Ekosentris, Membangun Kesadaran Baru tentang Lingkungan

Keterpisahan manusia terhadap alamnya tidak dapat disangkal ketika gaya hidup modern semakin tidak terpisahkan dari tuntutan zaman. Gaya hidup modern yang erat dengan rasionalitas dan penggunaan teknologi yang membantu kehidupan manusia. Teknologi merupakan solusi dari masalah sosial atau fisik yang dapat muncul dalam masyarakat (Kilbourne & Carlson, 2008). Kemudian, anggapan masyarakat modern bahwa penggunaan teknologi menjawab rasionalitas.

Namun, rasionalitas tersebut tidak dapat disamakan dengan pergerakan alam. Pergerakan alam tidak dapat dihadapi dengan sekedar rasionalitas namun membutuhkan proses untuk mengenali alam.

Antroposentris menjadi narasi dalam mengamati bagaimana manusia membentuk eksosistem dan juga menimbulkan acaman bagi ekosistem (Lidskog & Waterton, 2016). Puncaknya, implementasi narasi ini adalah dengan terjadinya perubahan iklim. Untuk sebagian pihak, perubahan iklim dianggap mitos, namun dalam telaah keilmuan, perubahan iklim merupakan fenomena yang nyata.

Bertumpu pada antroposentris, derap ekonomisasi sumberdaya alam mengaca kepada bagaimana memanfaatkan alam sebagai obyek eksploitasi. Dalam cermatan ini munculah istilah baru seperti  “lahan tidur”, “penguasaan” dan “eksploitasi”. Dalam sudut pandang ini, manusialah yang berkuasa alam.  Alam adalah obyek yang dapat diperas untuk mendukung kehidupan manusia. Faktor ekonomi dan politik berperan dalam narasi ini.

Cara pandang antroposentris yang melulu didasarkan pada rasionalitas, akan menyebabkan alienasi. Ia memisahkan manusia dari alamnya, dari lingkungannya. Ini pun menyalahi kodrat hakiki, karena pada dasarnya lingkungan tempat hidup manusia tidak akan pernah lepas dari persoalan kemanusiaan.

Apakah hal ini kerap berlaku positif?

Tidak selalu, saat pertumbuhan ekonomi mengorbankan kekayaan sumberdaya alam. Kesenjangan kemakmuran kerap terjadi di negara-negara yang mengeksploitasi alamnya. Eksploitasi alam lingkungan hanya membawa kemakmuran bagi para segelintir orang. Indikatornya dari angka gini ratio yang semakin besar.

Dalam 18 tahun berturut-turut (1997-2015) negeri ini terus dilanda kabut asap hasil kebakaran lahan dan hutan tanpa henti. Baru dua tahun terakhir saja, asap berkurang secara signifikan.

Dampak eksploitasi alam dan lingkungan pun telah terlihat nyata. Ratusan ribu orang terdampak asap dari kebakaran, demikian pula puluhan ribu orang yang terpaksa kehilangan kenyamanan hidup akibat tanah longsor, banjir, maupun cemaran polutan dari debu batubara, cemaran sungai, hingga hilangnya biota di perairan laut.

Sumberdaya alam dan lingkungan tidak menjadi konsideran penting yang diperhitungkan dalam pengambilan keputusan politis pengambil kebijakan. Padahal tanah, air dan bumi yang kita tempati ini bukanlah milik kita, tapi titipan dari anak cucu.

Dunia telah mengakui bahwa perubahan iklim adalah nyata. Dampak kerusakan alam, kemiskinan, konflik, migrasi besar-besaran dan menimbulkan kebinasaan karena frekuensi bencana alam yang sering terjadi. Dengan ancaman yang memang sudah terjadi yang seringkali menimpa kelompok masyarakat rentan dengan keterbatasan akses yang tinggi seolah nestapa menjadi suratan takdir.

Apakah dalam menghadapi kerusakan alam penggunaan teknologi akan mampu menyelesaikan semuanya? Apakah bantuan keuangan dan aspek ekonomi mampu membayar kerusakan alam?

Ternyata tidak. Kerumitan terlalu disederhanakan dalam sebuah hitungan kompensasi ekonomi.

Lingkungan tidak dapat bicara tentang dirinya sendiri. Manusialah yang akan memaknainya. Pengetahuan tentang alam lingkungan tersebut tidak akan muncul dan menampakkan dirinya jika tidak terdapat sebuah proses perjumpaan. Mustahil, jika lingkungan selalu ditempatkan sebagai obyek eksploitasi. Untuk itu perlu melihat secara lebih holistik, lewat kesadaran diri.

Hal yang patut diperhatikan adalah bagaimana membangun kesadaran bahwa kehidupan manusia tergantung sepenuhnya pada alam. Perilaku terhadap alam mencerminkan perilaku umum manusia modern saat ini. Paham mengenai keterkaitan manusia dengan alam saat ini mungkin dianggap tidak populer.

Hal mendasar adalah perlunya membangun hubungan antara manusia dan alam dengan berimbang. Bahkan setiap manusia yang hidup di bumi ini memiliki utang untuk membalas kebaikan alam yang sebenarnya ditujukan untuk keseimbangan hidup, kebaikan umat manusia dan untuk keberlanjutan kehidupan generasi berikutnya.

Sederhananya, paham ekologi (ekosentris = berpusat ekologi), bertumpu pada keseimbangan alam, kesadaran akan bencana dan mendorong kesadaran moral dalam hal ini solidaritas untuk bertindak secara bersama-sama memperbaiki perilaku yang berpotensi merusak  alam.

Namun, perilaku tersebut pun membutuhkan naungan tertib sosial berupa penegakan hukum dan implementasi kebijakan yang mendorong perilaku ekologis.

Negara-negara yang telah meninggalkan praktik eksploitasi ternyata terbukti lebih makmur. Masyarakatnya pun mampu membangun dan melangkah kepada peradaban yang lebih maju. Manusianya jauh dari stress, dan hidup lebih bahagia.

Prakarsa menempatkan lingkungan akan membawa dalam satu aras baru, suatu bentuk etika terhadap hubungan antara manusia dan alam lingkungannya. Moral terhadap alam yang harus dihargai, dimaknai, dibawa dalam konteks kesadaran empirik.

Idealnya, kesadaran dan perubahan dilakukan secara bersama-sama dalam masyarakat. Namun, kesadaran tersebut tidak akan tumbuh apabila masing-masing individu pun tidak mendorong kesadaran untuk mengubah persepsi dan perilaku terhadap alam.

Referensi:

  • William E. Kilbourne & Carlson, Les. 2008. “The Dominant Social Paradigm, Consumption and Environmental Attitudes: Can Macromarketing Education Help?”. Journal of Macromarketing. Volume 28. Hal. 106-121.
  • Rolf Lidskog & Claire Waterton. 2016. “Anthropocene – a cautious welcome from environmental sociology?”. Environmental Sociology. Volume 2. Hal. 395-406

 

* Ica Wulansari, penulis adalah mahasiswa S3 Sosiologi Universitas Padjadjaran dan Pengamat isu lingkungan hidup.  ** Ridzki R Sigit, Program Manajer Mongabay Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
,