Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir

Letak geografis dan kondisi bentang alam Indonesia menjadikannya rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Perubahan iklim  berpotensi menyebabkan perubahan ekologis  dan ekosistem pesisir. Dipicu tekanan akibat cuaca ekstrim, kenaikan muka air laut, kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca.

Pengaruh perubahan iklim pun telah mendorong kenaikan suhu dan intensitas hujan rata-rata, demikian pula dengan kejadian cuaca ekstrim. Intensitas kejadian dari bencana hidrometeorologi pun mendominasi hingga lebih 90 persen (BNPB, 2016). 

Masyarakat pesisir, -kelompok yang tergantung kepada mata pencarian dari pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk mereka yang bermukim di pulau-pulau kecil yang tersebar di Nusantara, adalah salah satu kelompok yang paling memiliki kerentanan tinggi akibat perubahan iklim ini.

Baca juga: Perempuan Nelayan, Mampukah Memperjuangkan Kesetaraan?

Berbeda dengan masyarakat agraris di darat, yang bertalian dengan konsep kepemilikan dan penguasaan lahan yang lebih terkontrol, maka produktivitas pesisir dan hasil sumberdaya lautnya bersifat open access. Dalam konteks ini, menjadi penting untuk kita dapat memahami bagaimana perempuan dan laki-laki dalam komunitas pesisir memiliki cara pandang yang berbeda terkait adaptasi.

 

Perempuan Pesisir Lebih Rentan

Di Negeri (Desa) Wassu, perempuan berperan penting dalam adaptasi. Sebelum musim gelombang tinggi, mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan. Yang unik, perempuan menyiapkan lauk pengganti ikan yang sulit didapat pada musim Timur dengan mencari laor (cacing laut)memanen rumput yang tumbuh di tanjung-tanjung” –Bu Bace, tinggal di Haruku, Kepulauan Lease Maluku Tengah. 

Peryataan diatas memberi contoh gambaran bagaimana perempuan dan laki-laki  mengalami pengalaman yang berbeda. Situasi demikian terutama terjadi karena  perbedaan konteks sosial-budaya dimana mereka berdiam.

Perempuan  pesisir memegang peran penting dalam rantai nilai ekonomi. Perempuan terlibat sejak pra hingga paska produksi (KIARA, 2017). Temuan lain menyebutkan jumlah perempuan yang menerima dampak  kejadian bencana lebih besar dari laki-laki dengan perbandingan rasio 4:1 (London School of Economic). Angka  ini terkait dengan pemenuhan hak ekonomi dan sosial dimana bencana berlangsung. 

Disayangkan, seringkali tindakan adaptasi tidak mempertimbangkan secara setara, bahkan kerap menafikan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sudut pandang konstruksi sosial memungkinkan kedua gender  menerima dampak dan memaknai tindakan  penyesuaian secara berbeda. Bagi  perempuan pesisir, fenomena ini nyata terlihat.

Dalam hal ini, posisi dan peran gender yang berbeda yang dilekatkan pada mata pencaharian, kehidupan domestik dan publik menyebabkan perbedaan tersebut. Karena itu, perempuan pesisir pun mempersepsikan perubahan iklim dan pemaknaan adaptasi secara berbeda. 

Perempuan nelayan banyak terlibat dalam persiapan melaut, meski mereka tidak banyak ikut dalam proses penangkapan secara langsung. Ditahap setelahnya, perempuan juga turut memasarkan dan mengolah hasil tangkapan untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil tangkapan.

Karena peran yang khas, perempuan pesisir memiliki pandangan berbeda mengenai bentuk penyesuaian yang perlu dilakukan. Sayangnya, adaptasi seringkali dipersepsikan  hanya dalam berbagai bentuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur, penyediaan alat  dan teknologi tangkap. Padahal upaya penyesuaian dalam persepsi perempuan tidak sekedar menyangkut infrastruktur tersebut.

Di ranah domestik, perempuan bertanggungjawab memastikan kebutuhan pangan anggota keluarga terpenuhi secara seimbang. Saat musim dimana nelayan tidak bisa melaut akibat gelombang tinggi, perempuan diserahi tanggung jawab untuk membantu mencari alternatif mata pencarian dan sumber pangan lain, untuk kebutuhan keluarga.  Peran tersebut meski sering dianggap sepele, meski sejatinya   bernilai penting.

Dari sudut padang perempuan, bentuk penyesuaian yang tepat  adalah  menemukan alternatif cara memenuhi kebutuhan pangan.  Misalnya, semacam  kebun keluarga menjadi jawaban.   

Dalam  kondisi kekurangan air tawar, upaya adaptasi untuk menyediakan sumber air  tidak hanya mencari sumber air baru dan  membangun tangki penampung. Padahal, karena berbagai aktivitas peran domestiknya, perempuan memerlukan kemudahan akses ke sumber air.

Demikian pula akses terhadap kredit dan bantuan. Meskipun tidak  resmi dianggap berprofesi sebagai nelayan,  perempuan perlu memiliki akses yang sama terbuka untuk mendapatkan kredit dan bantuan keuangan. Proteksi asuransi nelayan yang sedang digalakkan oleh pemerintah, perlu dinilai secara kritis apakah telah mempertimbangkan  keterlibatan perempuan dalam rantai ekonomi. Adalah penting perempuan pesisir dan keluarganya  layak untuk mendapatkan perlindungan asuransi.

Adaptasi perubahan iklim  khususnya bagi masyarakat pesisir memerlukan suara perempuan. Diatas semuanya,  penyesuian pada tingkat masyarakat sepatutnya memberi ruang untuk  meningkatkan peran strategis perempuan dalam pengambilan keputusan ditingkat publik. Sehingga pemenuhan prinsip akses, partisipasi, kontrol, manfaat yang seimbang pun dapat terpenuhi.

 

* Suryani Amin, penulis adalah Penasihat Adaptasi Perubahan Iklim berbasis Masyarakat dalam program USAID-APIK. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
,