Analisis DNA Menunjukkan, Populasi Badak Sumatera Tidak akan Pernah Pulih

 

Sebuah studi yang didasarkan pada analisis genom menunjukkan, kondisi badak sumatera telah menuju kepunahan hampir 12 ribu tahun silam. Hasil penelitian terbaru ini mengatakan pada kita bahwa akhir Zaman Es telah menghabiskan sebagian besar wilayah hidup mereka.

Hilangnya habitat akibat deforestasi dan perburuan berlebihan, tentunya semakin menghancurkan populasi spesies ini yang tidak akan pernah pulih. Meski begitu, para ilmuwan terus berupaya dengan usaha penangkaran guna meningkatkan jumlahnya guna mencegah kepunahan.

 

 

Penelitian yang dipublikasikan Kamis, 14 Desember 2017, di Jurnal Current Biology ini, didasarkan pada analisis gen Ipuh, badak sumatera jantan (Dicerorhinus sumatrensis) yang mati di Kebun Binatang Cincinnati pada 2013. Para ilmuwan menemukan, di ujung Pleistosen, Zaman Es terakhir, adalah malapetaka kehidupan spesies tersebut.

“Data urutan genom kami menunjukkan bahwa era Pleistosen merupakan masa naik turun (roller-coaster ride) populasi badak sumatera,” terang penulis utama laporan tersebut, Herman Mays, Jr. dari Departemen Ilmu Hayati di Marshall University.

Analisa genom menunjukkan, puncak tertinggi jumlah spesies ini mencapai 57.800 individu, saat bukti penemuan fosil menunjukan perluasan mamalia kontinen menuju sub-kontinen mencakup sebagian besar Asia Tenggrara yang sebelumnya dikenal sebagai Sundaland, sekitar 950 ribu tahun lalu.

Pada akhir Pleistosen, populasi badak berbulu dan terkecil di dunia ini hanya menyisakan 700 individu. Saat ini, skenario terburuknya, diperkirakan hanya ada 30 individu badak sumatera tersisa di alam liar.

“Spesies ini dalam perjalanan menuju kepunahan untuk waktu yang sangat lama,” jelas rekan penulis laporan itu, Terri Roth, wakil presiden konservasi di Kebun Binatang Cincinnati.

Analisa Genom memahami bagaimana perubahan drastis jumlah populasi sangat berkaitan dengan perubahan iklim di masa lalu.

Menurut penelitian tersebut, alasan utama terjadinya penurunan tajam populasi dikarenakan kenaikan permukaan air yang memisahkan jembatan tanah, yang menghubungkan pulau-pulau di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera lalu ke Semenanjung Malaysia dan daratan Asia yang kemudian memecahkan habitat para badak.

Analisa tersebut mengindikasi, dampak paling parah dari penurunan jumlah populasi adalah isolasi geografis yang membuat mereka semakin rentan terhadap ancaman aktivitas manusia. Seperti, deforestasi dan perburuan yang berlebihan.

“Populasi mereka semakin habis dan tidak ada tanda-tanda akan kembali naik, atau pulih,” menurut Mays.

 

Ipuh yang tinggal di Kebun Binatang Cincinnati selama 22 tahun hingga akhir hayatnya di 2013. Bangkainya masih bisa disaksikan di Cincinnati Museum Center. Foto: Cincinnati Zoo & Botanical Garden

 

John Payne, Executive Director Sabah-based Borneo Rhino Alliance (BORA), yang tidak terlibat dengan penelitian tersebut, menggambarkannya sebagai “yang paling menarik” karena menyoroti dua poin. Populasi badak sumatera secara keseluruhan cenderung fluktuatif (naik turun) bahkan jika tidak ada aktivitas manusia, yang oleh karena itu, usaha penyelamatannya tetap harus dilakukan.

Payne mencatat, kurangnya kelahiran badak merupakan alasan penurunan populasi, sebagai makhluk soliter yang biasanya tinggal di hutan pegunungan padat, bukan perburuan atau kehilangan habitat.

Seperti mamalia besar lainnya, badak sumatera berkembangbiaknya sangat lambat. Betina tidak mencapai kematangan seksual sampai usia 6 atau 7 tahun, dan jantan 10 tahun – asalkan mereka selamat dari perburuan dan kebakaran buatan manusia. Betina hanya kawin setiap empat atau lima tahun sekali, dan masa kehamilan spesies ini 16 bulan. Remaja tinggal bersama induknya dua sampai tiga tahun.

“Untuk menyelamatkan spesies terancam punah memerlukan upaya besar yang harus dilakukan dengan meningkatkan kelahiran,” kata Payne. “Saya harap makalah ini bisa menjadi dasar untuk memperkuat titik dasar itu, sehingga kita bisa menjauh dari sekadar membangun taman nasional, menerjunkan unit perlindungan badak, dan berharap yang terbaik.”

“Itu selalu menjadi alasan kegagalan,” tambahnya.

Payne juga memperhatikan, temuan tersebut memperkuat pentingnya dukungan untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies ini.

“Jumlah kenaikan dan penurunan spesies yang paling mudah diukur adalah dalam satuan puluhan ribu tahun,” katanya. Dia juga menambahkan, “Mengatakan bahwa kita seharusnya membiarkan beberapa spesies punah karena ‘alam’ merupakan omong kosong.”

 

Dua badak sumatera telah lahir di Suaka Rhino Sumatera. Namun, tingkat reproduksi badak sumatera tetap terlalu lambat untuk membalikkan keseluruhan penurunan populasi. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Widodo Ramono, Direktur Eksekutif YABI, sebuah LSM konservasi badak Indonesia, mengatakan bahwa kepunahan badak sumatera tidak hanya mewakili hilangnya sebuah spesies, tapi juga keseluruhan genusnya.

Badak sumatera adalah satu-satunya spesies Dicerorhinus yang masih hidup, kelompok paling primitif yang berevolusi 15 hingga 20 juta tahun lalu. Ini adalah peninggalan hidup dari keluarga badak masa lalu yang pernah menjelajahi keseluruhan Eurasia, dan satu-satunya kerabat hidup badak yang diburu manusia sampai punah 10.000 tahun yang lalu.

“Kami masih membutuhkan lebih banyak pengetahuan tentang spesies ini, terutama tantangan dalam membiakkannya,” kata Widodo.

Meskipun menjadi satwa liar yang dipuja dan dicintai secara global, penjagaan terhadap badak sumatera gagal dilakukan dengan baik karena upaya konservasi yang tidak efektif terhambat oleh kurangnya dukungan dari Pemerintah Indonesia.

Terry Roth, yang mempelopori program penangkaran yang dimulai dengan Ipuh dan melahirkan harapan baru untuk kebangkitan kembali spesies tersebut, mengatakan bahwa lebih banyak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan badak.

“Spesies badak sumatera keberadaannya seperti digantung di sebuah benang,” tandasnya.

 

Penterjemah: Akita Arum Verselita. Artikel berbahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,