Bicara tentang destinasi wisata di Labuan Bajo yang ramai seperti saat ini, ada satu nama yang tidak bisa dilewatkan, Marta Muslin Tulis. Perempuan 36 tahun ini, adalah pelaku aktif wisata dan pendorong perubahan di akar rumput wisata di Labuan Bajo.
Marta aktif memberdayakan pemuda lokal untuk menjadi dive master dan pemandu wisata selam. Lewat Wicked Diving, dive operator tempatnya bekerja, sudah banyak anak-anak muda lokal yang menjadi dive master atau pemandu selam. Baginya anak-anak lokal tidak boleh hanya menjadi penonton pada saat wisata alam di Labuan Bajo berkembang.
Icha, panggilannya pernah turut mendirikan Bolo Lobo Community, sebuah komunitas seni budaya, dan Komunitas Pemuda Kreatif yang bergerak di pengelolaan sampah anorganik saat masih bekerja di Swisscontact Wisata Flores. Dia pun turut aktif mengajak komunitas lokal untuk memelihara lingkungan dari sampah laut (marine debris), yang merebak akibat meningkatnya aktivitas turisme.
Saat ini seabrek pekerjaan dia jalani, termasuk Koordinator Indonesia Waste Platform (indonesianwaste.org), Board Management of Eco Flores (ecoflores.com), Koordinator Flores Homestay Network (floreshometaynetworks.com), Chairman of Dive Operator Community Komodo (DOCK), peneliti gender sampai aktif di komisi hukum di Association of Indonesia Travel Agencies (ASITA).
Buah dari kerjakeras tidak dicapai dengan mudah. Dia memulai dari bawah, dari pelayan dan pekerja restoran saat kuliah di Bali, hingga menjadi salah satu aktor perubahan dan pendorong kebijakan publik.
Apresiasi pun telah dicapainya. Termasuk memperoleh penghargaan Award for Sustainable Tourism Growth, Griffith University, Australia, 2016 hingga menjadi peserta International Leadership Visitor Program for Sustainable Energy and Policy 2017 di Amerika Serikat.
Mongabay Indonesia mewawancarai Marta di kantornya di Labuan Bajo, ujung barat pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Berikut cuplikannya.
Mongabay: Bagaimana awalnya muncul ide memberi beasiswa dive master untuk anak muda lokal di Labuan Bajo?
Marta Muslin: Saya manajer di Wicked Diving (WD), sebuah usaha penyelaman yang punya social enterprise. Berapa persen pendapatan, kami berikan untuk masyarakat setempat.
Biasanya bisnis punya program giving back to community seperti di Thailand. Di sini ada pembatasan karena ada kawasan TN Komodo. Nelayan dibatasi wilayah tangkapnya. Pemilik WD lalu berpikir bagaimana kalau buat program dive master buat orang lokal, karena biasanya ini lebih banyak diisi pekerja luar.
Kami ke sekolah cari anak yang mau jadi dive master. Kami langsung seleksi. Syaratnya mereka yang tak bisa lanjutkan kuliah. Tidak punya masalah fisik, tidak mabuk laut, bisa berenang, bisa bahasa Inggris basic. Ini tahun ketiga sejak program ini ada sejak 2014.
Tahun pertama kami kerjasama dengan Yayasan Komodo. Kami rekrut orang dari dalam kawasan. Tahun 2016 saya coba satu dive master perempuan dari Pulau Rinca, dan 4 orang laki-laki lainnya, saya rekrut dari keluarga yang orangtuanya bekerja di kebun sawit di Malaysia.
Waktu saya di Amerika, [saya dapat kabar] mereka bisa pulangkan orangtuanya karena mereka sekarang sudah bergaji besar sebagai dive master. Saya bersyukur orang tak harus merantau cari kerja jauh-jauh, Labuan Bajo sudah cukup.
Tahun ini semua kandidatnya perempuan semua. Sudah lulus 6 orang. Saya senang sekali. Tourism kan harus berpihak pada perempuan. Kalau perempuan jadi diver dia mengajari anaknya kan gampang, transfer pengetahuan ke generasi berikut.
Pendidikan untuk dive master bentuknya apa saja?
Pendidikan kurikulum Scuba Schools International (SSI), saya tambahkan materi culture dan conservancy, pendidikan selama 6 bulan dimulai sejak April. Jadi dive master harus memenuhi dive-log, mereka belajar dengan instruktur yang tak bisa bahasa Indonesia.
Dive guide juga harus menganalisis semua titik penyelaman. Ada P2SK (Perkumpulan Pemandu Selam Komodo), jumlah anggotanya 70 orang termasuk saya.
Bagaimana dunia pariwisata di Labuan Bajo saat ini?
Pariwisata jika tak dikelola dengan baik lebih parah dari mining. Mengapa? karena mining hanya di satu tempat, pariwisata di mana saja, berdampak juga pada lingkungan dan sosial.
Kami mulai tahun 2009 dukung pemerintah untuk jadikan Labuan Bajo destinasi wisata baru. Pemerintah daerah saat itu belum siap, saat mulai ada dampak dari tingkat kunjungan wisatawan.
Masuknya investasi, tapi gak nyambung dengan peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), warga sulit mengakses lokasi public space. Misalnya di Waicucu (salah satu spot wisata), mereka harus melewati private property, harus lewat laut untuk akses masuknya. Harusnya RTRW sejalan dengan kawasan yang free access. Pemerintah lokal belum siap aturan, tapi destinasi wisata sudah dipasarkan habis-habisan.
Apa tantangan pengelolaan wisata di daerah ini?
Dari survey Swisscontact selama 5 tahun, Labuan Bajo adalah top five destinasi turis. Pertama alasannya komodo, people and culture, dan marine tourism. Kalau tak diatur dengan baik, kebayang wisata fishing, diving, jetski numplek di satu tempat, lalu apa jadinya destinasi ini nanti. Regulasi belum dipersiapkan dan market sudah ada dan tinggi.
Jumlah turis sekitar 22 ribu tahun 2009, sekarang enam kali lipat sekitar 140 ribu yang masuk ke kawasan TN Komodo di darat dan laut. Bisa jadi sekarang sudah lebih tinggi dari itu. Bayangkan kalau 500 ribu turis datang, rata-rata 3.000 orang per hari. Apa kabar Komodo nanti?
Masalah air juga klasik, dampaknya nanti dengan bagaimana pengelolaan air. Juga sampah. Sampah turis kan lebih banyak, misal sampah restoran bisa 5 kali lebih besar dari warga setempat. Orang landed sudah berhadapan dengan sampah.
Lalu bagaimana solusinya?
Kita saling mencontoh, ada pelatihan sampah bernilai ekonomi. Yang melatih datang dari Ambon, karena sama jauhnya seperti Flores dalam mengakses pabrik daur ulang di Jawa.
Organisasi seperti Indonesia Waste Platform diharap jadi hub jejaring penanggulangan sampah padat dan berbagi strategi penyelesaian. Sekarang kami sedang sosialisasi zona nelayan, yang dibawahnya orang bisa diving.
Ini baru satu masalah lingkungan belum kerusakan yang ada di laut.
Kami di komunitas dive operator mendukung Masyarakat Mitra Polhut (MMP) di bawah KLHK untuk laporkan peristiwa praktik yang tak benar. Kami buat MoU dengan MMP. Sejumlah laporan misal destructive fishing, juga anchoring (pemasangan jangkar). Jangan sampai karang tak rusak karena bom atau sianida, tapi rusaknya karena jangkar kapal.
Tourism harus berkelanjutan, kerusakan yang terjadi, tak bisa dikembalikan hanya dalam jangka dua tahun, misal coral yang rusak perlu waktu lama. Kalau tak mengerti dampaknya, dalam jangka panjang akan habis.
Saya dengar ada inisiatif untuk masalah sampah laut?
Ya, dengan aksi Dive for Marine Debris tahun 2016 bersama Kemenko Maritim. Saya proposed ke Deputi IV sebagai titik awal memusatkan perhatian pada sampah laut dengan serius.
Sampah harus diambil secara rutin, BLH (Badan Lingkungan Hidup) kekurangan orang dan bujet, di pelabuhan sampah menumpuk. Padahal kapal yang beroperasi banyak, bisa lebih dari seratus. Masalahnya sampah di perairan kalau laut sudah pasang, sampah terbawa arus masuk ke laut. Kami tak bisa pungut jadi harus menyelam.
Kami lalu menyelam, banyak sekali sampah di kawasan Taman Nasional dan juga sekitar Labuan Bajo. Komitmen untuk jadi aksi memang tak selamanya mudah.