Membersihkan Pulau Sambil Meraih Untung di Pulau Lae-lae

 

Pulau-pulau kecil, apalagi yang dekat dengan daratan, biasanya penuh dengan sampah. Sampah bisa datang dari mana saja, tidak hanya dari daratan, namun juga dari tengah lautan yang terbawa ombak, ataupun kiriman dari pulau lain di sekitar.

Kondisi yang sama dialami di Pulau Lae-lae, salah satu pulau kecil di Kota Makassar, yang terletak di Kelurahan Lae-lae, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan. Setiap hari sampah kiriman berdatangan dari berbagai arah, datang bersama air laut yang keruh berwarna coklat. Sebagian besar adalah sampah-sampah plastik, seperti gelas plastik air minum kemasan. Atau juga kaleng-kaleng minuman. Tak jarang kita temukan botol-botol kaca, meski biasanya sudah dalam kondisi hancur karena hempasan ombak di karang.

Di masa lalu, sampah-sampah di pulau ini hanya dilihat sebagai limbah dan masalah. Bahkan bisa menimbulkan rasa frustasi warga. Hari ini dikumpulkan maka besoknya akan datang lagi dengan jumlah yang sama dan bahkan bisa lebih banyak. Tidak hanya buruk secara estetika, namun juga akan berdampak pada ekosistem yang ada di sekitar pulau.

Kondisi ini ternyata menyita perhatian sejumlah warga yang kemudian secara rutin mulai mengumpulkan sampah, membersihkan pesisir pantai. Apalagi di kemudian hari, sampah-sampah tersebut ternyata bernilai ekonomis atau memiliki harga jual. Hasilnya tak banyak, namun cukup untuk mendukung ekonomi keluarga. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok Anggrek yang kemudian membentuk sebuah Bank Sampah.

Kelompok Anggrek ini dibentuk pada April 2016 lalu atas inisiatif dari Coastal Community Development Project – International Fund Agriculture Development (CCDP-IFAD) di Kota Makassar. Meski demikian, sebagian besar anggota kelompok sebelumnya telah terlibat upaya membersihkan pantai.

Marawiya, Ketua Kelompok Anggrek, bahkan sudah terjun dalam ‘bisnis’ jual beli sampah ini sejak enam tahun silam, meski masih dalam skala kecil. Dari sekedar mengumpul sampah di sekitar rumah, perlahan mulai semakin meluas mencakup seluruh pulau. Belakangan, mengumpulkan sampah menjadi mata pencaharian utama.

“Dulu memang kita sudah punya usaha jual beli sampah, meski skalanya kecil. Perahunya juga kecil, sehingga tak banyak yang bisa diangkut tiap bulannya ke kota. Dulu malah saya hanya kumpul saja saja, tapi ada seorang keturunan Tionghoa pernah datang ke mari menyarankan buka usaha jual beli sampah, jadi saya ikuti sarannya,” ujar Marawiya sambil mengajak saya melihat perahunya yang tertambat di bibir pantai, tak jauh dari rumahnya, akhir November 2017 lalu.

 

Ibu-ibu anggota Kelompok Anggrek di Pulau Lae-lae, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar,Sulsel, setiap harinya berkeliling pulau mengumpulkan sampah. Dari hasil penjualan sampah mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp400 ribu – Rp800 ribu per bulan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ibu-ibu anggota Kelompok Anggrek pengelola Bank Sampah berjumlah 10 orang ini adalah para perempuan yang tangguh dan telaten. Di sela-sela waktu untuk mengurus keluarga, mereka menyempatkan diri keliling pulau mencari sampah yang lalu dikumpulkan dalam sebuah wadah, dibersihkan dan diolah, sebelum akhirnya dibawa ke Bank Sampah, sebelum dibawa ke kota.

“Kita kumpulkan segala macam sampah. Paling banyak adalah sampah plastik. Ibu-ibu anggota kelompok semuanya turun cari sampah, termasuk saya. Malah sering saya kumpulkan sampah lebih banyak. Saya yang membeli sampah dari mereka,” ujar Marawiya.

Meski telah menekuni bisnis sampah ini sejak lama, namun sebelum adanya CCDP-IFAD jumlah sampah yang dibeli dan terangkut ke kota sedikit saja. Penyebabnya adalah perahu angkut yang kecil, yang bisa muat beberapa karung saja.

Dulunya, ungkap Marawiya, sampah-sampah yang dikumpulkan dalam sebulan hanya 10 karung saja atau sekitar 50 kg. Sekarung botol plastik yang telah di-press bisa muat hingga 5 kg. Harganya pun masih rendah, sekitar Rp1500/kg. Dari pengumpul lain ia bisa membeli dengan harga Rp1000/kg.

Setelah adanya program ini, Marawiya mengakui bisa mengumpulkan minimal 300 kg sampah plastik dan ratusan kg lagi sampah lainnya, seperti besi, tembaga, kaleng, botol dan lainnya. Harga beli dari warga meningkat menjadi Rp2500 per kg, dan nanti akan dijual ke pedagang pengumpul di kota dengan harga Rp3500 per kg. Biaya penyeberangannya sendiri tidak terhitung karena adanya perahu bantuan tersebut.

“Setelah ada bantuan perahu, usahanya mulai berkembang pesat. Lumayan keberadaan perahu ini sangat membantu.”

Harga penjualan sampah, khususnya plastik ini bahkan semakin membaik seiring dengan adanya bantuan lain dari CCDP-IFAD berupa mesin pencacah plastik. Nilai botol plastik yang telah dicacah menjadi potong-potongan kecil bisa mencapai Rp7000 per kg, sehingga potensi keuntungan pun meningkat.

“Harga botol plastik yang telah dibersihkan itu memang jauh lebih mahal. Kerjaannya tidak rumit. Kita hanya harus memotong rangka atas botol yang keras dengan pisau cutter, sebelum dimasukkan ke mesin pencacah. Sisa plastik rangka atas botol itu juga masih ada harganya, Rp1000 per kg.”

Keuntungannya berbeda-beda tiap anggota, tergantung pada volume sampah yang sanggup dikumpulkan. Dalam sebulan mereka bisa mendapat keuntungan Rp 400 ribu – Rp 800 ribu.

Keberadaan perahu sampah tersebut juga membantu kelompok untuk mengambil sampah-sampah dari pulau lain sekitar, khususnya dari Pulau Samalona, yang berjarak sekitar sejam dari pulau tersebut.

“Kalau kita ke Samalona biasanya bawa air galon untuk dijual di sana, pulangnya nanti angkut sampah. Sehari bisa dapat 5 kg sampah dari sana. Perahunya bisa muat ratusan kg sampah. Galon air yang terisi saja bisa muat hingga 80 galon.”

 

Mesin pencacah sampah bantuan CCDP IFAD untuk Kelompok Anggrek, Pulau Lae-lae, Makassar, Sulsel, bisa memudahkan proses pembersihan dan pencacahan sampah sehingga harga jualnya bisa lebih tinggi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Terkait pandangan masyarakat atas pekerjaannya ini, Marawiya tidak merasa risih dan malu, meski dikatakan hidup dari hasil sampah. Malah sekarang banyak warga setempat yang mau ikut bergabung dalam program Bank Sampah yang dijalankannya.

“Kalau dari anggota kelompok yang lain sempat ada yang risih dan malu-malu, tapi saya bilang ke mereka kalau sampah itu bernilai uang, tak usah malu, kenapa tidak dipungut, ini bisa untuk beli kebutuhan keluarga.”

Menurut Sudirman, Tenaga Pendamping Desa (TPD) CCDP-IFAD Kelurahan Lae-lae, Kelompok Anggrek ini termasuk salah satu kelompok dampingan yang cukup berhasil di wilayah kerjanya di Pulau Lae-lae. Di awal program, kelompok ini mendapat suntikan dana sebesar Rp75 juta, yang antara lain digunakan untuk membeli perahu, mesin pencacah sampah, pembangunan Rumah Sampah dan program penanaman pohon mangga sebanyak 150 pohon.

“Untuk perahu sendiri anggarannya cukup besar, yaitu 30 juta, sudah termasuk mesin. Lalu sisanya untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti mesin pencacah sampah, rumah sampah dan lainnya.”

Terkait progres kelompok sendiri, Sudirman menilai kelompok ini cukup sukses mensejahterakan anggota kelompoknya.

“Berdasarkan catatan bulanan rata-rata keuntungan bersih kelompok bisa mencapai Rp1,9 juta – Rp2 juta. Ini belum termasuk keuntungan masing-masing anggota yang mencapai ratusan ribu tiap bulannya.”

Keuntungan kelompok ini sendiri sebagian digunakan untuk pembelian bahan bakar dan selebihnya ditabung untuk keperluan maintainance perahu. Karena sering digunakan, maka ada saja alat-alat kapal ini yang rusak dan harus diganti tiap bulannya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,