Ruang Hidup Gajah di Tesso Nilo Terbatas, Bisakah Konflik Diminimalisir?

 

 

Jambo, gajah sumatera jantan usia 10 tahun itu, melahap potongan puding yang diberikan Dedi, sang mahout. Puding berbahan campuran jagung pecah, dedak, beras ketan, gula merah, dan mineral bubuk tersebut, terus dimakannya.

Jambo merupakan gajah yang berada di Flying Squad (tim pengusir gajah liar) di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, milik Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (YTNTN).

“Kami berikan puding minimal satu bulan sekali, kalau ia dibawa ke camp saja,” tutur Dedi yang sudah lima tahun merawat Jambo.

Dedi mengatakan, Jambo adalah satu-satunya gajah yang berasal dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Dua gajah lainnya yang ada di sini, Novi dan Dono, didatangkan dari taman rekreasi di Tanjung Balai Asahan.

Jambo ditemukan awal 2012 oleh tim patrol YTNTN yang bersamaan dengan itu juga didapati dua bangkai gajah dewasa, yang diduga kuat induknya. Lokasinya, di sekitar Pangkalan Gondai.

Jika waktunya tiba, Jambo akan dijadikan bagian dari tim manajemen konflik satwa. Bila ada gajah liar yang keluar hutan, Jambo yang akan membantu tim mengusir gaja-gajah tersebut untuk kembali ke rimba.

“Jambo simbol harapan kehidupan gajah di Tesso Nilo. Konflik akibat menyempitnya ruang hidup terus membayangi kehidupan mamalia besar di sini,” terang Dedi.

 

Bibit pohon jeruk nipis dikembangkan Yayasan TNTN untuk ditanam di sekitar kebun masyarakat. Tujuannya, mencegah gajah merusak tanaman yang ada karena gajah tidak menyukai aroma jeruk nipis. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berkonsorsium dengan Pundi Sumatera sebagai Fasilitator Wilayah TFCA Regional Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, Yuliantony mengatakan, Jambo dipersiapkan dan dididk untuk membantu pengusiran gajah liar.

“Jambo diserahkan ke kami untuk dirawat,” jelasnya.

Tiga gajah yang ada di sini bergabung dan berlatih bersama tim Flying Squad WWF-BBKSDA Riau. Mereka diperkenalkan dengan kegiatan rutin yang dilakukan oleh empat gajah Flying Squad WWF-BBKSDA Riau yang beroperasi di Desa Lubuk Kembang Bunga, seperti patroli dan pengusiran gajah liar.

“Rute patroli meliputi Desa Lubuk Kembang Bungo-Pontian Mekar (Bukit Apolo)-Baserah-Tesso-Pangkalan Gondai-Lubuk Kembang Bungo,” terangnya.

 

Tim patroli gabungan dari Yayasan TNTN menelusuri aliran Sungai Nilo, mengawasi kawasan dari ancaman perusakan. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Konflik

Keberadaan gajah yang dianggap masyarakat sebagai hama tanaman, membuat laju kematiannya cepat dan meningkat. Belum lagi ancaman perburuan yang selalu ada.

Yuliantony menyebutkan, sebagai upaya menekan kematian gajah di Tesso Nilo terutama akibat konflik, pembentukan tim patroli gabungan yang beroperasi berkala meman sebuah keharusan.

Cara lain yang dilakukan YTNTN adalah menanam pohon jeruk nipis di sekitar pohon yang disukai gajah. “Konflik tentu saja tidak dapat kita hindari, namun harus diminimalisir. Kita berharap gajah dan manusia dapat hidup berdampingan,” sebutnya.

Menurut dia, pihaknya dengan dukungan TFCA telah melakukan pengamanan kawasan dengan melibatkan masyarakat guna melindungi satwa. Kegiatan restorasi dan peningkatan ekonomi masyarakat juga melibatkan perempuan.

“Desa Lubuk Kembang Bunga, adalah satu-satunya desa di dalam kawasan yang telah melakukan pengamanan dengan membentuk Masyarakat Mitra Polhut,” terangnya.

 

 

Hamencol (54) Ketua Tim Patroli Masyarakat Mitra Polhut menyebutkan, baru-baru ini mereka menggagalkan upaya perambahan. Dua mesin chainsaw disita dan motor perambah yang ditinggal, dibakar.

“Patroli akan terus kami lakukan agar perambahan tidak terjadi lagi,” terangnya.

Yuliantony menambahkan, berdasarkan data yang dari Balai TNTN, populasi gajah yang ada saat ini diperkirakan sekitar 150-200 individu di blok hutan Tesso Nilo. Sementara data yang dimiliki YTNTN terkait kematian gajah akibat konflik, pada 2012 ada 12 individu gajah mati. Berikutnya, di 2013 (15 individu mati), 2014 (19 individu), 2015 (7 individu), dan 2016 (2 individu). “Di sepanjang 2017, kami tidak mencatat adanya kematian gajah akibat konflik,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,