Menjelang pergantian tahun 2017 ke 2018, Pemerintah Indonesia mulai memberikan perlindungan berupa asuransi kepada para pembudidaya ikan yang ada di seluruh Nusantara. Perlindungan tersebut diberikan secara bertahap hingga total mencapai 2.004 orang pembudidaya ikan kecil dengan total luas lahan 3.300 hektare.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengatakan, untuk melaksanakan program asuransi tersebut, KKP menggandeng PT Asuransi Jasa Indonesia/Asosiasi Asuransi Umum Indonesia / AAUI). Program tersebut dipastikan menjadi yang pertama, karena ditujukan khusus untuk pembudidaya ikan.
“Asuransi ini akan memberikan jaminan perlindungan atas resiko dari serangan wabah penyakit ikan dan atau atau bencana alam yang dialami oleh pembudidaya skala kecil. Untuk tahap awal, kita berikan bantuan untuk 2.004 pembudidaya ikan di 12 provinsi. Tahun depan akan bertambah lagi,” ungkap dia di Jakarta, awal pekan ini.
baca : Penyaluran Asuransi Nelayan Berjalan Lambat, Kenapa Bisa Terjadi?
Slamet mengatakan, pembudidaya ikan kecil sulit bangkit saat dihadapkan pada kegagalan produksi. Untuk itu, asuransi ini menjadi sangat penting untuk memberikan perlindungan bagi pembudidaya skala kecil agar usahanya berlanjut.
Melalui asuransi, Slamet menginginkan para pembudidaya ikan kecil menjadi lebih berdaya. Dengan cara itu, maka Negara memberikan jaminan keberlanjutan usaha yang digeluti mereka. Menurut dia, pada 2017 ini KKP melakukan inisiasi skema ini dan ke depan harapannya akan lebih banyak lagi yang terlindungi dengan asuransi ini.
baca : Kenapa Masih Ada Nelayan yang Belum Tahu tentang Perlindungan Asuransi?
Slamet menambahkan, program asuransi ini merupakan implementasi amanat UU No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Selain itu, program tersebut juga menjadi implementasi dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Sedangkan bentuk bantuan programnya adalah pembayaran premi asuransi perikanan senilai Rp450.000 per hektar per tahun dengan manfaat pertanggungan Rp15.000.000 per ha. Untuk memenuhi nilai tersebut, KKP mengalokasikan anggaran senilai Rp1,48 miliar pada tahun buku 2017.
Bagi calon penerima premi asuransi, KKP menetapkan syarat yakni memiliki kartu pembudidaya ikan (aquacard); diutamakan program Sehatkan dan sudah tersertifikasi Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB); dan merupakan pembudidaya ikan kecil dengan pengelolaan lahan kurang dari 5 hektar dengan menggunakan teknologi sederhana.
baca : Diberi Asuransi, Bagaimana Tanggapan Nelayan Sikka?
Penegas Kebijakan
Tersalurkannya bantuan premi asuransi untuk 2.004 pembudidaya ikan kecil di 12 provinsi pada 2017 ini, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, menjadi bentuk penegas kebijakan (affirmative policy) untuk pembudidaya ikan kecil. Dengan demikian, para pembudidaya ikan kecil diharapkan bisa mendorong dirinya sendiri untuk lebih aktif mengembangkan usahanya.
Susi mengatakan, asuransi tak hanya dibutuhkan untuk melindungi stakeholder perikanan, tetapi juga untuk melindungi uang Negara. Untuk itu, semua kontrak atau bisnis, baik yang menggunakan uang pribadi maupun Negara harus mendapat perlindungan melalui asuransi.
“Melindungi uang Negara dan melindungi orang-orang dari kemungkinan force majeure, kemungkinan fraud dengan adanya asuransi di sana. Jadi every single contract or business itu semua covered by protection,” ungkapnya pekan lalu.
baca : Disahkan Jadi UU, Negara Wajib Lindungi Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
Agar pembudidaya ikan kecil berkembang dengan baik dan mampu bersaing dengan pengusaha besar, Susi menyebut, pihaknya sengaja melaksanakan berbagai program yang langsung menyentuh masyarakat. Kata dia, sebagian besar pelaku usaha budidaya merupakan pembudidaya ikan kecil. Oleh itu, Negara harus hadir memberikan jaminan perlindungan bagi mereka disaat menghadapi kegagalan produksi.
“Seluruh program di KKP akan didorong sebagai bentuk implementasi UU No.7/2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.
Sementara itu, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi mengatakan, hingga akhir Oktober 2017, premi asuransi nelayan telah mencapai Rp77,57 miliar yang melindungi sekitar 464.000 jiwa nelayan. Nilai tersebut meningkat dibanding 2012, yaitu premi senilai Rp71,59 miliar untuk 401.000 jiwa nelayan.
“Kami mengapresiasi Asosiasi Asuransi Umum serta jajaran KKP yang mampu mempelajari seluruh scope budidaya udang termasuk mendeskripsikannya dalam bentuk polis asuransi. Risiko budidaya udang juga cukup sulit diidentifikasi, berada di bawah air dan cukup menjadi tantangan karena ada perpaduan antara ilmu akuakultur dan ilmu teknik,” tutur dia.
Penyaluran Lambat?
Penyaluran asuransi untuk nelayan kecil di seluruh Indonesia, hingga saat ini masih berjalan lambat. Dalam dua tahun terakhir, asuransi yang sudah berhasil disalurkan baru mencapai 55,4 persen. Fakta tersebut, membuktikan bahwa penyaluran jaminan risiko atas penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, usaha pergaraman, hingga saat ini masih belum berjalan baik.
Fakta tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, asuransi jiwa dan asuransi perikanan dan pergaraman bisa menjadi jaminan atas resiko usaha yang tengah berjalan. Jaminan tersebut, akan sangat berguna manakala nelayan dan pembudidaya ikan serta petambak garam ada dalam ancaman ketidakpastian usaha.
“Keberadaan profesi yang disebut di atas sudah ada dalam perlindungan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan oleh Pemerintah dan DPR pada 15 Maret 2016,” ungkap dia.
Halim mengatakan, mengacu pada Pasal 30 ayat (6) UU itu, perlindungan atas risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman diberikan dalam bentuk (a) asuransi perikanan atau asuransi pergaraman untuk kecelakaan kerja dan (b) asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa.
Penyebab utama lambannya proses penyaluran asuransi, menurutnya, terjadi karena berpindahnya kewenangan pengelolaan laut kurang dari 12 mil dari pemkab/kota ke pemprov, berdasar Pasal 27 ayat (3) UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akibat perpindahan tersebut, kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat kabupaten/kota mengalami penurunan dalam melakukan pendaftaran untuk menjadi peserta asuransi.
“Selain itu, imbasnya juga terasa dalam akses terhadap perusahaan asuransi, sosialisasi program asuransi, dan pembayaran bantuan premi asuransi jiwa maupun asuransi usaha perikanan/pergaraman,” ucap dia.
Fakta tersebut, bagi Halim sangatlah mengagetkan. Mengingat, Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten/kota merupakan ujung tombak untuk menciptakan kepastian usaha perikanan/pergaraman di dalam negeri, yang diatur dalam Peraturan Menteri No.18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Risiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Halim meminta KKP segera menyelesaikan semuanya dengan baik. Dengan demikian, rapor merah dalam penyaluran asuransi jiwa dan usaha perikanan/pergaraman kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam tidak pernah ada.
“Ini harus dituntaskan pada tahun 2018 sebagaimana disepakati di dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 14 September 2017. Dalam konteks inilah, kesungguhan Negara untuk meningkatkan produktivitas dan memodernisasi usaha perikanan/pergaraman yang dikelola oleh pelaku usaha perikanan/pergaraman skala kecil dipertaruhkan,” tutupnya.