Kala Warga Mantadulu Berjuang Rebut Lahan dari Perusahaan Sawit Negara

 

Sejak 1994, perusahaan negara, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV, meraup rejeki dari Mantadulu. Mengubah wilayah transmigrasi jadi kebun sawit. Ribuan hektar lahan warga diduduki sepihak, membuat ratusan keluarga terpaksa keluar kampung mereka.  

Pada 1981, Muhammad Nuh,  bertolak dari kampungnya di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Dia ikut program transmigrasi bersama 500 keluarga dari Bali, Lombok,  Jawa dan penduduk lokal Sulawesi Selatan. Dalam bayangan dia,  akan menuju tanah harapan. Tanah memulai kehidupan baru.

Sebelum berangkat, di sebuah tempat pembekalan di Lombok, dia bertemu Sakinah. Mereka saling suka dan memutuskan menikah. Bersama keluarga baru itulah, mobil mereka menembus jalanan berkubang penuh lumpur.

“Saya datang pertama kali di tempat ini. Tak tahu harus bagaimana. Semua rawa dan air. Pohon-pohon besar masih mengelilingi kampung,” katanya.

“Seperti rumah di samping – jaraknya hanya sekitar 20 meter – itu tetangga kita. Dari jarak mata sangat dekat. Untuk berkunjung, memerlukan beberapa menit untuk cari celah jalan. Harus meniti titian kayu tumbang,” katanya.

“Jangan mi bilang, dulu itu ikan gabus bisa kita tangkap di bawah ranjang saja.”

Beberapa bulan setelah sampah wilayah itu, bersama transmigran lain dia membangun jembatan seadanya. Minimal saling berkunjung. “Terus lahan kami buatkan selokan kecil, air berkurang sedikit-sedikit. Kami tanam sayur untuk kebutuhan sehari-hari. Yang bisa tumbuh saja,” katanya, mengenang.

Sekitar dua tahun, semua tanaman mereka musnah terkena hama ulat. “Banyak sekali. Sampai masuk rumah. Kami semprot tapi tak berhasil. Keadaan itu benar-benar buat saya putus asa.”

Pada 1987, Nuh punya dua anak. Dia memutuskan menuju pusat kota Kabupaten Luwu, di Palopo. Istrinya membuka warung kecil di pasar.

Dia jadi penjaja obat keliling, sesekali waktu menarik becak. Akhir 1980-an, Nuh kembali ke Mantadulu. Keadaan sedikit berubah.

Tabungan mereka untuk membeli beberapa lahan warga yang berencana meninggalkan kampung. Kehidupan berangsur membaik. Dia membuka warung kelontong di rumah. “Saya mulai senang. Bersama teman-teman kami makin akrab, seperti keluarga,” kata Nuh.

Minggu,  17 Desember 2017, saya mengunjungi Mantadulu. Desa beragam. Ada masjid, gereja, dan pura. Orang-orang berpapasan acap kali bertegur sapa, atau paling tidak, saling melempar senyum.

“Ini tempat yang bahagia,” kata saya.

“Iya, banyak suku. Banyak kepercayaan. Semua orang bisa saling menghargai,” kata Nuh.

 

Lalu Wiredana, memperlihatkan peta wilayah transmigrasi, yang sudah diverifikasi BPN. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Memasuki tahun 1994, ketenangan desa ini terganggu. Mereka tak pernah menduga kedatangan buldoser dan traktor besar. Kendaraan itu, menuju wilayah yang disebut Wana-wana. Menumbangkan pohon nangka, durian, jambu mete, meratakan jagung, sampai padi warga.

Ratusan hektar lahan garapan warga untuk perladangan dan persawahan dari Kementerian Transmigrasi sirna. Beberapa orang berusaha bertahan. Ada telanjang di tengah lahan, melindungi tanaman yang sudah mereka sepenuh hati. Gigi-gigi roda besi buldoser tak peduli, tetap merangsek.

Warga mendatangi pusat pemerintahan di Palopo. Membawa aduan dan rapat dengar pendapat dengan anggota dewan kabupaten. Tak ada penyelesaian. Kebun pembibitan PTPN XIV mulai berdiri.

Administrasi berubah. Luwu berkembang menjadi tiga wilayah administrasi rentang waktu 1999 dan 2002. Kabupaten Luwu, dengan Ibukota Belopa. Kabupaten Luwu Utara, resmi terbentuk 1999 berpusat di Masamba. Kota Palopo sebagai kotamadya pada 2002.

Pada 4 Juni 1999,  Komnas HAM mengirimkan surat kepada Gubernur Sulawesi Selatan, meminta penyelesaian kasus di Wana-wana, Desa Mantadulu, Kecamatan Maliliyang, Luwu. Isi surat menyampaikan, jika kasus ini sejak lama ditangani Pemerintah Luwu di Palopo, namun belum dapat terselesaikan dan sangat merugikan warga.

Surat itu akhirnya jadi arsip belaka. Pemerintah daerah bersama PTPN XIV tak mendapat titik temu. Akhirnya semua berkas administrasi dan keluhan warga dalam kasus penyerobotan lahan, berpindah ke Luwu Utara.

“Kami bertemu dewan dan pemerintah daerah. Kami beberkan semua yang terjadi,” kata Lalu Wiredana, kini tinggal di Desa Sumber Agung. Lahan dia di Mantadulu, juga masuk klaim PTPN.

Perkembangan daerah otonom mengubah peta administrasi Mantadulu, tadinya bagian Kecamatan Maliliyang jadi Kecamatan Mangkutana. “Jarak jadi lebih singkat, tapi semua mediasi harus kembali dari awal, karena pejabat baru,” katanya.

Pemerintahan Luwu Utara, beberapa pejabat bergegas menengahi kasus itu. Warga diminta mengumpulkan bukti kepemilikan, dari mulai sertifikat hingga surat keterangan tanah (SKT). Pada 21 September 1999, permintaan itu dipenuhi, sekitar 300-an surat bukti diserahkan. Bundel surat tebal diperlihatkan. Seperti biasa, pemerintah berjanji mengambil langkah tepat.

Di Mantadulu, warga berharap cemas menunggu. Keputusan tak kunjung datang. Bukti kepemilikan, akhirnya dikembalikan pemerintah setelah warga mendesak. Sebanyak 79 sertifikat dan SKT tak kembali.

Nuh, salah penginisiasi didatangi warga. Orang-orang meminta dia bertanggung jawab atas kehilangan surat. “Saya ke Pemda Luwu Utara, sampai sekarang tak kembali. Saya bingung sendiri,” katanya.

“Saya lagi duduk di bawah rumah. Ada yang datang marah-marah. Saya diam, emosinya meledak. Dia angkat parang, dan menebas tiang rumah. Itu karena dia emosi sekali.”

Gunjing pun beredar. Nuh dan beberapa penginisiasi dianggap telah menjual sertifikat untuk memperkaya diri sendiri. “Itu sah saja orang bilang begitu. Lihat keadaan sebenarnya. Saya tak punya apa-apa.”

Pada hari kedua di Mantadulu, saya berkeliling menggunakan sepeda motor. Beberapa mobil bak terbuka melintas membawa tandan-tandan sawit. Mobil sejenis yang melewati saya, sehari sebelumnya di tengah kebun sawit.

Malam itu, di Mantadulu hujan. Beberapa titik di ruas jalan tergenang. Pohon-pohon sawit warga sudah serupa kolam. Ikan-ikan mas, menggeliat di ruas jalan. Sanggah–tempat sembahyang penganut kepercayaan Hindu–di depan rumah ikut jadi endapan lumpur. Pesantren juga tak luput.

Anak-anak berlarian bermain air keruh. Beberapa orang histeris mengangkat kaki saat motor melaju melintasi genangan. Jika penutup busi terbuka sedikit, motor mogok di tengah genangan.

Saya menyaksikan si pengendara mengeluh dan yang lain membantu sembari tertawa.

 

Unjuk rasa warga di depan Pengadilan Negeri Malili, Kamis 13 Juli 2017, sesaat sebelum sidang perdana class action digelar, antara warga Mantadulu dan PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Pada 11 Desember 2000 hingga 1 Maret 2001, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Luwu mengukur tanah di tiga desa yang jadi sengketa lahan. Hasilnya,  pengembalian batas rekonstruksi, masing-masing di Desa Tawakua 52 sertifikat lahan terhisap masuk PTPN XIV. Desa Mantadulu sebanyak 218 sertifikat.

Dua tahun kemudian, pada 2003, wilayah otonom baru terbentuk. Kabupaten Luwu Timur dikembangkan sebagai pecahan dari Luwu Utara. Mantadulu, ikut berubah, jadi bagian Kecamatan Angkona.

Bupati Luwu Timur, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pada 25 Januari 2005 membentuk tim verifikasi konflik Mantadulu. Pada 2008, keluar lagi SK membentuk tim pemetaan tanah garapan masyarakat yang masuk perkebunan PTPN XIV.

Saat bersamaan BPN Kabupaten Luwu Timur, menyatakan, sertifikat hak milik masyarakat di lahan transmigrasi Mantadulu, masih sah dan diakui. Setahun kemudian, Bupati Luwu Timur, Andi Hatta Marakarma, meminta PTPN XIV serius menyelesaikan masalah penghisapan lahan garapan warga.

Pada 2 September 2009, PTPN XIV melayangkan surat tanggapan yang menyatakan bila, HGU PTPN XIV di Angkona, merupakan lahan pengganti HGU Perkebunan karet PTPN XIV di Desa Baramamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, oleh pemerintah daerah untuk pengembangan wilayah. Lampiran surat bukti rekomendasi Gubernur Sulawesi Selatan 9 Juli 1990 dan surat Bupati Luwu tahun 1994, soal izin lokasi BPN Luwu.

Kemudian surat izin perpanjangan lokasi pada 2 Oktober 1999 oleh Pemerintah Luwu Utara.  “Prosedur pelepasan aset dapat dilakukan apabila ada keputusan hukum yang tetap melalui pengadilan,” tulis surat itu.

Lembar surat menyurat antara PTPN XIV dan pemerintah daerah–baik Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur–sampai ratusan halaman.

Babak baru mulai. Warga Mantadulu menggugat PTPN XIV dan Pemerintah Luwu Timur.  Pada Kamis, 13 Juli 2017, sidang gugatan pertama. Ada seratusan orang hadir siang itu. Mereka menempuh sekitar 70 km pakai sepeda motor. Di depan Pengadilan Negeri Malili, mereka membentangkan spanduk.

Ibrahim, 72 tahun, pakai topi pet, memperlihatkan sertifikat tanah yang direbut PTPN XIV. “Hampir 20 tahun, kami berjuang dan sampai sekarang tidak kunjung selesai. Semoga proses hukum melihat keadilan,” katanya.

Beberapa polisi berjaga. Tak ada media yang mengabarkan. Mereka seperti bersengketa sendiri. “Dulu, hampir setiap kali kami mau menggelar aksi. Sehari sebelumnya ada beberapa wartawan datang. Bicara sebentar lalu meminta uang. Biasa sampai Rp5 juta,” kata Nuh.

“Kami sebenarnya capek. Tapi itu hak kami, jadi berdosa jika kami tahu, dan membiarkannya,” kata Lalu.

Pada 22 Desember 2017, di ruang sidang kuasa hukum PTPN XIV dan Pemerintah Luwu Timur duduk di meja tergugat. Kuasa hukum warga di meja penggugat.

Hari itu, sidang ke-18 yang berlangsung sejak Juli 2017. Agenda surat pembuktian oleh PTPN XIV.

Kuasa hukum warga, Nasrum mengomentari, surat mengenai izin lokasi. “Dari awal kita ingin melihat izin HGU, tapi tak pernah ada. Izin lokasi selesai pada 2000,” katanya.

Kan izin lokasi dulu, lalu diperpanjang setahun, lalu dua tahun setelah itu. Jika sudah melewati itu, harus mendapat HGU. Selanjutnya, apakah HGU dari usaha perkebunan karet, bisa dipindahkan ke tempat lain dengan usaha yang berbeda? Ini kan aneh,” katanya.

Andi Evan, Manager Kebun PTPN XIV Unit Malili, mengatakan, proses mendapatkan HGU memang panjang. “Jika ingin mencari HGU memang belum ada. Itu kan masih proses pengusulan,” katanya.

HGU PTPN XIV di Luwu Timur , sejak tukar guling dari Desa Baramamase sekitar 9.000 hektar. Kemudian revisi jadi 2.400 hektar. Saat ini, lahan ditanami atau yang tergarap 1.680 hektar. “Luasan itu masih mendapat tekanan dan diganggu banyak orang,” katanya.

Kata Evan, produksi kebun setiap hari 50-80 ton. “Jadi pertanyaan sekarang, dulu ketika tukar guling, harusnya pemerintah sudah clear and clean lahan. Kami tidak tahu apa-apa, setelah sawit tertanam baru ada seperti ini,” katanya.

“Kalau kita (PTPN XIV-red) dianggap menyerobot lahan, kan tidak mungkin. Maka kami ajukan ke BPN pengukuran. Lalu ada beberapa tempat dinyatakan sebagai kawasan hutan. Ada juga klaim dari transmigrasi dan masyarakat. Kami juga bingung.”

Saya juga menghubungi Agus Melas, kuasa hukum Pemerintah Luwu Timur, yang ikut tergugat karena menahan sertifikat warga.

Apa alasan pemerintah melakukan itu? “Kira-kira pemda mau kembalikan kemana?” tulis Agus dalam pesan singkatnya.

“Ke masyarakat yang memiliki sertifikat. Masyarakat Mantadulu?” jawab saya.

“Kalau masyarakat sebagai penggugat itu tidak ada tidak ada satu pun pemilik sertifikat yang ada sama pemda. Selama ini, saya lihat hanya fotocopi-an yang ada di pemda,” ucap Agus.

 

Desa Mantadulu, sudah penuh sawit. banjirpun kerab datang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Sarapan kami di rumah Nuh adalah kopi dan dadar gulung. Juga nasi dan sayur bening hasil petik kebun samping rumah. Kami berbincang sambal memperhatikan tingkah kutilang bermain di pucuk pohon sawo.

Sakinah, istri Nuh menceritakan, awalnya sempat ragu akan perjuangan suami yang berhadapan dengan perusahaan negara. Namun, katanya, mereka memang harus berusaha menuntut hak agar lahan kembali.

“Ada lima hektar. Itu milik kami, kenapa harus dikuasai orang. Kami lebih dulu disini dan mereka (PTPN-red) belakangan datang,” kata Nuh.

Laheno, dari etnis Padoe. Kakek 80-an tahun ini bermukim di Mantadulu sejak leluhurnya. Pendengaran dia sudah mulai terganggu. Jika berbica mulut hampir menempel di daun telinga dan suara lebih keras.

“Dulu saya ikut mengukur dengan PTPN. Katanya lahan akan jadi kebun plasma. Nanti warga akan menikmati hasil tanpa harus bersusah payah bekerja di kebun,” katanya.

“Jadi saya mau. Kenapa semua jadi kebun inti? Kami tinggal ggigit jari. Warga tak dapat apa-apa.”

Nuh tak tahu soal cerita PTPN XIV meminta warga jadikan kebun plasma. “Mereka datang membuat pembibitan, langsung menanam. Tak ada negosiasi dan sosialisasi sebelumnya,” katanya.

Ketika perusahaan mulai menanam, Nuh melakukan pendekatan pada beberapa karyawan. Beberapa orang akrab mendatangi rumahnya. Sekdar bercengkrama, meneguk kopi dan makan bersama. Tahun 1998, kantor PTPN XIV masih di Desa Tawakua.

Kala itu, Nuh merasa ada yang keliru. Dia curiga tanah warga masuk lahan inti perusahaan. Dia berupaya mencari bukti.

Alhasil, dia meminjam tiga sertifikat tanah warga di Wana-wana. Dia pura-pura menawarkan pada pejabat PTPN agar membeli tanah Rp1,5 juta per sertifikat masing-masing  satu hektar.

“Saya ingat dia datang ke rumah. Saya sodorkan sertifikat itu, dan dia (nama menurut Nuh adalah Dadang) meminta saya ke rumah dinasnya malam,” katanya.

“Pak Nuh, bawa sertifikat. Coba saya cek ke kantor dulu, apakah sertifikat ini masuk plasma atau kebun inti?” kata Nuh meniru ucapan Dadang.

“Jadi setelah cek, Pak Dadang bilang, itu masuk inti. Dia minta maaf tak bisa membeli tanah itu, padahal sangat murah,” katanya.

Dalam perjalanan pulang, hati Nuh, bergetar hebat. Dia mendapat bocoran sempurna. Dia mengunjungi Lalu Wiredana, kawan karibnya dan merekapun mulai perjuangan itu.

 

Warga jadi berutang?

Pada 2003, gerakan masyarakat makin besar. Warga mulai jenuh dengan dialog akhirnya memblokade akses jalan ke pabrik pengolahan sawit di Wana-wana. Semua orang turun ke jalan. Pada 2004, mereka berhasil merebut lahan seluas 455 hektar. Semua bersuka cita.

Sekitar 500 hektar, lahan di Wana-wana,  masih belum tersentuh. Inilah yang jadi acuan warga melakukan upaya hukum dengan class action. Gerakan bersama menuntut negara, sebanyak 300 orang meminta pengembalian lahan garapan.

“Ini class action pertama dalam upaya hukum soalan agraria di Indonesia. Saya akan berupaya seadil-adilnya dalam melihat kasus ini,” kata Khairul,  Ketua Pengadilan Negeri Malili sekaligus Ketua Majelis Hakim dalam persidangan, Kamis, 13 Juli 2017, saat menerima unjuk rasa warga.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Apa yang membuat warga makin solid? Perebutan lahan 455 hektar bukan telah usai. Setelah warga dinyatakan berhak mendapatkan, PTPN XIV membebankan utang, sebagai proses ganti rugi pohon sawit yang sudah berbuah dalam konsesi.

Beberapa orang mengaku berutang hingga puluhan juta-tergantung luas lahan. Koperasi desa yang dibentuk menjadi penengah. Masyarakat tak pernah memperoleh kejelasan bagaimana proses transparansi hitungan beban itu. Setiap panen, ketika warga menjual tandan sawit ke PTPN, harus mencicil hingga utang lunas.

“Jadi sawit yang ditanam dan sekarang diambil warga itu ditanam PTPN. Selama penanaman sampai sekarang, mereka hitung. Jadi itulah dianggap utang,” katanya.

“Apakah itu sudah sesuai?” kata saya.

“Mungkin juga. Kan yang nanam perusahaan. Warga tinggal merawat dan sekarang memanen.”

Dari tahun 1996, lahan dikuasai perusahaan hingga 2003. Dalam rentang itu, warga tak mendapat sepeserpun dari lahan. “Tiba-tiba, warga berutang?”

 

Teror 

Nuh dan Lalu, makin semangat menghimpun kekuatan. Mereka sudah merelakan diri tetap menolak PTPN XIV hingga tanah warga kembali. Teror mulai. Ketika Lalu mengendarai motor di Desa Mantadulu, seseorang menghampiri dan mencabut kunci motornya.

“Saya diam saja. Saya kenal dia. Saya kenal orang yang suruh. Saya pulang ke rumah diantar teman. Beberapa hari kemudian, orang tuanya datang dan kembalikan kunci motor dan minta maaf,” katanya.

Terror lain, ada upaya percobaan pembunuhan. “Saya ke Palopo, ada urusan. Saya bermalam di rumah kenalan. Ada satu orang juga yang bermalam, dia dari Sumatera. Saya satu kamar, dia cerita akan ke Mantadulu, mencari seseorang,” kata Nuh.

“Ada yang membayarnya mahal untuk membunuh seorang bernama Nuh. Saya kaget dan lama-lama saya bilang kalau saya, Nuh. Dia lalu istigfar. Malam itu, saya tidak bisa tidur. Hanya berserah.”

Di cerita lain, selama dua hari sebuah mobil lalu lalang di Mantadulu. Tak ada seorang pun yang mengenalnya. Tiba pada acara kerja bakti di kantor desa, Nuh ada dalam gotong royong itu.

Saat isitirahat, dia duduk dekat seorang asing. Pria asing itu memperkenalkan diri dari Selatan – sekarang Kabupaten Luwu. “Dia minta saya menunjukkan yang mana namanya Nuh dan Lalu. Saya kaget.”

 

Kebun inti PTPN XIV di Wana-wana. Kiri kanan jalan bersengketa dengan warga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, tiga orang mendatangi rumah Nuh pada satu malam tahun 2003. Nuh dan Lalu, sedang berada di luar kampung, hendak menuju Palopo. Dalam perjalanan, mereka memutuskan kembali ke kampung. Rupanya, saat bersamaan beberapa anggota Brimob mendatangi rumah Nuh. Mereka naik ke rumah pakai sepatu. Membentak Sakinah.

“Dimana suamimu. Dimana Pak Nuh?” kata seorang Brimob,

“Tidak ada. Saya tidak sembunyi pak. Kalau tidak percaya, sini saya liatkan,” jawab Sakinah.

Dengan lentera minyak tanah, dia menerangi setiap bagian rumah. Anak ketiga (bungsu) sudah menangis.  Kaget. Brimob tak mendapatkan apa-apa. Pasukan kepolisian itu, berjumpa dengan tiga orang pria.

Mereka menggeledah dan menemukan parang dan clurit. Di Polres Luwu Utara, tiga orang mengaku hendak membunuh Nuh karena disuruh.

Sekitar pukul 20.00,  Nuh datang. Motor baru hendak menepi memasuki pekarangan. Sakinah teriak dan meminta dia mematikan lampu motor. Pasukan kepolisian datang dengan tuduhan mencuri sawit.

“Saya keluar kembali dan ke rumah Pak Lalu, sampai di sana, rupanya Pak Lalu sudah dibawa polisi,” kata Nuh.

“Saya baru mau masuk rumah. Dihadang beberapa polisi. Minta saya ikut. Saya tanya surat tugas penangkapan, mereka tidak bisa perlihatkan. Saya tetap ikut. Saya cuman bilang ke istri jaga anak baik-baik.”

Dari rumah Lalu, Nuh memacu motor ke rumah Yulius Maronda, kawan mereka. Dia pun sudah ditangkap. Keesokan hari, di Polres Luwu Utara, mereka menemui beberapa petugas meminta penjelasan. Ratusan tandan sawit sudah ada di kantor kepolisian, barang bukti disangkakan sebagai barang curian tiga orang itu.

“Jadi saya bilang, jangankan menyentuh buah, masuk ke kebun perusahaan saja tidak bisa,” kata Lalu.

Nuh, Lalu dan Yulius, dibebaskan.

Limabelas tahun berlalu, saat saya mengunjungi mereka. Nuh menggunakan kopiah hitam. Pisang goreng dari pisang mengkal yang digeprek dan rasa kriuk (di Sulawesi Selatan di namakan, pisang peppe-red) jadi penganan yang menyenangkan sembari menyuruput kopi.

“Pisang peppe memang enak. Saya hanya bisa lihat. Sudah tak ada gigi,” katanya.

“Jadi dari mulai gigi utuh, sampai gigi ompong semua, sekarang punya cucu, terus berjuang.”

Dia berharap, perjuangan di pengadilan berbuah manis dengan pengembalian hak-hak lahan warga.

 

Muhammad Nuh, 60 tahun, warga Desa Mantadulu yang lahannya dirampas PTPN XIV di Wana-wana. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,