Pascagempa Dahsyat, Warga Diingatkan Kelestarian Pelindung Alami Tsunami. Apa Itu?

 

Ketika waktu mendekati pergantian hari pada Jumat (15/12/2017) malam, sekitar jam 23.47 WIB, warga sebagian besar pesisir Jawa bagian selatan dikejutkan dengan adanya gempa dahsyat dengan kekuatan 6,9 skala Richter (SR). Episentrum terletak di 42 km barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kedalaman 107 km. Bahkan, kemudian, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini tsunami.

Dalam rilis resminya, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan bahwa berdasarkan pemodelan tsunami dari Decision Support System (DSS), gempa tersebut memberikan ancaman potensi tsunami, sehingga proposal peringatan dini tsunami dikeluarkan. Meski kemudian peringatan dini tsunami tersebut dicabut pada Sabtu (17/12) dinihari jam 02.26 WIB.

“Dari catatan sejarah gempa bumi bahwa zona gempa selatan Jawa khususnya bagian barat telah terjadi beberapa kali gempa kuat. Di antaranya adalah gempa bumi Banten pada 27 Februari 1903 dengan kekuatan 8,1 SR. Kemudian pada 17 Juli 2006 lalu terjadi gempa dengan kekuatan 7,8 SR yang memicu tsunami Pangandaran dan gempa Tasikmalaya pada 2 September 2009 yang menimbulkan kerusakan,” katanya.

baca : Begini Rekomendasi untuk Pelestarian Ekosistem Mangrove Dunia

Gempa yang terjadi beberapa hari lalu, tak hanya membuat panik warga di Tasikmalaya, tetapi juga Pangandaran dan Ciamis, Jawa Barat dan Cilacap, Jawa Tengah. Di Cilacap, misalnya, ribuan warga pesisir melakukan pengungsian setelah sirine tanda peringatan dini tsunami berbunyi. Dengan menggunakan kendaraan baik roda dua atau empat, mereka menuju ke daerah yang lebih tinggi di Jeruklegi.

Warga di Cilacap, sepertinya halnya penduduk di pesisir Jabar tentu masih ingat terjadinya bencana gempa yang kemudian dilanjutkan tsunami pada 11 tahun silam. Ketika itu, bencana tsunami juga melanda Pantai Ayah di Kebumen yang berbatasan dengan Cilacap. Daerah setempat tersapu tsunami cukup parah.

“Saya masih ingat peristiwa dahsyat itu. Dan bencana semacam tersebut memang terus menjadi ancaman. Meski tidak terjadi tsunami pada gempa Tasikmalaya pada Jumat lalu, namun BMKG sempat memberikan peringatan dini ancaman tsunami. Sehingga warga pesisir harus terus disadarkan mengenai mitigasi bencana,” kata Sukamsi, seorang pegiat sosial dan lingkungan di perbatasan Cilacap dan Kebumen kepada mongabay pada Minggu (17/12).

 

Sejumlah warga dengan menggunakan perahu melewati hutan mangrove di Cilacap, Jateng. Kelestarian mangrove dapat mengurangi dampak bencana alam, seperti tsunami. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia lantas menceritakan, sebetulnya tsunami dahsyat yang melanda Pantai Ayah waktu itu bisa menjadi pengalaman mengenai betapa pentingnya mangrove.

“Waktu itu, masih ada tersisa hutan mangrove bekas jarahan. Di lokasi mangrove bekas jarahan itu, ternyata dampak tsunami dapat diminimalkan. Air tidak masuk ke persawahan atau pekarangan milik warga di pinggir desa. Pengalaman inilah yang membuat saya kemudian menggerakkan penduduk untuk menanam mangrove. Terutama di wilayah-wilayah zona merah seperti di Kecamatan Ayah di Kebumen dan di Nusawungu, Cilacap,” jelasnya.

baca : Sukamsi, Pendekar Mangrove dari Kebumen

Langkahnya menanam mangrove di sekitar Pantai Ayah dan Pantai Jetis itu membuat dirinya memperoleh penghargaan tokoh inspiratif dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2016 silam.

“Karena daerah perbatasan Cilacap dan Kebumen merupakan zona merah, maka kami terus melakukan penanaman. Hingga kini, setidaknya ada 40 haktare (ha) mangrove yang telah ditanam. Mudah-mudahan akan menjadi benteng alami jika terjadi tsunami. Kami sama sekali tidak berharap ada tsunami, tetapi hal itu tetap harus diantisipasi, karena wilayah ini sangat rawan dan rentan terhadap bencana tsunami. Di sisi lain, dengan menanam mangrove tidak membuat rugi, malah mendatangkan keuntungan lantaran dapat dijadikan wisata mangrove. Tanam, tanam dan menjaga supaya tetap lestari,” tandas Sukamsi.

Sebab, penanaman mangrove merupakan salah satu upaya mitigasi bencana khususnya tsunami. Dengan semakin luasnya hutan dan kian tingginya pepohonan mangrove, bakal semakin baik menjadi pelindung alami.

baca : Penyelamatan Segara Anakan Segera Dimulai

Ahli mangrove dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Erwin Riyanto Ardli mengatakan bahwa benar kalau hutan mangrove mampu menjadi pelindung alami dari bencana tsunami.

“Apalagi dengan vegetasi yang rapat serta jenis mangrove mayor, bakal mampu mereduksi kekuatan tsunami. Terutama jenis mangrove yang bentuknya pohon. Sebagai contoh adalah Heritiera littoralis dan Xylocarpus garantum atau nama lokalnya Nyirih atau Nyuruh. Jenis ini merupakan pepohonan yang dapat menjadi besar sehingga mampu menjadi pelindung dan pereduksi tsunami,” kata doktor lulusan Jerman tersebut.

 

Sejumlah perahu tampak melintasi perairan yang berada di tengah-tengah kawasan mangrove di Cilcap, Jawa Tengah. Sebagian kawasan mangrove di daerah setempat mengalami kerusakan dan butuh direhabilitasi. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia mengungkapkan berdasarkan laporan-laporan hasil riset, dengan vegetasi dan kerapatan mangrove yang bagus, maka dengan lebar hutan mangrove 200 meter, bisa mereduksi kekuatan tsunami hingga 80%. Sehingga sangat efektif untuk meredam bencana tsunami. Apalagi kalau hutan mangrove-nya bagus dengan ketinggian hingga 20 meter, maka akan sangat mampu menjadi pelindung alami dari bencana tsunami. “Hanya saja, kalau di Jawa sudah sulit ditemukan, karena (mangrove yang lebat) adanya di Maluku atau Papua,” kata Erwin.

Khusus di pesisir Jateng, terutama di Cilacap, kondisi mangrove tidak terlalu baik. “Dari hasil riset saya, kondisi mangrove di Cilacap masih di bawah standar bagus atau mengalami kerusakan. Kebanyakan hanya anakan, sedangkan pohon masih sedikit. Rata-rata kertinggian hanya berkisar antara 4-5 meter. Kebanyakan jenisnya tancang, bukan pohon,”ungkapnya.

baca : Berkunjung ke Kawasan Wisata Mangrove Kampung Laut

Dari citra satelit tahun 2016 lalu, lanjutnya, secara keseluruhan luas mangrove di Cilacap hanya tinggal tersisa 8 ribu hektare. Luasan tersebut mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. Padahal, berdasarkan data dari Pemkab Cilacap, luasan mangrove pada tahun 1970 silam masih mencapai 17 ribu ha.

“Banyak faktor yang menyebabkan semakin sempitnya mangrove di Cilacap. Setidaknya ada dua penyebabnya yakni pembalakan dan adanya sedimentasi. Jelas, penebangan liar akan semakin membuat sempit mangrove. Tetapi yang tak kalah pelik adalah persoalan sedimentasi,” katanya.

baca : Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan

Sebab, sedimentasi yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan, Cilacap menjadi juga menjadi faktor penyebab menyusutnya mangrove. “Memang, sedimentasi bisa saja menyuburkan mangrove, tetapi kalau terlalu tinggi sedimentasi maka yang terjadi sebaliknya, mematikan mangrove. Namun demikian, persoalan sedimentasi ini cukup kompleks, karena harus melibatkan dua provinsi baik Jabar dan Jateng. Sebab, masalah sedimentasi harus melalui pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS),” tambahnya.

 

Gardu pandang untuk melihat hijaunya hutan mangrove Segara Anakan, Kampung Laut, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan

 

Pegiat Gerakan Citanduy Lestari (GCL) Elisabeth B Hutabarat menambahkan untuk menangani kerusakan mangrove akibat sedimentasi, tidak hanya dilakukan di hilir semata, melainkan juga di hulu.

“Kami terus berkampanye dan mengajak masyarakat di wilayah hulu sungai yang bermuara di Segara Anakan. Pekan lalu, kami bersama Komunitas Pelestarian Alam Nusantara (Kopalan) menghijaukan pegunungan Tanggeran di Cimanggu. Pepohonan yang ditanam adalah pohon hutan dengan akar yang mampu mencengkeram tanah. Demikian juga pada akhir tahun ini, kami juga menghijaukan wilayah Kalijati, Nusakambangan. Hal ini kami lakukan adalah untuk menurunkan sedimentasi,”ujarnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,