Kementerian Lingkungan Dorong Wilayah Penting Masuk Kawasan Ekosistem Esensial

 

Pada 2005, World Bank, merilis ada sekitar 80% satwa liar spesies kunci Indonesia berada di luar hutan konservasi di dataran rendah, sebagai salah satu tanda keragamanan hayati penting tak terlindungi.  Kehidupan mereka terancam karena wilayah banyak terbebani izin. Kondisi inilah yang menjadi dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong wilayah-wilayah itu jadi kawasan ekosistem esensial (KEE).

Berdasarkan pemetaan KLHK, ada 105 juta hektar target penetapan KEE hingga 2019, baru ada 23 juta hektar KEE, seperti ekosistem mangrove dan taman keragamanhayati.

Listya Kusumawardhani, Direktur Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam mengakui target ini terlihat ambisius tetapi penting bagi pelestarian ekosistem dengan kekayaan flora fauna di luar kawasan konservasi.

”Kita harus mensosialisasikan dan memberikan keyakinan ke pemerintah daerah dan swasta bahwa KEE ini sangat penting dan perlu. Itu tantangannya,” katanya dalam diskusi perlindungan ekosistem penting di luar kawasan konservasi di Jakarta.

KEE, katanya, merupakan inovasi dan upaya kolaboratif pengelolaan keragaman hayati dan ekosistem antara pemerintah, swasta dan masyarakat.  Pada dasarnya, KEE ini konsep pembangunan mengutamakan masyarakat namun bersinergi dengan konservasi keragaman hayati. “Penting ada prinsip keberlanjutan dan pelestarian lingkungan,” katanya.

Antung Deddy Radiansyah, Direktur Bina Ekosistem Esensial KLHK menyebutkan, KEE ini bukanlah aturan baku, namun memperkuat peraturan konservasi hingga wilayah penting di luar kawasan jadi satu kesatuan utuh. ”Selama ini masih terfragmentasi, ada perusahaan sudah dan belum. Kita satukan dalam konservasi keragaman hayati dalam rencana aksi bersama lintas perusahaan yang terpencar-pencar,” katanya.

Setiap perusahaan, katanya,  memiliki kewajiban menyisihkan 10% wilayah untuk konservasi, disebut KEE. Implementasi KEE ini, diatur pemerintah pusat, namun pemantauan dan pelaporan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Pemerintah, katanya,  harus perlindungan kehati di luar kawasan konservasi sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Swasta, kata Antung,  menyambut baik KEE ini hingga jadi kepastian kepada pemilik izin. Di lapangan, katanya, banyak terjadi beragam konflik dengan satwa, seperti gajah masuk kebun, masuk kampung, orangutan mati di kebun sawit dan lain-lain.

”Yang terancam seperti gajah, orang utan, bekantan dan harimau. Ini spesies kunci yang memiliki daerah jelajah luas namun banyak di luar kawasan hutan.”

Dengan kepastian wilayah, katanya, seharusnya bukan jadi beban tetapi keuntungan korporasi. ”Dengan pembagian wilayah konservasi, bisa dijual dan pengakuan untuk usaha mereka, misal, melalui sertifikasi RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil-red),” katanya.

Diah Suradiredja, penasihat khusus untuk Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan perubahan iklim Yayasan Kehati mengatakan, target KEE sangat menarik untuk kewajiban kelola jangka panjang para pemilik izin, baik itu HPH, HTI maupun perkebunan. Cara ini, katanya, bisa jadi salah satu bagian dalam ISPO.

Meski demikian, katanya, perlu ada instrumen kuat, peraturan daerah, misal, agar wilayah kerja tak tumpang tindih dengan kelola lain.

Suhendro, Direktur Penatagunaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan, penting setiap pemerintah daerah memiliki data karakteristik keragaman hayati wilayah mereka. Tujuannya, memudahkan dalam mengintegrasikan peta area ekosistem esensial dan pengimplementasian.

”Kita masih sinkronisasi hak dan perizinan, hingga 105 juta hektar nanti ada spasial dan penyebaran dimana saja.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,