Tanggal 12 Desember 1992, tepat duapuluh lima tahun lalu, tsunami hebat menghantam pesisir pantai Flores. Sikka menjadi salah satu daerah yang paling parah terkena dampak tsunami. Banyak infrastruktur dan bangunan yang rusak parah. Namun beberapa lokasi yang memiliki sabuk hutan bakau (mangrove) terlindung dari dampak tsunami.
Namun berjalannya waktu, banyak orang yang menebangi mangrove, seakan mereka lupa bahwa bakau yang menyelamatkan pesisir dari tsunami.
“Kami berkomitmen tanam bakau karena terbukti saat tsunami tanggal 12 Desember 1992 silam, tsunami tidak menjangkau daerah yang dipenuhi bakau. Pemukiman warga yang berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai aman,” jelas Adrianus Sari (36) sekretaris kelompok Cinta Alam Nuwa Teu yang aktif menanami bakau di pantai Kolisia di Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka.
Adrianus waktu itu masih kanak-kanak, tapi dia masih mengingat peristiwa itu.
“Selain itu sekarang setiap tahun sepanjang 20 sampai 30 sentimeter daratan tergerus abrasi,” mengungkapkan alasannya menanam bakau.
Awalnya Cinta Alam merupakan nama kelompok tani, namun dalam perjalanannya berubah arah menjadi kelompok konservasi yang fokus pada penanaman bakau. Setiap anggota diwajibkan menanam 20 anakan bakau saat turun ke laut. Tiap anggota wajib mengontrol bakau yang telah ditanamnya.
Kelompok yang dibentuk 2010 ini bertekad menanam bakau, setelah sebelumnya sukses menanam pohon di kebun dan hutan sekitar desa. Terdiri dari 20 anggota, mereka rajin mencari buah bakau untuk disemai. Saat bibit mencapai ukuran 30 cm, bibit ditanam di pesisir pantai.
“Ada lima ribu anakan bakau kami semai dan rawat hingga mencapai tinggi minimal 30 sentimeter. Ada tiga jenis bakau yakni akar tongkat, akar nafas dan kacang hijau,” tutur Adrianus menjelaskan nama lokal jenis bakau yang ditanam. “Kami tambah terus jumlahnya, biar di persemaian tetap ada limaribu bibit.”
Saat menamam, bakau diikat di sebatang kayu atau bambu yang ditancap di sebelahnya. Untuk menanam bakau memang tidak mudah, tidak seluruh bibit bakal sukses tumbuh. Hempasan gelombang dan kepiting pemakan akar bakau, kerap membuat bibit yang ditanam mati.
Bagi Antonius Nong (52), ketua kelompok ini, menanam pohon bukan hanya untuk mengejar popularitas atau memperoleh dana, tapi didasari rasa cinta lingkungan.
“Budaya Sako Seng (gotong royong) yang menjadi semangat kami untuk melakukan penanaman pohon bakau atau mangrove di pesisir pantai,” sebutnya. “Kami kumpul uang beli polybag. Bila stok menipis, bendahara kelompok saya tugaskan untuk mengumpulkan dana ke tiap anggota untuk bisa beli polybag lagi.”
Meski berswadaya dalam menanam dan membibitkan bakau, namun kelompok ini tidak menampik jika ada para pihak yang mau membantu.
Di tahun 2012, kelompok ini pernah mendapat bantuan 60 juta rupiah dari Dishut Sikka untuk menanam jati dan mahoni. Sekira satu kilometer wilayah yang mereka tanami, sejarak limaratus meter tanaman hidup cukup baik, selebihnya harus dilakukan penyulaman tanaman.
“Tahun 2016 Pemkab melihat pantai Kolisia sudah banyak dipenuhi pohon bakau, Dinas Perikanan & Kelautan lalu mengajak kerja sama menanam bakau, mereka bantu dana sebesar 60 juta rupiah,” terangnya.
Adrianus menghimbau kepada semua masyarakat agar merawat alam dan ramai-ramai menanam pohon apa saja. Bagi yang bermukim di pegunungan bisa menanam di kebun, pekarangan rumah maupun di hutan yang ada. Bagi yang bermukim di peisir pantai diajak untuk bergabung dengan kelompok untuk menanam bakau.
“Tahun 2015 kami tanam serentak duaribu bakau, 2016 lima ribu, dan tahun 2017 juga lima ribu pohon. Tahun 2018 berencana akan menanam di Desa Kolisia-A, dekat Teluk Kelambu dan pulau Nusa Kutu yang sudah parah abrasinya,” ucapnya.
Melihat konsistensi kelompok ini, Yuvensius Dindus Kepala Desa Kolisia-B menyatakan salut.
“Kelompok ini layak dibantu sebab mereka sudah lama berbuat dan bekerja meski tidak mengharapkan bantuan.Kami sangat berterima kasih karena kehadiran mereka bisa membuat pesisir pantai Kolisia bisa mulai dipenuhi bakau. Kami akan terus dukung, dengan alokasi dana meski jumlahnya terbatas,” pungkasnya.
Banner: Antonius Nong(paling kanan) dan rekan-rekannya di lokasi bakau yang mereka tanam. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia