Diantara Pasar dan Jaminan Kebijakan: Mencermati Ancaman Eksistensi Hiu dan Pari di Indonesia

Sebagai negara kepulauan, perairan Indonesia memiliki keragaman hayati berbagai hiu dan pari tertinggi di dunia. Terdapat sekitar 218 jenis ikan hiu dan pari, yang terdiri dari 114 jenis hiu dan 101 jenis pari dan tiga jenis hiu hantu (Fahmi, 2010; 2011; Allen & Erdman, 2012), menyebar dari Indonesia bagian barat hingga timur.

Namun disisi lain, Indonesia juga merupakan negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Organisasi FAO, mencatat ragam produk hiu dan pari asal Indonesia mencapai 103.245 ton di tahun 2011 (FAO, 2015). Sebagai perbandingan, dengan volume 91 247 ton/tahun pada 2008, Indonesia merupakan pemasok sekitar 12,31% total produksi hiu dan pari dunia. [1]

Meski perikanan hiu dapat dikategorikan sebagai tangkapan sampingan (by catch), sejak tahun 1970-an perikanan tangkap hiu semakin meningkat di Indonesia, yang didorong harga sirip hiu yang meningkat di pasaran dunia. Beberapa daerah sentra nelayan di Indonesia telah menjadikan hiu sebagai hasil tangkapan utama (Fahmi dan Dharmadi, 2005).

Adapun jenis-jenis hiu dan pari yang ditangkap karena nilai ekonomis yang tinggi, diantaranya: hiu martil (Sphyrna spp), hiu tikus (Alopias spp), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu tenggiri (Isurus paucus),  hiu lanjaman (Carcharhinus spp) dan jenis hiu lainnya yang memiliki tubuh dan sirip yang besar. Untuk pari diantaranya pari kembang, pari kekeh, pari kelelawar dan pari burung. Hampir semua bagian dari hiu dan pari dapat dimanfaatkan. [2]

Sirip hiu biasanya dijual dengan harga tinggi dan merupakan komoditas ekspor utama. Sedangkan daging hiu umumnya dijadikan berbagai macam bahan olahan pangan.

Tulang rawan hiu dan pari juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, digunakan sebagai bahan obat dan kosmetik yang diekspor ke mancanegara dalam bentuk keringan. Minyak hiu (squaline) juga dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat dan suplemen. Tapis Insang pari manta pun diekspor sebagai bahan baku obat. Bahkan gigi hiu juga dijadikan souvenir.

Selain permintaan pasar, tangkapan yang tidak selektif juga faktor tingginya penangkapan hiu dan pari di Indonesia. Beberapa alat tangkap untuk penangkapan hiu dan pari, baik sengaja maupun tidak sengaja, diantaranya jaring insang apung (drift gill net), rawai permukaan (surface longline), rawai dasar (bottom longline) dan pukat (trawl).

Disisi lain, faktor reproduksi hiu dan pari yang lambat semakin menambah ancaman kepunahan spesies ikonik ini. Jenis-jenis hiu pada umumnya memiliki laju pertumbuhan yang lambat, berumur panjang, lambat dalam mencapai matang seksual dan memiliki jumlah anakan yang sedikit.

Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap jumlah populasi hiu dan pari di dunia. Berdasarkan kajian badan International Union for Conservation of Nature (IUCN) sekitar 181 jenis hiu di seluruh dunia masuk dalam daftar merah (Red List).

 

Pari manta (Manta alfredi), salah satu jenis yang dilindungi. Foto: Yudi Herdiana/WCS

 

Kebijakan Pro Perlindungan Hiu dan Pari

Hingga pertemuan COP CITES (the Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) ke-17 tahun 2016 di Johannesburg, beberapa spesies hiu dan pari telah dikategorikan dalam Appendix I dan  II, yang berarti perdagangan internasionalnya diatur secara ketat sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mencegah kepenuhan.

Diantara spesies hiu dan pari tersebut adalah hiu paus (Rhincodon typus), hiu lanjaman (Carcharhinus longimanus), 3 spesies hiu martil (Sphyrna spp), hiu kejen (Carcharhinus falciformis), 3 spesies hiu tikus (Alopias spp) dan 9 spesies pari mobula (Mobula spp). Sementara itu 7 spesies pari gergaji (Pristis spp) masuk dalam appendix I.

Sebagai negara yang ikut meratifikasi CITES, Pemerintah RI telah mengeluarkan aturan pengelolaan hiu dan pari. Seperti perlindungan secara penuh untuk hiu paus dan pari gergaji (masuk dalam PP Nomor 7/1999), diperkuat aturan perlindungan untuk hiu paus (Kepmen KP Nomor 18/2013), dan pari manta (Kepmen KP Nomor 4/2014). Selanjutnya, pemerintah juga mengeluarkan larangan ekspor untuk hiu martil dan hiu koboi (Permen KP Nomor 48/2016).

Dalam Permen KP Nomor 26/2013 yang merupakan perubahan Permen KP Nomor 30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Indonesia, diatur tentang penangkapan hiu tikus terkait dengan perikanan tuna. Disebutkan, sebagai tindakan konservasi terhadap hiu tikus sebagai tangkapan sampingan (bycatch) perlakuannya meliputi: melepaskan hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan hidup ke laut, mendaratkan dan mencatat hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan mati untuk dilaporkan kepada kepala pelabuhan.

Namun, apakah semua aturan itu mampu mengerem laju pengurangan populasi hiu yang semakin menuju kepunahan?

Untuk menjawab itu, di tingkat internasional arahan kerja prioritas global untuk konservasi hiu dan pari telah direkomendasikan oleh The Global Sharks and Rays Initiative (GSRI), suatu kumpulan dari 128 pakar hidupan hiu dari seluruh dunia.

Empat prioritas kerja strategis yang perlu dilakukan menurut GSRI, adalah 1) Menyelamatkan spesies hiu dan pari, 2) Mengelola perikanan hiu dan pari secara berkelanjutan, 3) Memastikan perdagangan produk hiu dan pari yang bertanggungjawab, dan 4) Meningkatkan peran dan tanggung jawab dari konsumen produk- produk hiu dan pari. [3]

Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya di Indonesia juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 secara nasional. Strategi yang dijabarkan antara lain melakukan konservasi hiu – hiu yang terancam, mengatur perdagangan produk hiu dan pari sebagai bagian dari implementasi CITES termasuk melakukan penguatan pendataan dan penelitian, perlindungan habitat serta penyadartahuan, peningkatan kapasitas SDM  dan kelembagaan. [4]

 

Status keterancaman dari berbagai jenis hiu dan pari di dunia. Sumber: IUCN. [5]

 

 

Tantangan dan Permasalahan yang Dihadapi

Tantangan terbesar pengelolaan hiu dan pari adalah permintaan pasar untuk berbagai produk hiu dan pari yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, khususnya yang berasal dari Asia Timur. Juga, jangan dilupakan permintaan pasar domestik daging hiu dan pari untuk kebutuhan protein yang ditengarai semakin meningkat dan menjadi gaya hidup.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hiu dan pari di Indonesia adalah keakuratan data tangkapan di tingkat lapangan. Hal ini menyangkut berapa total jumlah hiu dan pari yang ditangkap di lautan dan identifikasi jenis-jenis hiu yang ditangkap.

Hal ini diperburuk dengan praktik shark finning yang masih dilakukan nelayan. Praktik ini adalah memotong hiu, hanya mengambil siripnya saja, dan bagian tubuh lainnya (95%) dibuang kembali ke laut. Praktik ini cenderung membiaskan jumlah tangkapan hiu sebenarnya yang terjadi di lautan lepas yang dapat dikategorikan sebagai illegal dan unreported fishing.

Padahal data-data ini penting untuk menentukan penelusuran (traceability) dan menyusun strategi pengelolaan perikanan hiu dan pari yang berkelanjutan, seperti penentuan kuota yang disyaratkan untuk spesies yang masuk dalam daftar Appendix II CITES. Data ini dapat menjadi pertimbangan untuk pengaturan lokasi penangkapan, pengaturan jenis alat tangkap, dan musim penangkapan dianjurkan.

Pun, data yang ada dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut tentang wilayah kawin (mating area), wilayah pembesaran anakan (nursery ground) dan pelepasan anakan.

Dari sisi manajemen, masih ada kelemahan dalam hal pencatatan di lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan hiu (logbook) yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum akurat, diakui masih terdapat kelemahan pada jumlah sumberdaya manusia pencatat.

Kemampuan petugas enumerator untuk mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu (termasuk sirip hasil tangkapan shark finning) mutlak diperlukan. Persoalan lain adalah masalah pengawasan, dimana tidak semua kawasan di Indonesia dapat dilakukan monitoring oleh para petugas, akibat faktor keterbatasan dana.

Juga, regulasi larangan ekspor diperuntukan untuk mengurangi permintaan pasar dari luar negeri (Permen KP 48/2016) saat ini belum mampu mengurangi tingkat eksploitasi hiu dan pari di Indonesia. Padahal, saat ini diindikasikan bahwa Indonesia tidak hanya berperan sebagai negara produsen hiu terbesar di dunia tetapi juga menjadi konsumen terbesar. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya diindikasikan telah menjadi tempat konsumen hiu terbesar.

 

Hiu Paus (Rhincodon typus). Foto: Fakhrizal Setiawan/WCS

 

Apakah Nelayan dapat Hidup Sejahtera Tanpa Menangkap Hiu dan Pari?

Pertanyaan ini sulit namun penting diungkap. Sulit, karena tergantung pada sudut pandang subyektif, tapi menjadi amat penting untuk mengetahui bagaimana posisi nelayan dalam perikanan hiu dan pari.

Nelayan pada awalnya tidak menganggap tangkapan hiu sebagai tangkapan utama, namun by catch “yang diharapkan” karena harga jualnya yang lumayan. Di beberapa tempat secara tradisional pun terdapat kepercayaan untuk tidak menangkap hiu. Contohnya tabu untuk membunuh hiu paus, yang dapat dijumpai dalam folklore di wilayah-wilayah pesisir Indonesia.

Sebagai mahluk rasional, kesejahteraan dan mata pencarian nelayan tergantung terhadap hasil laut, termasuk tangkapan hiu dan pari. Selama nelayan dapat disejahterakan, termasuk dari hasil non perikanan tangkap seperti eko-wisata, maka masih ada harapan untuk pengelolaan hiu dan pari yang berkelanjutan.

Nelayanlah yang paling mengetahui dimana area dan musim untuk menangkap hiu dan pari. Sosialisasi dan edukasi tentang nilai penting ekosistem hiu dan pari sebagai top predator di lautan dapat menjadi pintu masuk, mengapa aturan yang ada dibuat,  yang kemudian diikuti pendampingan peningkatan sosial-ekonomi lewat kelembagaan masyarakat pesisir.

Pengelolaan hiu dan pari di Indonesia harus memperhatikan berbagai hal, bukan hanya populasi hiu dan pari yang sehat namun juga peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada perikanan.

* Ridzki R Sigit, Program Manajer Mongabay Indonesia.  ** M. Ichsan, Staf Program Konservasi Hiu dan Pari di Wildlife Conservation Society (WCS).

 

Referensi

[1]  http://www.dulvy.com/uploads/2/1/0/4/21048414/davidson_et_al-2015-fish_and_fisheries.pdf

[2] Data: KKP 2013

[3] Brautigam, A. et al. Global Priorities for Conserving Shark and Rays. A 2015-2025 Strategy. P:10. Global Sharks and Rays Initiative (GSRI).

[4] Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020. Kementerian Kelautan dan Perikanan

[5] http://www.iucnssg.org/uploads/5/4/1/2/54120303/gsri-infographic-covershot_1_orig.png

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,