Harus diakui, degradasi dan distorsi hubungan manusia dengan lingkungan telah terjadi saat ini. Dulunya, kita arif dan bersabahat dengan lingkungan, sekarang tampak sebaliknya. Dulunya, kita memanfaatkan alam sebatas yang diperlukan, sekarang malah mengksploitasinya.
Kenapa bisa terjadi? Ini yang harus menjadi perhatian kita semu. “Mungkin karena aspek pembangunan, mungkin karena pertambahan penduduk, atau juga persoalan ekonomi, politik, dan sebagainya,” tutur Dr. Ridzki R. Sigit, Direktur Mongabay Indonesia, saat menjadi pembicara diskusi buku “Lestarikan Bumi dengan Komunikasi Lingkungan” di UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (25/11/17).
Buku yang ditulis Dr. Yenrizal Tarmizi, yang merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media massa termasuk di Mongabay, menurut Ridzki adalah bagian dari upaya membentuk opini bahwa lingkungan itu tanggung jawab bersama. “Ditengah minimnya karya-karya akademis tentang komunikasi lingkungan, buku ini menjadi penting dan perlu sekali,” katanya.
Apalagi, persoalan lingkungan menunjukkan fenomena yang kuat. Sebut saja hadirnya kabut asap sejak 1997 hingga yang terakhir 2015. Guna mengatasi persoalan yang ada, kita harus mampu mengelola kepentingan berbagai pihak, baik masyarakat, pelaku usaha, maupun pemerintah.
Ini saling berkaitan dan terhubung. “Tingginya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan ruang-ruang, membuat lingkungan menjadi sasaran. Dalam hal ini ada perdebatan sudut pandang antroposentris dan ekosentris. Dua faktor ini kental terasa,” terangnya.
Senada, Dr. Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel, menjelaskan persoalan lingkungan hidup adalah masalah yang harus dicarikan solusi. Tiap periode peradaban manusia selalu ada masalah lingkungan. Ada kecenderungan, saat ini manusia tidak bijak mengelola lingkungan.
“Termasuk Sumatera Selatan yang banyak didera kebakaran hutan dan lahan. Masalah ini terkait dengan kondisi alam Sumsel yang memang rentan,” katanya.
Generasi sekarang perlu diingatkan kembali akan maraknya masalah lingkungan. Tidak hanya satu pihak, misalnya pemerintah, tetapi semua unsur. Baik masyarakat, pelaku usaha, atau siapapun yang berada di Bumi. Tanggung jawab lingkungan hidup adalah tanggung jawab kita semua.
“Buku yang ditulis ini adalah bagian dari upaya mengingatkan dan melecut kita agar senantiasa peduli pada semesta.”
Terhadap berbagai persoalan yang terjadi, Pemerintah Sumatera Selatan senantiasa berusaha menyeimbangkan kebijakan pembangunan dengan orientasi lingkungan.
“Hal-hal yang telah dilakukan adalah penguatan aktivitas TRG, penindakan bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan lingkungan, mendorong rancangan perda gambut, juga pembinaan ekonomi masyarakat,” jelas Najib.
Yenrizal menjelaskan, buku yang ditulisnya ini merupakan awal untuk memulai sesuatu yang lebih besar lagi. “Tujuan saya adalah mengingatkan semua pihak. Lingkungan milik kita bersama, harus dijaga dan dilestarikan. Saya ingin lahir karya-karya lain tentang ingkungan, dari ilmu politik, sejarah, antropologi, filsafat, tafsir dan sebagainya,” katanya.
Kerja sama
Selain diskusi buku, dilakukan juga Memorandum of Understanding (MoU) antara FISIP UIN Raden Fatah dengan Mongabay Indonesia. Fisip UIN Raden Fatah diwakili Prof. Dr. Izomiddin sementara Mongabay Indonesia diwakili Dr. Ridzki R. Sigit. Kerja sama bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi ini, meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Juga, best practice bidang pemberitaan, jurnalistik, penulisan dan penerbitan buku dan bentuk publikasi tercetak lainnya. Baik yang diinisiasi pihak pertama, atau pihak kedua, maupun bersama.
“Kami sangat senang dengan MoU ini. Apalagi, akan adanya kesempatan magang, menulis jurnal dan buku terkait lingkungan hidup,” kata Tri, mahasiswa Fisip UIN Raden Fatah Palembang.