Soal Perusahaan Bersertifikat Beli Kayu Ilegal di Papua, Bagaimana Kelanjutannya?

 

Menindaklanjuti laporan Koalisi Anti Mafia Hutan soal pelanggaran tujuh perusahaan bersertifikat kayu legal atau ber-Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Papua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutahan (KLHK) turun lapangan. Mereka datang ke Kabupaten Jayapura dan Sarmi. Tim menemukan kayu-kayu ilegal. Pemerintah Papua, akui pengawasan lemah sejak peralihan kewenangan kabupaten ke provinsi belum berjalan mulus.

Baca juga: Koalisi Temukan Dugaan Pelanggaran 7 Perusahaan Bersertifikat Kayu Legal di Papua

Berdasarkan laporan koalisi, pada dua kabupaten ini, ada kayu-kayu ditebang tidak sah dan dibeli perusahaan-perusahaan bersertifikat legal diduga kuat menyamarkan asal-usul kayu-kayu ini.

Tim KPK dipimpin Komisioner Saut Situmorang, dan KLHK oleh Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), IB Putera Parthama dan Dirjen Penegakan Hukum (Gakum), Rasio Ridho Sani.

Wirya Supriyadi dari Jerat Papua, salah satu lembaga tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan memberikan informasi soal kunjungan ini kepada Mongabay. “Tim ini meninjau ke Distrik Nimbokrang, Jayapura dan Mudu, Sarmi pada 7 Desember 2017,” katanya.

Di Nimbokrang, tim menemukan tumpukan kayu balok merbau pemilik tak jelas. Informasi dari para saksi menyebutkan, kayu-kayu ini ditumpuk truk-truk yang datang dari CV. Mevan Jaya. Pada kayu-kayu itu ditemukan banyak marker atau nota yang bertuliskan “Mevan Jaya.”

Tim lalu mengunjungi CV Mevan Jaya. Di lokasi sawmill ini ada tumpukan puluhan kayu log ukuran besar. Tak semua kayu itu ber-barcode. Pada kayu ber-barcode, setelah dicek ke sistem informasi penatausahaan hasil hutan kayu (SIPUHH) KLHK, log-log besar itu disebut berasal dari HPH Mondialindo dan HPH Hanurata.

Dari tumpukan kayu log ini ditemukan beberapa kejanggalan. Pertama, terdapat kayu tebangan tahun 2015 tetapi belum diolah. Kedua, pada barcode Hanurata, setelah cek, kayu pada sistem disebut masih berada di hutan dalam konsesi HPH Hanurata.

“Ditjen Gakum KLHK lalu memproses hukum kayu temuan itu. Setelah didalami, dipasang PPNS line sebagai barang bukti kayu ilegal,” kata Wirya.

Dari Nimbokrang tim kemudian bergerak menuju Sarmi. Tujuannya,  meninjau kayu-kayu bulat pada lokasi penumpukan kayu HPH Wapoga Mutiara Timber di Mudu. Di sepanjang jalan menuju Mudu, tim juga mendata rel-rel kayu yang diduga sebagai sarana mengangkut kayu ilegal dari dalam hutan.

Tim menemukan rel-rel kayu dengan tumpukan kayu. Tim langsung memeriksa dua tumpukan,  masing-masing setidaknya lima kubik kayu ilegal.

Gakum KLHK menelisik kayu temuan itu. KPK membantu koordinasi penanganan dengan Polda Papua.

Dalam siaran pers, 10 Desember 2017, KLHK menyebutkan, menemukan 45 potong kayu ,erbau diduga milik CV MJ, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.

Pada 8 Desember,  KPK menginisiasi rapat koordinasi di Kantor Bupati Jayapura. Rapat ini dihadiri Sekda Papua, dan Kepala Dinas Kehutanan Papua, Kepala Dinas  Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu  Papua. Ada juga Sekda Kabupaten Jayapura, Kepala Bappeda Kabupaten Jayapura, Bupati Sarmi, anggota DPR Sarmi, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Keerom.

 

 

Pengawasan lemah

Jan Jap Ormuseray,  Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua, membenarkan, kunjungan KPK. KPK turun tangan, katanya, karena pencurian hasil hutan ini sebagai pencurian harta kekayaan negara.

“Cara-cara oknum-oknum ini merugikan masyarakat adat, merugikan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, jelas merugikan negara” katanya, kepada Mongabay, via telepon, Jumat (15/12/17).

Dia mengklaim, pencurian kayu marak terjadi dalam satu tahun terakhir sejak implementasi UU No. 23/2014, dengan peralihan kewenangan izin kehutanan dari kabupaten ke provinsi.

Dalam proses peralihan itu, tim kerja Dinas Kehutanan provinsi belum siap, sementara dinas di kabupaten sudah dihapus. “Oknum-oknum yang tahu kelemahan ini memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan.”

Soal pengawasan ini, masuk dalam rekomendasi Koalisi Anti Mafia Hutan. Koalisi meminta KLHK membuka informasi lebih luas soal data peredaran kayu-termasuk berasal kayu rakyat melalui berbagai kanal sistem informasi yang tersedia. Juga meminta pemerintah segera mengevaluasi proses transisi kewenangan kabupaten dan kota ke provinsi terutama bidang kehutanan.

Jadi, kata Jan, solusi jangka pendek Dinas Kehutanan Papua bekerjasama dengan Pemerintah Sarmi dan Pemerintah Jayapura untuk menghentikan illegal logging. Mereka mendirikan pos pengawasan bersama di perbatasan Sarmi dan Kabupaten Jayapura.

Pendirian Pos Statis ini dikritisi Wirya. Menurut dia, pendirian pos statis tak cukup efektif menangani distribusi kayu ilegal.

Dia usul, seharusnya, pemerintah bisa mengefektifkan polisi hutan dengan beroperasi keliling dan sidak lansung ke lokasi. Pungutan liar oleh aparat keamanan dan militer di sepanjang jalur distribusi kayu ini, katanya,  juga harus dihentikan mengingat tak ada dasar hukumnya.

 

Terkendala NSPK

Dalam laporan koalisi, kayu-kayu kategori ilegal ini dibeli perusahaan dari masyarakat adat. Modusnya, sawmill membayarkan premi kepada masyarakat adat sebagai pemilik kayu Rp350.000 per kubik. Kayu-kayu itu lalu disamarkan dengan cara dilegitimasi sebagai kayu “hak masyarakat.”

Di Papua, tanah dan hutan adalah milik masyarakat adat sesuai wilayah adat masing-masing. Praktik-praktik penebangan kayu yang dikategorikan ilegal menurut hukum, namun masyarakat merasa memiliki hak atas kayu-kayu itu karena berada dalam wilayah adat. Belum lagi, desakan kebutuhan ekonomi.

Wirya bilang, mengatasi persoalan ini, ada beberapa hal bisa dilakukan. Pertama,  melarang perusahaan-perusahaan menerima hasil kayu dari masyarakat dan memberikan sanksi tegas kepada pelanggar.

Kedua,  memberikan kesempatan kepada masyarakat adat mengelola hutan mereka sendiri secara legal.

Soal pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini, UU Otonomi Khsusu Papua mengamanatkan masyarakat sekitar kawasan hutan diberi kewenangan mengelola hutan secara berkelanjutan.

Di Papua, terdapat Perdasus No 21/2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan dan Peraturan Gubernur Papua No. 13/2010 soal izin pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat adat.

“Di situ sudah diatur setiap pohon yang ditebang harus diganti dengan tanaman baru. Tebang satu pohon, tanam 10 pohon,” ucap Jap.

Masyarakat, katanya, hanya boleh pakai sawmill portable yang bisa diangkut dari satu tempat ke tempat lain.

Sayangnya,  implementasi peraturan ini terkendala belum ada norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) oleh KLHK.

Pemerintah Papua dan berbagai kelompok di Papua, katanya,  sudah lama mendorong harmonisasi regulasi melalui NSPK. Tujuannya, mengakui skema pengelolaan hutan yang dirancang Provinsi Papua sebagai bagian skema pengelolaan hutan legal di Indonesia.

“Secara teknis semua sudah siap. Tinggal kemauan politik Jakarta untuk memberi kesempatan kepada masyarakat adat Papua mengelola hutan sendiri.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,