Mendiskusikan Sejarah Kemenangan Warga Silat Hulu Berkonflik dengan Pengusaha Sawit

 

Japin dan Vitalis Andi divonis penjara 1 tahun dan denda masing-masing Rp1 juta oleh Pengadilan Negeri Ketapang pada 2011. Keduanya didakwa “mengganggu usaha perkebunan sawit” di atas tanah adat yang dipertahankan warga dusunnya.

Inilah hasil setahun lebih warga Silat Hulu menghadiri sidang pengadilan ke kota yang jaraknya puluhan kilometer membawa anak dan bekal makanan untuk mendukung rekannya. Warga kampung masyarakat Dayak di Dusun Silat, Desa Bantan Sari, Ketapang, Kalimantan Barat ini tak patah harapan. Didukung banyak pihak, mereka mengajukan banding sampai peninjauan kembali (PK).

Bahkan sampai judicial review atas UU No.18/2004 tentang Perkebunan khususnya pasal 21 dan 47 yang digunakan jaksa mendakwa Japin dan Andi. Keduanya lewat Tim Pembela Masyarakat Adat bersama 2 petani lainnya, Sakri (Blitar) dan Ngatiminin (Serdang Badagai) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan jeratan hukum yang berisiko mengkrimininalisasi masyarakat ini, dan dikabulkan.

Sejarah Indonesia mencatat kemenangan masyarakat Silat Hulu ini mempertahankan hak ulayatnya saat berkonflik dengan pengusaha kebun sawit di daerahnya. Perjuangan panjang tim advokat publik, beberapa LSM, dan komunitas lain ini dibukukan secara detail dalam buku berjudul “Hukum Adat dan Kemenangan Judisial Korban. Sebuah pembelajaran pengacara publik dalam membela masyarakat Silat Hulu.”

Buku ini diterbitkan tahun 2017 oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institut Dayakologi, dan Public Interest Lawyer Network (PIL-Net). Peluncuran buku dan diskusi publik “Peran Negara dalam Memastikan Efektivitas Akses Terhadap Pemulihan yang Tersedia dari Sektor Privat” dihelat pada Senin (27/11/2017) di Nusa Dua, Badung, Bali. Kegiatan ini diikuti belasan orang peserta yang merupakan perwakilan-perwakilan masyarakat korban, pendamping yang berasal dari wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Narasumber pemantik diskusi adalah Nur Kholis (Mantan Ketua Komnas HAM), Marcus Colchester (Senior Advisor Forest People Program), Tiur Rumondang (Direktur Operasional RSPO-Indonesia), Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi ELSAM), dan Ibrahim Reza (Kasi Kerjasama Regional Dirjen HAM-Kemenhukham) dimoderatori Ridzki R. Sigit (Mongabay Indonesia).

baca : Melihat Konflik Lewat Film Menata Asa di Jalan Terjal Kebun Sawit

 

Diskusi tentang buku berjudul “Hukum Adat dan Kemenangan Judisial Korban. Sebuah pembelajaran pengacara publik dalam membela masyarakat Silat Hulu.” pada Senin (27/11/2017) di Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Andi mengatakan proses penulisan buku cukup lama dari 2012. Semua peristiwa penting direkam dari pendampingan di kepolisian, persidangan, sampai menguji di MK yang mengabulkan dan diajukan jadi bukti baru PK. “Sebagai refleksi bagaimana pengacara publik di remote area bisa berkonsolidasi terkait kasus tanah,” katanya.

Menurutnya dalam pembelaan hak masyarakat para pihak harus menempuh semua mekanisme yang tersedia. Sefrustasi apa pun pada pengadilan. “Banyak cara ditempuh melalui aktor negara dan non negara. Masyarakat adat harus habis-habisan menuntut tanahnya kembali,” ingatnya.

Termasuk ke meja Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk menghentikan alat berat menebang isi hutan adat warga.

RSPO mulai mengadopsi penyelesaian konflik perusahaan dengan masyarakat lokal. Selama periode 2009-2017 atau sekitar 8 tahun tercatat 131 kasus sosial diajukan ke RSPO. Paling banyak dari Indonesia, dan sebagian besar belum terselesaikan.

Tiur dari RSPO-Indonesia memaparkan statistik kasus yang masuk RSPO. Kebanyakan yakni 38% tentang lahan, 24% tentang lingkungan, 16% HAM. Ketiga hal itu saling berkelindan. Dari jumlah itu sebanyak 46 kasus kurang dari 200 hari bisa diselesaikan. Kemudian 16 kasus 200-400 hari, ada lainnya ada yang lebih 1000 hari.

“Kami berusaha to the max tapi kemampuan perlu pembinaan. Standar RSPO diikuti top management tapi melakukannya tak maksimal. Ketika dialog mereka tak mengerti RSPO, ini perlu diedukasi. Perusahaan belum sepenuhnya mengerti untuk ubah sistem di dalam. Kultur kolonial dipraktikkan sampai kini,” paparnya. Sepintarnya RSPO membuat standar, kepatuhan perlu waktu dan edukasi.

Marcus Colchester yang menyebut diri pendamping masyarakat mengingatkan dengan meratifikasi DUHAM, negara wajib menegakkan HAM. Menurutnya yang harus dijawab RSPO apa yang terjadi jika hukum nasional tak melindungi atau tak ada akses ke peradilan bagi warga yang haknya dilanggar. “Perusahaan tak diregulasi, hukum tak cukup kuat melindungi hak adat, penegak hukum korup. Apa yang dilakukan jika gagal melindungi hak?” tanyanya.

Ia mengingatkan makin banyak warga tak mau beli produk dari pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Standar ini lebih tinggi dari amanat regulasi nasional. Mereka merujuk ke RSPO karena hukum kurang melindungi HAM. Perusahaan punya tanggung jawab HAM. Apa yang dilakukan jika ada kesenjangan antara standar RSPO dan hukum nasional yang penegakannya lemah.

Ibrahim Reza dari Kemenhukham menjelaskan negara mengatur praktik regulasi yang baik, termasuk judicial review melalui MK agar iklim ekonomi, sosial, dan investasi di Indonesia membuat perusahaan membatasi perilakunya dalam eksploitasi SDA. “Bagaimana peran pemerintah meningkatkan komunikasi antara pemerintah dan pengaduan privat agar berkomunikasi intens. Mapping permasalahan, daftar inventaris masalah persoalan hukum. Aturan terkait bisnis dan HAM sudah sangat banyak,” katanya.

Ia menyebut sudah ada Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM dan perlu diseminasi mendalam. Deplu dan Kemhukham membuat panduan bisnis dan HAM masuk aksi HAM 2017 ini. Rencana Aksi Nasional masih dikaji apakah perlu jadi produk hukum, jadi bagian dari RAN HAM. “Studi banding ke Belanda yang punya RAN Bisnis dan HAM tapi tak punya landasan hukumnya, tidak punya legal standing,” ujar Ibrahim. Belanda mengkaji sektor usaha yang berpotensi berdampak buruk pada HAM, ada 13 sektor. Dimulai 5 sektor dulu.

 

Anak usaha IOI Group di Ketapang, yang membuka lahan gambut buat kebun sawit. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Nurkholis, mantan Ketua Komnas HAM mengingatkan dari sudut tata negara, kalau kekuasaan dominan maka totaliter. Demikian juga jika dikontrol pasar. Indonesia menurutnya setelah 1998 mengarah dikontrol pasar.

Hukum internasional menetapkan kompensasi atas perusakan lingkungan dari eksploitasi tanah mereka. Dalam pemindahan tanah masyarakat adat diusulkan kompensasi selayaknya. “Imajinasikan dengan praktik di Indonesia, tak nyambung sama sekali apa yang jadi komitmen internasional,” kritiknya.

Negara wajib memastikan hak menjamin perlindungan individu yang rentan seperti anak, masyarakat adat, LGBT, dan kelompok rentan lainnya. Perjuangan Indonesia masih jauh dari kewajiban menyelidiki, menghukum, dan menegakkan HAM. Misal dari kasus-kasus kebakaran hukum. “Kami semangat penyadaran HAM di sektor bisnis dan mengembalikan kekuatan pemerintah. Watak korporasi masih kolonial cenderung eksploitasi. Kalau masih kolonial 5 tahun lagi kolaps, tekanan dari luar negeri dan dalam negeri,” ingatnya soal standar konsumen yang makin tinggi memastikan asal usul produknya.

Laili Khairnur dari LSM Gemawan di Kalbar mendorong negara hadir menyelesaikan kasus-kasus terkait agraria selain proses di luar pemerintah seperti RSPO. “Pak Japin masih terancam, banyak strategi nasional yang dibuat, tapi di daerah mentok. Implementasi nol, selalu kapasitas birokrasi, political will,” tuturnya.
Sementara Krissusandi dari Institut Dayakologi melihat dari kasus Silat Hulu ini banyak pembelajaran sebagai salah satu proses hukum yang memanusiakan manusia. “Terlalu naif juga disebut kemenangan, baru menghindar jebakan betmen. Karena tuntutan belum, tanah masih di tangan perusahaan,” katanya. Tak hanya melawan ke pengusaha sawit, juga minta kewajiban negara karena ada korporasi merampas hak warga ulayat.

“Jarak ke Ketapang 75 km, warga berangkat hari Sabtu ke Ketapang untuk sidang Senin. Bawa anak, ikan asin,” Kris mengenang perjuangan warga. Menurutnya berjuang tak bisa sendiri, jangan meremehkan teman sekecil apa pun. Ada banyak lembaga yang mendukung seperti AMAN, Sawit Watch, Walhi, dan lainnya. Karena itu proses ini penting didokumenatsikan sebagai kemenangan orang yang selama ini kalah.

 

Sawit dan konflik agraria

Perkebunan Sawit dan produk turunannya adalah komoditas tanaman perdagangan terpenting Indonesia. Mongabay mencatat pada tahun 2014, Indonesia memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit, yang menghasilkan $18,9 miliar dari pendapatan ekspor. Sawit telah menjadi ekspor paling berharga setelah batubara dan migas. Laju minyak sawit Indonesia adalah fenomena yang relatif baru dengan pertumbuhan luar biasa industrinya dalam 30 tahun terakhir.

Mengutip dari kerangka acuan diskusi ini disebutkan laju perkembangan industri kelapa sawit Indonesia merupakan hasil dari kombinasi beragam faktor. Sebagai komoditas perkebunan, sawit merupakan tanaman yang sangat produktif yang mampu menghasilkan 7 kali lebih banyak dari minyak rapeseeds (Brassica napus) dan 11 kali lebih banyak dari kedelai per hektar.

Minyak sawit juga serbaguna. Minyak sawit sekarang digunakan sebagai dasar untuk sebagian margarin, sabun, lipstik, berbagai ragam kembang gula, minyak goreng, es krim, pelumas industri, dan berbagai produk lainnya. Permintaan akan minyak nabati telah mengubah cara di mana minyak sawit dibudidayakan. Selama dekade terakhir, permintaan global untuk minyak nabati telah meningkat lebih dari 5 persen per tahun.

Namun demikian, besarnya nilai pasar kelapa sawit juga menimbulkan permasalahan lainnya, baik bagi negara, perusahaan maupun masyarakat. Perkebunan kelapa sawit sering dianggap sebagai salah satu penyebab kerusakan ekologi, memicu konflik lahan dan sumber daya alam, serta pemanasan global. Begitu juga resolusi Parlemen Eropa, harus direspon dengan perbaikan-perbaikan yang menyeluruh di industri kelapa sawit Indonesia.

Konflik lahan dan sumber daya agraria merupakan salah satu isu yang paling menonjol di Indonesia. Isu penguasaan dan pemilikan lahan skala besar oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan ketimpangan, ketidakadilan dan hilangnya hak, akses, kepemilikan, pemanfaatan, dan distribusi sumber-sumber agraria yang ada dalam masyarakat sehingga terjadi benturan dan sengketa yang mengorbankan harta benda dan bahkan nyawa.

 

Masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

 

Salah satu mekanisme non-negara yang dapat ditempuh untuk melakukan advokasi hak-hak masyarakat maupun menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan adalah mekanisme RSPO.

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan organisasi dengan anggota multi stakeholder yang berkomitmen untuk memproduksi, memasok maupun menggunakan minyak sawit yang berkelanjutan. Sejak dibentuk pada than 2004, hingga kini keanggotaan RSPO sudah mencapai 3.583 anggota dari 87 negara, dengan lebih dari 2000 anggotanya, termasuk perusahaan perkebunan, manufaktur, dan pabrik pengolah hasil minyak sawit. Dengan keberadaannya yang kini menjadi acuan untuk kelapa sawit berkelanjutan, RSPO memiliki posisi penting sebagai alat advokasi hak-hak masyarakat yang terlanggar.

Peluncuran buku dan diskusi bagian dari konsolidasi masyarakat sipil dalam advokasi hak-hak masyarakat untuk pertemuan RT 15 RSPO yang rencananya dihelat di Bali akhir November ini. Tapi urung karena bandara Ngurah Rai tutup terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Agung.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,