Efektifkah Jalur Penyeberangan Satwa Liar di Singapura ini?

 

Eco-Link @ BKE adalah sebuah jembatan ekologi yang membentang di atas Bukit Timah Expressway, yang menghubungkan Cagar Alam Bukit Timah dan Cagar Alam Central Cathment. Inilah jembatan ekologi pertama di Asia Tenggara, yang tujuan utamanya adalah mengembalikan  hubungan ekologis antara dua cagar alam yang terpisah oleh jalan raya 6 jalur tersebut, yang memungkinkan satwa liar untuk memperluas habitat, kolam genetik dan peluang bertahan hidup mereka.

Pada dekade 80-an, Singapura merupakan mikrokosmos model pembangunan dengan mengorbankan banyak kawasan konservasi. Bukit Timah Expressway (BKE) sepanjang 10 km tersebut dibangun melewati Bukit Timah Natural Reserve, hutan primer terakhir di Singapura, dan Central Cathment Natural Reserve. Lahan yang hijau dengan hutan yang lebat pun terbelah oleh jalan raya yang setiap jamnya dilewati sekitar 5000 kendaraan per jam. Jalan tersebut sepenuhnya memisahkan populasi satwa liar yang hidup di kedua cagar alam tersebut.

Sesuai dugaan sebelumnya, satwa liar pun menjadi korban. Rata-rata dua trenggiling (Manis javanica), satwa yang oleh IUCN berstatus kritis punah (critically endangered), ditemukan tewas terlindas mobil, antara tahun 1994-2014. Di Singapura sendiri, satwa ini juga mendapatkan status critically endangered. Dari tahun 1990 dan setelahnya, beberapa spesies juga hilang dari kedua cagar alam tersebut, termasuk termasuk tokek hutan besar (Gekko smithii) dan tupai raksasa berwarna krem (Ratufa affinis). Hewan ini tak pernah lagi terlihat di Singapura.

Dalam upaya untuk mengatasi  masalah ini, dibangunlah  Eco-Link tersebut, yang dibangun pada tahun 2013 (hampir 30 tahun setelah jalan itu memisah dua cagar alam) dan selesai 2 tahun setelahnya. Tapi seberapa efektif proyek semacam itu, mengingat harganya bisa sangat mahal? Eco-Link di Singapura, misalnya, menghabiskan biaya $12,3 juta untuk membangun, atau sekitar $162 miliar.

baca : How effective are wildlife corridors like Singapore’s Eco-Link?

“Sejak selesainya Eco-Link pada tahun 2013, semangat kami terlecut oleh beberapa penampakan hewan liar yang menggunakan jembatan tersebut.” kata Sharon Chan, Direktur Konservasi Dewan Taman Nasional Singapura (NParks). Pihaknya memang  belum merilis data dan analisis penggunaan Eco-Link oleh satwa liar yang dapat diukur ke tingkat yang signifikan. Tapi NParks telah menyiapkan kamera jebak dan melakukan survei fauna malam hari di lokasi tersebut.

 

Jembatan penyeberangan satwa liar Eco-link BKE di Singapura. Foto : Stephen Caffyn Landscape Design

 

Upaya ini menampakkan hasil, dan menemukan bahwa Trenggiling,  Musang kelapa biasa (Paradoxurus hermaphroditus), Tupai ramping (Sundasciurus tenuis), Kelelawar tapal kuda mengkilap (Rhinolophus lepidus) dan burung Merpati zamrud (Chalcophaps indica) menggunakan Eco-Link. Burung merpati zamrud telah diklasifikasikan oleh Lee Kong Chian Natural History, Singapura  sebagai “pemukim tak biasa”.

Sedikitnya satu trenggiling Sunda melintasi Eco-Link setiap bulan antara bulan Oktober 2014 dan Desember 2015, dan tidak ada satupun yang terlindas  antara bulan April 2015 dan Oktober 2015.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh NParks, digambarkan bahwa sejak Eco-Link dibangun, Pelanduk kancil (Tragulus kanchil), spesies yang sangat terancam punah di Singapura dan sebelumnya hanya ditemukan di Cagar Alam Central Catchment, terlihat di Cagar Alam Bukit Timah di awal 2016 – sebuah tanda bahwa mereka telah berhasil sampai di sana dengan menyeberangi jembatan.

“Karena vegetasinya tumbuh lebih tinggi dan lebih padat, kita bisa mengharapkan lebih banyak hewan seperti Kubung sunda (Galeopterus variegatus) dan mungkin Monyet banded leaf (Presbytis femoralis femoralis) menggunakan Eco-Link untuk menyeberangi cagar alam,” kata Chan. IUCN memang belum memberikan status pada P. femoralis femoralis, namun seluruh spesies P. femoralis, yang ada di Indonesia, Semenanjung Malaya dan Singapura, terdaftar sebagai “hampir terancam.”

Arsitek dari  firma Stephen Caffyn Landscape Design (SCLD) yang merancang Eco-Link mengatakan bahwa jembatan tersebut membentang sepanjang  62 meter, lebar 50 meter, dengan urugan tanah setinggi dua meter, diisi dengan tanaman spesies hutan asli seperti Tembusu (Fragmen fagraea), Jelutong (Dyera costulata ) dan Kopsia Singapura (Kopsia singapurensis).

Menurut Direktur SCLD, Stephen Caffyn, bukaan di kedua sisi jembatan memang dibikin melebar untuk menarik satwa untuk menyeberang.  Tutupan vegetasi dan lapisan tanah yang tebal memungkinkan pohon tumbuh setinggi mungkin, adalah fitur penting agar jembatan berfungsi sempurna sesuai tujuannya.

Seiring terus berkembangnya negara-negara Asia Tenggara, akan makin banyak menyebabkan lebih banyak fragmentasi habitat, jembatan vegetatif – serta jalan bawah tanah, gorong-gorong, terowongan jalan, jaringan arboreal, jembatan layang, dan jembatan tali – akan menjadi lebih umum di kawasan ini.

Thomas Lovejoy – seorang ahli biologi yang menciptakan istilah “keanekaragaman hayati”, telah lama mengatakan bahwa, “konstruksi jalan adalah benih kehancuran hutan tropis”.

 

Jembatan penyeberangan satwa liar Eco-link BKE di Singapura. Foto : National Parks Board Singapura

 

Pemerintah Tiongkok baru-baru ini menjanjikan ratusan miliar dolar untuk program “One Belt, One Road” – sebuah proyek konstruksi yang melibatkan jaringan jalan, jembatan, kereta api, pelabuhan, jaringan pipa, dan pembangkit listrik yang mencakup lebih dari 60 negara tropis dan beriklim sedang.

Banyak masalah yang berpotensi dibawa oleh pembangunan jalan, termasuk erosi dan polusi tanah, jalan juga membuat dampak yang besar terhadap keanekaragaman hayati. Jalan cenderung memecah habitat besar menjadi lahan terpisah, mengisolasi populasi hewan yang berbeda dan mengurangi keragaman genetik mereka, sehingga membuat kepunahan lebih mungkin terjadi. Jalan juga memungkinkan akses mudah ke pemukim dan pemburu liar, dan menarik lebih banyak investasi, melanjutkan disintegrasi hutan.

Eco corridors, seperti yang ada di Singapura dan Malaysia adalah salah satu cara melindungi satwa liar setelah jalan dibangun. Tapi apakah eco corridors efektif melindungi mereka?

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,