Catatan Akhir Tahun : Seberapa Penting Konservasi Laut untuk Industri Perikanan dan Kelautan?

 

 

Garis pantai Indonesia dikenal sebagai yang terpanjang kedua di dunia setelah Rusia. Anugerah tersebut menjadikan Indonesia menjadi negara pantai yang kaya akan sumber daya ikan. Dari Sabang di Indonesia Barat, ke Merauke di Indonesia Timur, kekayaan sumber daya ikan bisa ditemukan oleh para pencari ikan.

Anugerah yang tidak dimiliki setiap negara tersebut, menjadi keistimewaan bagi Indonesia. Hal tersebut juga dirasakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 2014 atau sejak Joko Widodo resmi menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia.

baca : Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

Berkali-kali, Susi selalu menyebut, potensi besar perikanan Indonesia ada di seluruh provinsi. Potensi tersebut, sudah mengundang banyak pencari ikan dari berbagai negara. Kata dia, semua pencari ikan tersebut adalah ilegal, karena tidak pernah mendapatkan izin mencari ikan dari Pemerintah Indonesia.

Dengan status ilegal tersebut, Susi kemudian memberlakukan larangan mencari ikan bagi nelayan ataupun pengusaha dari luar Indonesia. Larangan tersebut, membuat kapal-kapal ilegal yang sedang ada di perairan Indonesia, ditangkap dan diadili sesuai dengan hukum Indonesia.

Pelarangan tersebut, kemudian berlanjut dengan dikeluarkan pelarangan lain, termasuk perpindahan muatan di tengah laut (transshipment) yang dilakukan kapal besar ke kapal lebih kecil. Larangan tersebut, berlaku umum bagi kapal ilegal dan kapal legal. Tak terkecuali kapal-kapal dari dalam negeri yang memiliki izin resmi dan biasa mencari ikan.

Saat itu, dua tahun lalu, Susi Pudjiastuti memberi alasan, transshipment dilarang, karena berpotensi menghilangkan pemasukan buat Negara. Biasanya, aktivitas tersebut dilakukan dengan memindahkan hasil tangkapan dari kapal besar ke kapal lebih kecil, kemudian membawanya ke luar Indonesia tanpa melalui pelabuhan lebih dulu.

Setelah larangan yang secara resmi dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014 tentang Alih Muatan Kapal, kondisi laut Indonesia mulai bisa dikendalikan oleh Pemerintah. Terlebih, di saat yang sama, pemberantasan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) juga gencar dilakukan.

baca : Pemberantasan IUU Fishing Semakin Berat Dilakukan Indonesia, Kenapa?

 

Kapal pencuri ikan berbendera Malaysia yang ditenggelamkan di di Pulau Telaga Tujuh, Kota Langsa, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Sejak saat itu, hingga sekarang menjelang pergantian tahun 2017 ke 2018, regulasi perikanan dan kelautan tak mengalami perubahan banyak. Kapal asing alias kapal yang berbendera negara lain, tetap tak diperbolehkan untuk menangkap ikan di laut Indonesia. Juga dibuat ada regulasi lain yang mengatur tentang komoditas atau biota laut yang bisa dan tidak bisa ditangkap.

Pemberlakuan aturan-aturan tersebut, tidak lain adalah untuk menjaga laut Indonesia dari kerusakan dan juga kepunahan biota laut. Serta agar biota laut yang jumlahnya terbatas, akan mengalami penambahan jumlah yang signifikan.

“Semua itu, pada akhirnya akan kembali dinikmati oleh nelayan Indonesia. Jika tangkapan di laut meningkat, maka kesejahteraan juga akan meningkat,” ucap Susi.

Dengan pengawalan yang ketat pula, Susi mengatakan, pihaknya berhasil meningkatkan stok ikan nasional dari 9,93 juta ton pada 2016 menjadi 12,541 juta ton pada 2017. Susi mengklaim data tersebut didapat melalui kajian dan perhitungan yang akurat dari tim ahli Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan).

baca : Stok Ikan Lestari Naik Karena Penanganan IUU Fishing Berhasil?

 

Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Adaptasi Sulit

Walau sudah berjalan hampir tiga tahun, regulasi kelautan dan perikanan yang mengatur tentang konservasi ternyata dinilai masih belum berjalan baik. Penilaian itu, terutama dilihat dari sisi bisnis perikanan dan kelautan yang melibatkan para pelaku usaha. Selama hampir tiga tahun terakhir, para pengusaha masih bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang sudah berlaku.

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurut dia, upaya konservasi yang sedang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih sulit diterima oleh sebagian pelaku usaha di industri tersebut.

“Konservasi perikanan memang memberikan dampak luar biasa, khususnya untuk para pebisnis. Karena mengubah kebiasaan itu tidak mudah, adapatasi itu memang sulit,” ucap dia.

Susan menjelaskan, dalam melaksanakan konservasi, utamanya untuk perikanan dan kelautan, itu selalu memunculkan dampak di dua sisi, yakni positif dan negatif. Untuk dampak positif, dia melihat konservasi akan mendorong bisnis yang bertanggung jawab di sektor perikanan. Tetapi, dengan menerapkan konservasi, ada dampak negatif, yakni munculnya pengangguran.

Susan memaparkan, sejak Indonesia menerapkan prinsip berkelanjutan melalui konservasi dalam sektor perikanan dan kelautan, sejumlah permasalahan mendasar mulai muncul dan harus dihadapi para pelaku usaha. Salah satunya adalah perizinan kapal yang mengalami perubahan manajemen.

 

Nelayan menangkap ikan di perairan di kawasan konservasi Pulau Namatota, Kabupaten Kaimana, Papua Barat yang termasuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KPPD) Kaimana. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Pusat Data dan Informasi KIARA pada September 2017 mencatat, selain persoalan perizinan, permasalahan lain yang harus dihadapi nelayan, anak buah kapal (ABK), pemilik kapal, dan pengusaha, juga berkaitan dengan ketidakjelasan penegakan hukum, serta importasi garam yang dibuka luas dan berdampak buruk bagi petambak garam nasional.

“Ditambah lagi, alur perdagangan garam dari produsen ke konsumen akhir yang melibatkan dua hingga delapan fungsi kelembagaan usaha perdagangan,” tutur dia.

baca : 30 Tahun Konservasi di Laut, Ancaman Kerusakan Ekosistem Semakin Tinggi, Kenapa?

Untuk itu, Susan menyebut, perlu ada perbaikan yang mendasar pada lembaga Pemerintah terkait untuk mengatasi persoalan yang disebut di atas, yaitu memperbaiki kelembagaan perizinan kapal perikanan secara terpadu dan transparan; memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan dan olahannya.

Pemerintah juga harus memberikan perlindungan secara berkala kepada ABK, baik yang bekerja di atas kapal perikanan dalam negeri maupun kapal asing; memprioritaskan penyerapan panen garam rakyat dan menutup keran impor garam industri dengan melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No.125/2015 tentang Ketentuan Impor Garam.

“Terakhir, Pemerintah harus menyegerakan penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” tandasnya.

baca : Indonesia Hadapi Tantangan Besar Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, Seperti Apa?

 

Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp/Mongabay Indonesia

 

Konservasi untuk Masa Depan

Menjalankan konservasi untuk laut dan sumber daya yang ada di dalam dan sekitarnya, memang membutuhkan kerja keras, perlu upaya yang berkelanjutan dengan waktu panjang yang tak terbatas. Dengan cara tersebut, konservasi diyakini bisa memberikan manfaat banyak untuk alam dan manusia. Dan yang paling penting, sumber daya laut tetap terjaga secara berkesinambungan.

Gambaran tersebut, menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, harus bisa dipahami dengan bijak oleh semua pelaku usaha di industri perikanan dan kelautan. Setiap pelaku usaha harus bisa menjalankan kepentingan masyarakat pesisir dalam mengelola laut, ketimbang mengedepankan kepentingan bisnis yang selalu dalam pertimbangan sesaat.

“Dengan jalan itulah, Pemerintah bisa memastikan terlayani hak-hak dasar nelayan yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Utamakan kepentingan masyarakat pesisir dalam mengelola lautnya melalui skema koperasi atau BUMDes,” jelas Halim.

Halim mengungkapkan, dalam melaksanakan konservasi di laut, biasanya itu berkaitan erat dengan bisnis wisata bahari dan juga bisnis perikanan dan kelautan. Dalam konteks inilah, isu pembungkus yang seringkali digunakan adalah mengatasi dampak perubahan iklim.

baca : Indonesia-AS Kembangkan Kerjasama Konservasi Laut Nusantara

Di sisi lain, Halim menambahkan, penilaian dari pelaku usaha yang menganggap bahwa konservasi hanya akan memberi kerugian saja, sepenuhnya tidak benar. Bagi dia, konservasi akan selalu menimbulkan negatif dan positif, tetapi akan berdampak bagus untuk di masa mendatang.

Dengan melaksanakan prinsip keberlanjutan dalam konservasi, Halim menuturkan, sebenarnya itu sudah memberikan perlindungan bagi bisnis yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan. Upaya perlindungan tersebut, walaupun positif, namun sebenarnya berdampak negatif karena harus menggusur keberadaan masyarakat pesisir.

“Jadi, anggapan negatif dari pengusaha tentang konservasi, itu tidak benar. Karena sebaliknya, pengusaha justru diuntungkan dengan adanya perluasan kawasan konservasi laut. Pihak yang merugi justru masyarakat pesisir,” tambahnya.

Dengan kondisi yang ada sekarang, Halim menyebut bahwa semua pelaku usaha dan pihak yang berkaitan, harus sama-sama memahami dengan prinsip dan konsep konservasi yang sedang dan akan terus dilaksanakan di laut. Prinsip konservasi tersebut, sudah ada dalam regulasi Undang-Undang No.7/2016 tentang tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Ikan.

“Jalankan UU No.7/2016 dan prioritaskan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam atau masyarakat pesisir secara umum sebagai lakon utama pengelola sumber daya pesisir dan laut,” tegasnya.

baca : Asa di Sunda Kecil : Antara Kebutuhan Perut, Konservasi dan Perikanan Berkelanjutan. Apa Masalahnya?

 

Hasil tangkapan ikan nelayan yang sedang dikumpulkan dan ditransaksikan di TPI.

 

Fokus Kegiatan

Dengan konservasi yang terus berlangsung di laut Indonesia, kegiatan bisnis juga tidak boleh terhenti. Demikian menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan. Menurut dia, kegiatan bisnis dan konservasi harus bisa berjalan beriringan dan bergandengan tangan untuk mewujudkan Indonesia sejahtera dari pesisir.

Agar konservasi dan bisnis bisa tetap berjalan bersama, Abdi Suhufan menilai, perlu ada pemilihan dan pemilahan program kegiatan yang pas dan tepat guna oleh KKP. Dengan membuat program kegiatan yang tepat, dia meyakini kalau kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha akan bisa didapat tanpa henti.

“Namun demikian, kita perlu melihat secara dalam apa faktor pendorong lain dalam dalam mendukung kinerja sektor kelautan dan perikanan terutama dan apa yang harus dilakukan pada tahun 2018, agar dampak nyata pembangunan bisa kelihatan dan dirasakan langsung oleh masyarakat kelautan dan perikanan,” jelas dia.

Dalam kaitannya dengan pencapaian target 2017, Abdi Suhufan mengatakan, ada catatan yang perlu diberikan kepada KKP, yaitu: 1.) kemungkinan tidak tercapainya beberapa target utama seperti produksi perikanan (29,4juta ton), nilai ekspor perikanan (USD7,6 miliar), dan produksi garam (3,8 juta ton); 2.) kinerja program bantuan kapal dan alat tangkap (782 kapal) serta SKPT (12 lokasi); 3.) lambatnya capaian target industrialisasi perikanan; dan 4.) pengelolaan kawasan konservasi laut yang belum efektif dan rehabilitasi eksosistem pesisir yang belum optimal dilakukan.

baca : Konservasi Laut Indonesia Juga Bisa Dilakukan dari Games

Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi pada kesempatan terpisah menjelaskan, konservasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil sebenarnya sudah dilakukan selama 30 tahun di Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, capaian yang ditorehkan tidak hanya bersifat positif saja, melainkan juga negatif.

Hal negatif yang muncul adalah semakin tingginya ancaman kerusakan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Kata dia, ancaman yang dirasakan Indonesia sekarang, merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

“Dan yang pasti, ancaman tersebut dapat menyebabkan kerugian hingga miliaran dolar AS,” jelas Brahmantya.

Penggunaan bom dalam skala besar selain membunuh ikan-ikan dalam skala besar juga menimbulkan kerusakan yang besar pada terumbu karang yang selama ini menjadi tempat hidup, memijah (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), pembesaran (rearing ground) dan mencari makan (feeding ground) berbagai jenis biota laut.

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Brahmantya menjelaskan dari data yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016, didapatkan data bahwa terumbu karang yang kondisinya sangat baik di Indonesia tinggal 5,32 persen. Sementara, lebih dari 30 persen dinyatakan dalam kondisi kurang baik.

Ancaman juga datang dari semakin tingginya kegiatan penangkapan ikan yang merusak, pencemaran dari daerah aliran sungai (DAS), pembangunan pesisir yang tidak terencana, dan perubahan iklim merupakan faktor ancaman bagi kesehatan ekosistem laut.

Untuk mencegah terus menurunnya kondisi terumbu karang, Brahmantya menyebutkan, pada tahun lalu disepakati bahwa ekosistem di laut harus dilindungi melalui penerapkan kawasan konservasi perairan (KKP). Konsep tersebut, harus diterapkan di seluruh Indonesia, utamanya di kawasan perairan yang dinilai rawan dari ancaman kerusakan.

“Para ahli dan praktisi sepakat bahwa KKP merupakan salah satu solusi terbaik untuk menekan ancaman terhadap ekosistem laut dan melindungi habitat penting untuk ikan memijah, tumbuh, berkembang dan mencari makan,” ungkap dia.

Untuk bisa melindungi ekosistem di laut, Brahmantya memaparkan, Pemerintah berupaya keras untuk membentuk KKP dan menambahnya sebanyak mungkin hingga mencapai target pada 2020 mendatang seluas 20 juta hektare. Komitmen tersebut menjadi harga mati, karena kawasan konservasi disadari bisa menyelamatkan ekosistem yang sedang terancam sekarang.

baca : Mampukah Indonesia Capai Target 20 Juta Hektare Kawasan Konservasi Laut Tahun 2018?

Lebih lanjut Brahmantya menerangkan, pengelolaan sebagian kecil kawasan perairan laut dalam sistem KKP diharapkan bisa melindungi habitat dan keanekaragaman hayati yang rusak untuk pulih kembali. Selain itu, diharapkan juga perlindungan bisa memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkesinambungan bagi masyarakat.

“Hingga Desember 2016, luas kawasan yang telah dibentuk mencapai 17,98 juta hektar dengan total KKP mencapai 165 lokasi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, diperkirakan kurang dari 15 persen KKP yang ada telah memenuhi target pengelolaannya,” papar dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,