Indonesia Pertahankan Subdisi Perikanan untuk Nelayan Kecil, Seperti Apa Itu?

 

Indonesia berhasil mempertahankan posisi runding di dunia internasional berkaitan isu pemberantasan praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) dan perlindungan terhadap nelayan kecil dan artisanal. Capaian itu diraih, setelah negara-negara peserta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyepakati isu tersebut sebagai isu utama dunia.

Selain masalah IUUF, dalam sidang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 yang berlangsung di Buenos Aires, Argentina, pekan lalu itu, disepakati juga tentang isu peninjauan nelayan kecil dan artisanal yang selama ini menjadi isu utama di Indonesia. Dengan kesepakatan tersebut, ada peninjauan kembali untuk penerapan subsidi perikanan di seluruh negara.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang memimpin tim delegasi Indonesia, melalui kesepakatan yang sudah dicapai tersebut, maka Indonesia berhasil mempertahankan posisi runding memberantas praktik IUUF dan sekaligus melindungi kepentingan nasional untuk nelayan skala kecil dan artisanal. Enggartiasto sendiri, pada kesempatan tersebut ikut terlibat dalam pembahasan isu perikanan internasional.

baca : Sudahkah Nelayan Kecil Indonesia Capai Kesejahteraan?

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengapresiasi upaya yang dilakukan Indonesia sejak awal 2017 hingga akhir tahun tersebut. Menurut dia, Indonesia sejak lama fokus dalam pemberantasan praktik IUUF dan itu diyakini dia akan berdampak signifikan pada praktik perikanan yang dilakukan nelayan kecil di seluruh Indonesia.

“Jika tidak diberantas, maka stok perikanan di Indonesia akan terus menurun,” ucap dia.

“Ini laut kita seharusnya untuk kita, masyarakat Indonesia. Ini kok seenaknya saja para maling ini mengambil jatah kita, ini tentu tidak bisa dibiarkan. Kalau ikan kita pada habis dimalingi nanti Indonesia sisa apa. Mumpung masih banyak tentu harus dijaga,” tambah dia.

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Susi mengatakan, untuk menjaga kedaulatan Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mengupayakan berbagai cara. Kata dia, tidak upaya yang dilakukan tidak hanya melalui program budaya saja, melainkan juga melalui kerja sama internasional yang dilakukan secara massif.

Salah satu yang dilakukan Indonesia, dikatakan Susi, adalah saat aktif menyampaikan pandangan di meja perundingan dan menggalang dukungan dari negara-negara lain. Upaya tersebut, tak hanya menegaskan posisi Indonesia di dunia internasional, tapi juga menjadi upaya kuat untuk mempertahankan kedaulatan Negara di atas laut.

Selain menghadiri sidang khusus yang dihadiri delegasi menteri dari negara anggota WTO, Indonesia bersama Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa juga mengelar pertemuan khusus dengan dengan fasilitator perundingan yaitu Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri Jamaika Kamina Johnson Smith.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyampaikan langkah-langkah nyata yang telah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan praktik pemberantasan IUUF dan posisi Indonesia yang mendukung pembangunan Perikanan skala kecil dan artisanal.

baca : Nelayan Kecil Lebih Sejahtera dengan Perdagangan Berkeadilan. Kok Bisa?

 

Subsidi Perikanan

Seperti disebut di atas, Indonesia berhasil mempertahankan posisi runding dalam kesepakatan pemberantasan praktik IUUF. Tetapi, capaian lain yang juga tidak boleh dilupakan, adalah kesepakatan anggota WTO tentang subsidi perikanan yang bisa tetap diberikan kepada nelayan skala kecil dan artisanal.

Enggartiasto Lukita mengatakan, keberhasilan Indonesia di forum WTO tersebut, memberi keyakinan bahwa posisi Indonesia diperhitungkan. Untuk itu, dalam perundingan berikutnya, Indonesia merencanakan akan membahas ketentuan yang mengarah kepada pelarangan subsidi untuk kapal skala industri.

Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO), telah terjadi eksploitasi berlebihan terhadap perikanan global sejak lama. Menurut FAO, salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi, adalah berlangsungnya subsidi perikanan dalam porsi tidak tepat. Untuk itu, WTO kemudian mendorong perundingan tentang peninjauan kembali subsidi perikanan.

Adapun, menurut Enggartiasto, mandat untuk merundingkan subsidi perikanan di WTO sudah dimulai sejak KTM WTO pada 2001 di Doha, Qatar. Saat itu, seluruh anggota WTO sepakat merundingkan penyusunan disiplin subsidi perikanan. Kemudian, pada KTM WTO 2005 di Hongkong, para Menteri kembali mendeklarasikan komitmennya untuk memperkuat disiplin subsidi perikanan.

“Indonesia tercatat sebagai salah satu dari negara utama yang aktif merundingkan subsidi perikanan,” tutur dia.

baca : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil (Bagian 1)

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Enggartiasto, sebagai negara yang memperjuangkan pemberantasan praktik IUUF, subsidi perikanan masih diperlukan untuk menopang kehidupan nelayan kecil dan artisanal. Untuk itu, perlu ada fleksibilitas dalam penyaluran subsidi perikanan di negara berkembang seperti Indonesia. Jangan sampai, nelayan kecil dan artisanal terkena imbas.

Enggartiasto menjelaskan, Indonesia mendukung adanya pelarangan subsidi yang menyebabkan overcapacity dan overfishing, serta penghapusan subsidi yang berkontribusi terhadap IUUF. Untuk transparansi, Indonesia mendukung penguatan pelaksanaan notifikasi subsidi agar pemberian subsidi oleh negara maju kepada industri perikanan besar dapat dipantau.

“Keberhasilan delegasi Indonesia dalam membawa permasalahan di bidang Kelautan dan perikanan bisa menjadi pemacu untuk melanjutkan perundingan subsidi perikanan serta mengawal kepentingan nasional agar tetap terjaga di masa mendatang,” tegas dia.

Untuk diketahui, kesepakatan lain yang dicapai para Menteri Anggota WTO untuk memenuhi target Sustainable Development Goals (SDGs) 2020 adalah melanjutkan perundingan pelarangan subsidi Perikanan sebelum KTM WTO ke-12 pada 2019.

Pelarangan subsidi yang dirundingkan khususnya untuk yang menyebabkan penangkapan ikan melebihi kapasitas (overcapacity), secara berlebihan (overfishing), serta penghapusan subsidi yang berkontribusi kepada praktik penangkapan ikan ilegal, tidak sesuai aturan, dan tidak dilaporkan (IUUF).

Selain itu, disepakati pula penguatan transparansi subsidi perikanan dunia dan semua kesepakatan para Menteri WTO tersebut kemudian dituangkan dalam Ministerial Decision on Fisheries Subsidies.

 

Nelayan perempuan yang terlihat menjemur ikan sebelum dijual ke pengepul atau diolah sendiri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, pada perundingan subsidi perikanan, Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Perdagangan RI dengan beranggotakan unsur dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, serta Perwakilan Tetap RI di Jenewa. Sedangkan pada perundingan working session, delegasi Indonesia dipimpin Suseno Sukoyono, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga KKP.

 

Kapal Kecil

Armada penangkapan ikan di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh kapal berukuran kecil berukuran di bawah 10 gros ton (GT). Fakta tersebut dinilai bisa menjadi celah bagi pelaku IUUF untuk melancarkan aksinya di perairan laut Indonesia. Untuk itu, Pemerintah harus segera membenahi tata kelola dan manjemen perikanan dalam negeri.

Potensi melakukan IUUF tersebut, menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, bisa terjadi karena kapal berukuran maksimal 10 GT tidak memiliki kewajiban untuk melakukan registrasi dan perizinan. Kondisi tersebut, secara tidak langsung akan memberi kesempatan kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk melakukan IUUF.

“Tanpa pengaturan, hal ini berpotensi merusak upaya mewujudkan praktik perikanan berkelanjutan yang dikampanyekan sendiri oleh pemerintah Indonesia,” ungkap dia di Jakarta, pekan lalu.

baca : Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

Abdi Suhufan mengatakan, walau mendominasi dalam armada penangkapan ikan di Indonesia, berdasarkan data profil armada tangkap, dalam periode 2013 hingga 2014 telah terjadi penurunan jumlah armada ukuran di bawah 10 GT dari 198.297 unit menjadi 194.867 unit. Fakta tersebut bisa menjadi catatan sendiri untuk tata kelola armada penangkapan ikan di Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Abdi Suhufan menjelaskan, kapal berukuran kecil di bawah 10 GT dikategorikan sebagai kapal nelayan kecil. Dengan status tersebut, pemilik kapal berukuran tersebut kemudian mendapatkan beragam kemudahan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“KKP juga membebaskan pengurusan izin dalam melakukan penangkapan ikan,” tutur dia.

Menurut Abdi Suhufan, agar tidak terjadi praktik IUUF yang sedang gencar dikampanyekan sekarang, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah antisipasi dengan kemudahan yang didapat kapal berukuran kecil di bawah 10 GT. Antisipasi harus ada, karena selain potensi IUUF, dia menilai ada potensi negatif lainnya yang bisa dilakukan pemilik kapal kecil tersebut.

“Ketiadaan izin bagi kapal kecil akan berkonsekuensi pada sulitnya melakukan traceabilty (penelusuran) hasil dan lokasi tangkapan serta berpotensi berkontribusi pada terjadinya overfishing,” tambah dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,