Data RPJM Aceh 2016: Hutan Rusak Hanya Enam Ribu Hektar. Tanggapan Aktivis Lingkungan?

 

 

Data yang dikeluarkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Aceh dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2016, menunjukkan luas hutan Aceh yang rusak atau hilang hanya 6 ribu hektar.

Di RPJM disebukan, sejak 2013 hingga 2016, Dinas LHK Aceh telah merehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 8.770 hektar. Rinciannya, pada 2013 (719 hektar), 2014 (2.200 hektar), 2015 (1.110 hektar), 2016 (2.070 hektar) dan 2017 (1.100 hektar). Terhadap data kerusakan hutan tersebut, bagaimana pendapat pegiat lingkungan?

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, menyatakan data tersebut belum sesuai dengan fakta yang terjadi. “Kerusakan hutan Aceh setiap tahunnya lebih luas. Data kami menunjukkan, bisa mencapai 15 ribu hektar setiap tahunnya,” terangnya.

Muhammad Nur mengatakan, jika penyajian data salah akan berdampak pada perlindungan hutan itu sendiri. Selain itu, berpengaruh juga pada program yang dilakukan Gubernur Aceh dan lembaga terkait. Begitu juga dengan data rehabilitasi yang dilakukan, harus jelas informasinya.

“Dinas LHK harus berani mengakui, kalau hutan Aceh rusak akibat kurang pengawasan dan penegakkan hukum,” sebut Muhammad Nur yang terpilih kembali sebagai Direktur Walhi Aceh.

Efendi Isma, Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), juga meragukan data rehabilitasi hutan dan lahan yang disampaikan dalam RPJM Aceh. Menurutnya, data tersebut seperti terlihat klaim keberhasilan proyek.

“Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh harusnya lebih realistis melihat kondisi hutan Aceh saat ini. Kerusakannya mencapai 21 ribu hektar per tahun,” terangnya.

 

Perbukaan lahan di Leuser untuk dijadikan perkebunan sawit oleh perusahan juga ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA), Agung Dwinurcahya menyebutkan, luas tutupan hutan Aceh tersisa 2016 hanya 3.029.256 hektar. Sementara Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh tersisa sekitar 2,255 juta hektar.

“Januari-Desember 2015, tutupan hutan Aceh yang hilang mencapai 21.056 hektar. Sementara Januari-Desember 2016 tutupan hutan yang hilang juga sekitar 21 ribu hektar. Ini dihitung dari sisa hutan Aceh 2015. Jika dihitung Januari 2015 hingga Desember 2016, maka luas tutupan yang hilang mencapai 42 ribu hektar,” jelasnya.

Agung melanjutkan, degradasi hutan di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilir dan bahkan menimbulkan dampak global, baik langsung maupun tidak. Luas kawasan terbuka akibat deforestasi mengakibatkan tingginya aliran sedimen dari pengunungan ke wilayah yang lebih rendah yang biasanya didiami penduduk.

“Jika kondisi ini tidak ditangani berpotensi meningkatkan intensitas bencana seperti banjir, kekeringan dan  tanah longsor,” paparnya.

 

Periode Januari – Mei 2017, luas tutupan hutan Leuser yang hilang diperkirakan mencapai 2.686 hektare. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sidak perusahaan kayu

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pada 24 November 2017 melakukan kunjungan mendadak ke lokasi penebangan kayu di Desa Wer Tingkem, Kecamatan Mesidah dan Desa Rusip, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah. Di Desa Rusip, Irwandi menemukan banyak kayu tebangan tanpa izin, milik Perusahaan Sawmill Hakim Meriah.

“Ini pabrik kayunya berizin. Izin gubernur tahun 2016, bisa kita lihat di papan depan pabrik,  tapi sumber kayunya tidak sah. Kayu curian yang ditebang entah dari mana asalnya,” kata Irwandi.

Selain itu, lanjut Irwandi, perusahaan ini juga banyak permasalahannya dalam hal perizinan di 2016. “Katanya, ada backing dari oknum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Semua sudah laporan ke saya, hanya belum ada bukti.”

Irwandi meminta Kapolres Bener Meriah, AKBP Fahmi Irwan Ramli yang ikut sidak untuk memeriksa para saksi. Tujuannya, untuk mengetahui apakah lokasi penebangan dilakukan di area yang diberikan izin atau tidak. “Pabrik ini tidak boleh beroperasi dan harus dihentikan, karena sumber kayunya yang tidak jelas dan ilegal,” tegas Irwandi.

Bupati Bener Meriah, Ahmadi menyampaikan, memang menerima laporan masyarakat terkait penebangan ilegal di wilayah tersebut. “Karena  ini kewenanganya di provinsi, dalam rakor pimpinan daerah saya sudah sampaikan kepada pak Gubernur. Hari ini, Gubernur datang melihat langsung.”

Ahmadi mengatakan, dirinya bersama Muspida Bener Meriah siap melaksanakan dan mengkoordinasikan perintah atau keputusan Gubernur. “Kalau penghentian, penutupan, dan penindakan sifatnya ke ranah hukum, kita hanya berkoordinasi atau membantu pihak kepolisian,” ujarnya.

Kapolres Bener Meriah, AKBP Fahmi Irwan Ramli mengatakan akan mendalami dan memeriksa sejumlah saksi. “Kalau memang tidak dapat dijelaskan dan dibuktikan sumber kayun, akan kami dalami dan proses,” terangnya.

Pada kesempatan tersebut, Irwandi juga meminta para aktivis lingkungan mencari data terkait penebangan liar agar bisa ditindak. “Sampaikan kepada aktivis-aktivis lingkungan hidup, berikan ke saya, siapa saja perusak hutan,” ujarnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,