Pemerintah Menang, RAPP Harus Revisi Rencana Kerja sesuai Aturan Gambut

 

Kado indah akhir tahun bagi lingkungan dan kemanusiaan datang dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Hari ini, Kamis (21/12/17), pengadilan menolak gugatan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) kepada pemerintah.

Perusahaan ini melayangkan gugatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas keberatan atas keluarnya SK 5322 tahun 2017 soal pembatalan rencana kerja usaha (RKU) periode 2010-2019. RAPP menganggap, dengan pembatalan RKU itu, operasional perusahaan tak bisa jalan lagi. KLHK menolak RKU perusahaan karena belum sesuai aturan perlindungan gambut.

Baca juga: Gugatan RAPP soal Aturan Gambut, Berikut Penjelasan Para Pakar

RAPP menyebutkan, pasal peralihan di  Pasal 45 PP Nomor 71/2014 jadi dasar pembatalan RKU. Ketentuan peralihan inilah yang dipermasalahkan RAPP. Perusahaan ini beranggapan, kebijakan perbaikan tata kelola gambut tak bersifat retroaktif alias RAPP tidak wajib menyesuaikan RKU berdasarkan kebijakan pasca terbit PP 57/2016.

“Memutuskan, permohonan pemohon tak dapat diterima, permohonan tak memenuhi syarat formal. Menghukum pemohon membayar biaya perkara Rp376.000,” kata Roni Erry Saputro, Ketua Majelis Hakim di Jakarta.

Pertimbangan majelis hakim, katanya, adalah pendapat para ahli di satu pihak berbeda dengan pihak lain terkait kriteria atau kategori permohonan memperoleh putusan penerimaan permohonan fiktif positif.

Baca juga: Protes Aturan Gambut, RAPP Gugat Kementerian Lingkungan ke Pengadilan

Guna menentukan pendapat ahli yang jadi pedoman dalam pertimbangan, majelis hakim melihat cakupan permohonan dalam UU Administrasi Pemerintahan yang bersifat baru, bukan membatalkan keputusan yang ada.

Majelis hakim juga merujuk pada pertimbangan perkara fiktif positif lain yang sudah berkekuatan hukum tetap dan beranggapan, gugatan RAPP bukanlah sebagaimana ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan namun sengketa kekuasaan negara.

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, dengan putusan PTUN ini sudah tak ada lagi alasan RAPP tak mematuhi aturan-aturan pemerintah untuk revisi RKU.

“RKU sudah diproses sejak Mei tetapi dia (perusahaan-red) tak pernah mengikuti arahan KLHK. Ke depan, RKU yang tengah proses yang mereka diberikan ke KLHK 4 Desember harus diselesaikan. Saat itu,  kami balas lagi 8 Desember karena belum memenuhi dan belum sesuai substansi regulasi yang kita minta,” katanya.

Bambang mengatakan, syarat RAPP bisa beroperasi kalau RKU baru bisa mereka selesaikan. “Secepatnya kami tunggu penyelesaian RKU. Kami tunggu dalam 14 hari kerja sejak surat kami terakhir 8 Desember. RKU harus selesai, kalau belum juga akan kita lihat lagi, akan ada peringatan.”

Dia berharap, sampai akhir 2017 semua RKU pemegang izin yang sesuai hidrologi gambut bisa selesai. Saat ini, sudah selesai 40% dari 85 perusahaan. RAPP, katanya, dengan semua grup memegang sekitar 40% dari keseluruhan. “Sebagian besar yang non grup sudah semua selesai dan patuh.”

Hamdan Zoelva, kuasa hukum RAPP usai persidangan mengatakan, akan melayangkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.  Dia beranggapan, putusan hakim tak tepat.

“Dari pendapat ahli, ada dua yang berbeda memang. Dari yang kami ajukan, dan pendapat yang diajukan KLHK. Rupanya,  hakim lebih memilih pendapat termohon. Kami menghormati putusan itu tetapi kami akan menguji putusan melalui permohonan PK. Apakah benar permohonan seperti ini tak termasuk fiktif positif?  Tadi menurut hakim ini bukan permohonan fiktif positif. Kami masih berkeyakinan, ini permohonan fiktif positif,”  katanya.

 

Kemenangan perlindungan gambut

Menanggapi putusan PTUN ini, Henri Subagyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, putusan PTUN sebagai kemenangan semua pihak dalam perlindungan ekosistem gambut.

“Putusan ini jadi penanda kemenangan pemerintah atas permohonan fiktif positif RAPP. Putusan pengadilan ini disambut baik masyarakat. Putusan hakim patut diapresiasi karena sudah memberikan perlindungan bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia dari risiko kebakaran,” katanya.

Selain itu, katanya, putusan PTUN menunjukkan terang benderang bahwa RAPP membangkang dan menghindari kewajiban hukum. Secara otomatis, dengan putusan PTUN, perintah KLHK agar RAPP merevisi RKU tetap berlaku.

“Sebaiknya dipatuhi oleh RAPP. Jika tidak, kami masyarakat sipil juga tak akan berhenti mendorong agar negara bertindak lebih tegas lagi demi perlindungan lingkungan hidup dan masyarakat dari dampak kebakaran hutan dan lahan yang sudah kronis.”

Pemerintah, katanya,  harus bersiap menghadapi upaya hukum lain yang kemungkinan dilakukan RAPP guna menghindari kewajiban ikuti aturan.

Andri G. Wibisana, pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia juga salah satu penyusun amicus curiae (sahabat pengadilan) dalam kasus ini. Dia berharap, putusan ini memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah agar lebih berani dan tegas menegakkan hukum karhutla.

Toh, kalau benar akan banyak yang mendukung juga, seperti akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Amicus curiae menyatakan, penerapan asas non retroaktif harus pula disandingkan dengan asas-asas terkait lingkungan hidup lain dan menggarisbawahi ketentuan serta batasan dalam penggunaan norma fiktif-positif,” katanya.

 

RAPP patuhi putusan PTUN

Meskipun kuasa hukum perusahaan bilang akan ajukan PK, dalam keterangan pers yang diterima Mongabay, Agung Laksamana, Corporate Affairs Director RAPP mengatakan, akan menghormati putusan PTUN.

RAPP, akan menyesuaikan RKU sesuai arahan KLHK. “Dengan revisi RKU yang baru, dampak terhadap kegiatan usaha kami akan cukup besar. Namun, kami akan tetap mematuhi arahan KLHK. Kami akan terus mendukung tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan dan upaya pemerintah mengurangi dampak perubahan iklim dengan investasi signifikan terkait konservasi dan restorasi lahan gambut,” katanya.

Sejak 2013, perusahaan, katanya, menjalankan program restorasi ekosistem Riau, kini mencakup 150.000 hektar hutan gambut dengan investasi US$100 juta selama 10 tahun ke depan.

“Kami akan terus berupaya memenuhi komitmen perusahaan mengkonservasi satu hektar untuk setiap hektar hutan tanaman. Saat ini telah 83% atau 419.000 hektar hutan konservasi dan restorasi,” katanya seraya mengklaim dalam menjalankan usaha, perusahaan mematuhi peraturan dan perundangan.

Dengan putusan PTUN itu, katanya, fokus RAPP mensosialisasikan hasil putusan kepada manajemen operasional dan memastikan kesejahteraan karyawan serta kontraktor yang terdampak putusan PTUN.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,