebut sudah bekerja 13 tahun merekam konflik sumberdaya alam di Indonesia khususnya kehutanan dan masyarakat adat. Salah satu strateginya melatih warga untuk bisa mendokumentasikan sendiri peristiwa di lingkungannya melalui foto dan video. “Kita tak bisa terus menerus di sana, kami melatih warga merekam peristiwanya,” urainya.

Michael Rice mengakui tekanan masih sangat tinggi pada warga dalam industri kebun sawit. Film ini menurutnya bagus karena berhasil merekam keputusasaan warga dan tidak dipedulikan perusahaan bertahun-tahun. “Ini tantangan RSPO, penting untuk memastikan mekanisme RSPO untuk penyelesaian konflik,” katanya. Banyak pihak dari hulu ke hilir sampai rantai pasok yang terlibat dalam RSPO. Kerjasama dengan warga dan LSM tentang apa yang terjadi di lapangan sangat penting sebagai barang bukti.

 

Diskusi tentang film bertajuk Menata Asa di Jalan Terjal Kebun Sawit yang dibuat oleh INFIS, bersama Michael Rice (BothENDS), dipandu Sekar (ELSAM) pada Senin (27/11/2017) di Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Diskusi ini makin tajam dengan tambahan perspektif dari sejumlah LSM seperti Sawit Watch dan warga daerah lain yang memiliki pengalaman sejenis. Termasuk protes dari M. Nasir yang mewakili Golden Agri Resource (GAR).

Ia menyebut film ini bagus namun takut membuat proses berjalan mundur karena ada bagian penting yang harus masuk seperti dialog-dialog pihaknya dengan perwakilan warga soal pengembalian tanah ulayat. “Jangan info separuh-separuh,” katanya. Ia mengaku sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh warga untuk verifikasi soal tanah.

Andi dari ELSAM mengklarifiksi memang sudah ada mediasi kedua pihak dan film bagian pertama ini dirilis sebagai refleksi untuk perbaikan mekanisme di RSPO. Bagian berikutnya akan menyertakan upaya solusinya karena saat ini belum terselesaikan.

 

Produsen kelapa sawit terbesar

Dikutip dari ToR diskusi, ELSAM menyebut Resolusi Parlemen Eropa tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforests yang disahkan melalui pemungutan suara pada sesi pleno di Strasbourg pada tanggal 4 April 2017 telah menimbulkan perdebatan di antara industri kelapa sawit, khususnya Indonesia sebagai salah satu negara produsen kelapa sawit terbesar.

Resolusi Parlemen Uni Eropa tentang “Minyak Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Tropis,” berisi dua poin penting terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pertama, Parlemen Uni Eropa menyatakan bahwa deforestasi global terjadi karena adanya peningkatan pertumbuhan dan konsumsi dari komoditas pertanian, termasuk minyak kelapa sawit.

Proses pembukaan lahan untuk perkebunan dengan membakar hutan telah mengakibatkan bencana asap di tahun 2015 yang berdampak pada 69 juta orang. Dengan demikian, berdasarkan laporan tersebut, Indonesia menjadi salah satu kontributor utama terhadap pemanasan global. Kedua, Parlemen Uni Eropa menyatakan bahwa operasi perkebunan kelapa sawit terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Pelanggaran yang terjadi di antara lain adalah pekerja anak, penggusuran, diskriminasi terhadap masyarakat adat, kekerasan, dan lain-lain. Selain itu, Eropa mengusulkan resolusi untuk melarang penggunaan minyak kelapa sawit dalam biofuel pada 2020.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan resolusi Parlemen Uni Eropa tersebut mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit yang berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono berpendapat resolusi tersebut dapat berdampak kepada buruknya citra industri hilir sawit Indonesia di mata internasional dalam jangka panjang. Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto mengungkapkan bahwa terdapat tantangan dari isu negatif di tingkat internasional, khususnya resolusi sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni Eropa. Menurutnya, resolusi tersebut bersifat politis untuk membendung kinerja ekspor sawit Indonesia yang terus tumbuh positif.

 

Pemusnahkan kebun sawit milik PT. Agro Sinergi Nusantara (ASN) yang berada di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 70 hektar dilakukan oleh BKSDA Aceh dan dukungan berbagai pihak pada 28 November 2017. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut ELSAM masyarakat sipil dapat terus mengusung gagasan usulan perbaikan serta dorongan kepada RSPO agar terus menerus bisa memberikan pemulihan bagi korban. Ini menjadi penting mengingat keberadaan mekanisme pemulihan berbasis non negara, telah menjadi salah satu pilihan masyarakat di Indonesia untuk menyelesaikan konflik.

Oleh karenanya, sebagai bagian dari advokasi dalam isu besar Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang mencoba mengembangkan berbagai instrumen dan mekanisme yang dapat digunakan masyarakat korban maupun masyarakat sipil.

Kegiatan yang akan dilakukan adalah melakukan kampanye, komunikasi dan intervensi terhadap RT 15 RSPO, yang awalnya akan dilaksanakan di Bali. Khususnya terhadap anggota-anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat yang menjadi anggota delegasi.

Tujuannya mengkampanyekan berbagai kasus-kasus yang terjadi dan memetakan berbagai potensi penyelesaiannya. Serta mengkomunikasikan berbagai kasus yang terjadi di wilayah Indonesia dengan anggota-anggota RSPO yang berkonflik dengan masyarakat yang menjadi anggota delegasi.

Menata Asa di Jalan Terjal Kebun Sawit (INFIS, 2017) 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,