Dapat Bantuan Perahu, Produktivitas Nelayan Kepiting di Lantebung Makassar Meningkat

 

Mursalim (40) menambatkan perahunya, lalu dengan hati-hati mengikat di tiang jembatan. Pakaiannya sedikit basah, entah oleh karingat atau percikan air laut. Senyum tersungging dari bibirnya. Ia lalu mengajak kami ke pondok informasi yang tak jauh dari tambatan perahu itu.

Pondok Informasi itu adalah sebuah rumah panggung seluruhnya terbuat dari kayu, dibangun di pesisir Lantebung setahun lalu yang diresmikan langsung oleh Walikota Makassar, Ramdhan Pomanto. Pondok Informasi ini adalah salah satu bagian dari pembangunan infrastruktur Coastal Community Development Project – International Fund Agriculture Development (CCDP-IFAD) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasinya di sekitar kawasan mangrove membuat tempat ini sangat sejuk.

Jalan menuju Pondok informasi ini adalah sebuah jalan titian kayu selebar sekitar 1,5 meter. Bagian dari rencana pembangunan tracking mangrove yang nantinya diharapkan bisa menjadi salah satu tujuan wisata alam di Kota Makassar. Pondok Informasi ini semacam gedung serbaguna untuk warga sekitar, khususnya untuk kelompok-kelompok dampingan CCDP-IFAD.

Mursalim lalu mengajak kami duduk bersila di teras pondok dengan terpaan angin yang sedikit kencang. Mursalim sendiri adalah Ketua Kelompok Bakau, salah satu kelompok nelayan dampingan CCDP-IFAD di Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanayya, Kota Makassar.

Mursalim bercerita bahwa kelompoknya mendapat bantuan dari CCDP-IFAD, berupa perahu dan alat tangkap. Bantuan ini didistribusikan merata kepada seluruh anggota kelompok yang berjumlah 10 orang. Bantuan yang diterima sesuai dengan kebutuhan nelayan, yang disampaikan dalam sebuah pertemuan khusus.

“Di awal itu kita ada pertemuan. Semua kebutuhan dicatat. Kita rundingkan baik-baik apa-apa saja yang diinginkan anggota kelompok. Ada yang pilih beli perahu, mesin perahu, dan ada juga maunya alat tangkap. Setiap orang punya keinginan yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Nilai bantuan setiap orang Rp3,5 juta,” ujar Mursalim, kepada Mongabay akhir November 2017 silam.

Mursalim sendiri memilih membeli mesin ketinting berkekuatan 9 PK. Harganya mendekati Rp3,8 juta, sehingga ia harus menambah kekurangannya dari kantongnya sendiri.

“Saya pilih mesin yang paling baik meski harus menambah biaya. Mesin katinting merek MPH. Saya nambah sekitar Rp300 ribu. Saya tambah di bagian belakang semacam stand-nya yang terbuat dari bambu,” jelasnya.

Mursalim sendiri sebelumnya telah memiliki mesin katinting dengan kapasitas 7 PK, yang dibelinya sejak 10 tahun lalu. Meski kondisinya masih bagus namun kemampuannya masih terbatas sehingga Mursalim kemudian memilih membeli mesin dengan kapasitas yang lebih besar.

Anggota kelompok lain ada yang membeli body perahu dan memperbaiki perahu yang sudah ada. Sementara untuk alat tangkap, sebagian besar alat tangkap yang dipilih adalah rakkang dan pukat. Selain itu, sebagian besar anggota kelompok juga membeli tali untuk pembuatan alat tangkap pukat dan pengikat rakkang.

 

Semakin membaiknya kondisi mangrove di perairan Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanayya, Makassar, berdampak pada populasi kepiting di daerah itu. Mangrove adalah tempat kondusif bagi kepiting untuk bertelur. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kelompok Bakau sendiri dibentuk seiring dengan masuknya CCDP-IFAD di Kelurahan Bira pada 2016 lalu, meski cikal bakal kelompok ini sudah ada, dibentuk sejak 2010 lalu. Jika kelompok lama beranggotakan 20 orang maka kelompok bentukan CCDP IFAD ini hanya 10 orang.

Mursalim dan sebagian besar nelayan di Lantebung sendiri kini banyak menjadi nelayan kepiting. Aktivitas ini baru dimulai seiring dengan membaiknya mangrove di kawasan tersebut. Sekali melaut mereka bisa memperoleh kepiting sekitar 1-3 kg.

Populasi kepiting sendiri akan sangat tergantung pada kondisi mangrove yang ada pesisir. Ketika mangrovenya rusak, kepiting akan sulit ditemukan. Mangrove menjadi tempat bertelur yang kondusif bagi kepiting sebelum kembali ke lautan lepas. Musim kepiting di Lantebung biasanya di bulan Juni hingga Agustus. Di bulan September populasinya akan menurun, meski naik kembali di bulan Oktober.

“Namun paling banyaknya memang di tiga bulan itu, Juni, Juli dan Agustus,” tambah Mursalim.

Tidak hanya tergantung musim, banyaknya kepiting yang mereka bisa tangkap sesuai dengan jumlah rakkang yang mereka miliki. Mursalim memiliki sekitar 100 rakkang. Ada nelayan yang memiliki hingga 200 rakkang, bahkan lebih. Setiap rakkang bisa menjerat 1-5 kepiting, namun kadang sebagian besar kosong.

Jenis perahu juga menentukan seberapa banyak kepiting yang mereka bisa peroleh. Dengan perahu berkapasitas 7 pk, mereka hanya bisa menjangkau 1 mil, sementara idealnya ada di jarak 2 mil dengan kondisi air yang asin, bukan bayau.

“Kalau payau airnya maka kepitingnya akan semakin menjauh sehingga semakin susah ditangkap. Bisa sampai dua mil. Nelayan juga takut mencapai jarak itu. Apalagi kalau ada kapal trawl yang bisa hantam rakkang. Artinya kita butuh modal lagi untuk beli yang baru. Untung ji kalau ada modal.”

Kapal trawl sendiri masih menjadi ancaman bagi nelayan tangkap di sekitar perairan Lantebung. Tidak hanya merusak rakkang, trawl ini juga merusak ekosistem yang ada di pesisir, termasuk ekosistem untuk kepiting.

“Kalau malam masih banyak kapal trawl yang berkeliaran. Selama dilarang di Maros, Pangkep dan Barru mereka larinya ke sini semua. Apalagi sekarang trawl katanya masih dizinkan sampai bulan Desember ini. Lari semua naik di sini sampai di Galesong. Jumlahnya sekitar puluhan itu. Sembarang mi itu dia dapat. Banyak juga kepiting.”

Menurut Mursalim, sebagian besar karang yang ada Lantebung rusak karena adanya trawl. Daya rusak trawl yang besar disebabkan oleh cara penggunaannya yang menarik apa saja yang ada di dasar laut. Trawl sempat menjadi alat tangkap yang dianjurkan pemerintah di tahun 1970 – 80 an, namun kemudian dilarang kemudian karena dampaknya yang bisa merusak ekosistem yang ada di laut dan pesisir.

 

Bantuan perahu, mesin perahu dan rakkang (alat tangkap kepiting) dari CCDP-IFAD dapat meningkatkan produktivitas nelayan di pesisir Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Biringkanayya, Makassar. Nelayan tangkap kepiting ini dalam sebulan bisa memperoleh penghasilan hingga Rp3 juta. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Produktivitas Meningkat

Menurut Mursalim, adanya bantuan perahu, mesin dan alat tangkap terhadap nelayan bisa meningkatkan produktivitas dan taraf hidup nelayan. Khusus mesin misalnya, dengan adanya mesin baru mereka kini bisa melaut lebih jauh lebih lagi hingga dua mil atau lebih, sehingga tangkapan bisa lebih banyak. Hal yang sulit dilakukan ketika masih menggunakan mesin perahu yang lama.

Progres nelayan anggota kelompok pun relatif sama karena kecenderungan memiliki perahu dan alat tangkap yang sama.

“Semua merata ji saya lihat, tidak ada yang terlalu menonjol. Tapi beda mi dengan yang dulu selama belum ada bantuan IFAD ini. Dulu perahu kan tidak layak mi, nda bisa jauh-jauh. Karena ada bantuan jadi bertambah sedikit pendapatan. Dalam sebulan penghasilan mereka bisa mencapai Rp1,8 juta – Rp2 juta. Bahkan ada yang bisa sampai Rp3 juta kalau tiap hari dia ambil dua race.”

Kelompok Bakau ini memiliki tabungan hasil iuran anggota kelompok. Setiap bulan menyimpan Rp20 ribu per orang. Uang disimpan untuk kebutuhan mendesak. Tabungan sekarang masih ada Rp300 ribu. Ada yang belum menabung. Setiap anggota kelompok juga punya tabungan pribadi.

Meski kadang kekurangan modal, sebagian besar warga masih berupaya untuk tidak meminjam uang pada punggawa, takut terjerat utang berkepanjangan, seperti yang terjadi di tempat lain.

“Memang di sini ada punggawa bisa kasih pinjam uang, tapi nda ada berani pinjam begitu. Takut ki nda bisa membayar utang, apalagi kalau sampai sekian juta,” ujarnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,