Foto: Sisi Lain Leuser dari Sungai Alas-Singkil

 

 

Sungai Alas-Singkil termasuk sungai terpanjang di Aceh. Bentangannya melewati Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam hingga ke wilayah Sumatera Utara. Alirannya juga menuju Samudera Hindia.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah Wilayah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.

Sungai Alas-Singkil memiliki potensi air dan curah hujan yang tinggi. Reratanya mencapai 17-18 lt/dt/kilometer persegi dengan curah hujan mencapai 3.000 hingga 4.500 mm.

Melewati tiga kabupaten dan satu kota di Aceh, sungai ini memiliki sejumlah nama. Di Gayo Lues, masyarakat menyebut Aih Agusen atau Aih Betong. Di Aceh Tenggara, sungai ini bernama Lawe Alas. Di Aceh Singkil dinamakan Sungai Singkil. Sementara di Kota Subulussalam masyarakat menyebutnya Lae Soraya.

 

 

Sungai Alas-Singkil yang begitu memantang untuk ditelusuri. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Puluhan ribu orang yang tinggal di sekitar Sungai Alas-Singkil, menggantungkan hidup dari sungai yang telah memberikan jasa ekologi hingga ekonomi ini. Sungai yang menjadi berkah masyarakat, baik itu petani, pemandu wisata hutan dan sungai, hingga penyedia jasa transportasi air.

Pemandangan hutan hujan yang indah di sekitar Sungai Alas-Singkil ini makin lengkap dengan adanya Stasiun Riset Ketambe di Aceh Tenggara dan Stasiun Riset Soraya di Kota Subulussalam.

“Sebenarnya, Sungai Alas-Singkil akan sangat menarik kalau kondisinya tetap alami. Banyak wisatawan bisa diajak menyusuri sungai ini dengan perahu motor atau berarung jeram,” sebut Johan, pengelola wisata di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.

Johan menambahkan, untuk mencapai jalan negara di Gelombang, Kota Subulussalam dari Aceh Tenggara, menyusuri sungai dengan perahu motor butuh waktu satu hari. Sementara dengan perahu karet, tiga sampai empat hari. “Ini adalah potensi yang menguntungkan masyarakat, baik untuk pemandu maupun pemilik perahu,”

Namun, tambah Johan, kondisi hutan di pinggir Sungai Alas-Singkil saat ini yang hancur akibat perambahan untuk dijadikan lahan perkebunan, membuat keindahan sungai ini berkurang. “Wisatawan bisa kecewa bila melihat pemandangan ini yang pastinya berdampak kuat pada potensi pariwisata.”

 

 

Pembukaan lahan terlihat di pinggiran Sungai Alas-Singkil yang membuatnya kurang indah di pandang mata. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Romi, pemandu wisata di Ketambe, mengaku malu saat wisatawan yang dibawanya komplain dengan kondisi hutan di pinggiran Sungai Alas-Singkil. “Mereka kecewa,” sebutnya.

Romi menambahkan, dirinya terselamatkan saat wisatawan yang dipandunya itu melihat satwa liar yang berada di pinggiran sungai untuk minum. “Kalau tidak ada pemandangan itu, mungkin saya harus sabar mendengar keluhan mereka,” terangnya.

 

 

Pembukaan lahan di pinggiran Sungai Alas-Singkil untuk ditanami sawit terlihat jelas. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada Mei dan November 2017, Mongabay Indonesia berkesempatan melihat langsung kondisi Sungai Alas-Singkil. Rute yang dilakui adalah turun dari Desa Salim Pipit, Kabupaten Aceh Tenggara lalu ke Stasiun Riset Soraya.

Perjalanan dengan perahu bermotor itu, menghabiskan waktu empat jam. Bukan hanya keindahan hutan Leuser yang tersaji, tapi juga ancaman kerusakan yang menganggu.

Hutan yang dibuka untuk kebun, tanaman pisang dan sawit yang berbaris di pinggir sungai, tebing mulai longsor adalah sejumlah gambaran yang terlihat nyata.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,