Konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer dari tahun ke tahun diperkirakan meningkat. Berdasarkan penelitian Intergovenmental Panel on Climate Change (IPCC) 2001, pada 1800 jumlahnya diperkirakan sekitar 280 ppm. Namun, pada 1999, kandungannya melonjak ke angka 367 ppm.
Padahal, semakin tinggi karbondioksida di atmosfer maka semakin kental juga terjadinya efek rumah kaca dan perubahan pola iklim. Kondisi ini, tidak hanya merubah iklim menjadi tidak menentu tetapi juga menganggu berbagai proses biofisik makhluk hidup, seperti metabolisme dan pertumbuhan, serta ancaman kehidupan manusia.
Meskipun lautan, hutan, dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, namun aktivitas manusia dengan cara membakar material organik seperti bahan bakar fosil, industri perminyakan, gas alam, hingga kebakaran hutan dan lahan telah mempercepat pelepasan karbondioksida ke alam.
Baca: Indonesian Peatland Network Toolbox, Kotak Interaktif Perihal Lahan Gambut
Dandun Sutaryo dalam bukunya “Penghitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon” menjelaskan bahwa pengikatan karbon dari atmosfer, salah satunya, dapat dilakukan melalui proses fotosintesis. Yaitu, ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
“Hutan, tanah, laut, dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang berpindah secara dinamis di antara tempat-tempat penyimpanan. Tempat penyimpanan ini ada pada batang, cabang, kulit kayu, biji dan daun, akar, kayu mati, dan serasah,” jelasnya.
Sementara Daniel Murdiyarso dan kawan-kawan dalam factsheet “Cadangan Karbon di Lahan Gambut” menyebutkan, lahan gambut tropis mampu menyimpan karbon lebih dari 4.000 Megagram (Mg) per hektar. “Gambut merupakan jenis tanah yang mengandung 65% bahan organik, terbentuk dari daun, batang, akar tanaman membusuk yang berakumulasi di lingkungan jenuh air tanpa oksigen,” terangnya.
Fungsi dan ancaman gambut
Sejatinya, lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan dan memelihara air dalam jumlah besar, mitigasi banjir, dan menjaga ketersediaan pasokan air bersih sepanjang tahun.
Program Coordinator for Community, Biodiversity and Climate Change, Wetlands International Indonesia, Irwansyah Reza Lubis mengatakan, lahan gambut merupakan tempat penyimpanan karbon global paling signifikan yang terbentuk selama ribuan tahun. Selain sebagai gudang karbon di bawah permukaan tanah, gambut juga berfungsi sebagai penampung CO2 yang sangat besar agar tidak terlepas ke atmosfer.
“Apabila lahan gambut terganggu, karbon akan terlepas ke atmosfer menjadi CO2 yang termasuk salah satu penyebab efek gas rumah kaca, kontributor terhadap perubahan iklim global,” jelas Reza.
Baca juga: “Gambut for Beginners”: Tujuh Jawaban Penting untuk Pemula
Reza menambahkan, saat ini ancaman terbesar gambut adalah pengeringan dan kebakaran yang biasanya diiringi dengan konversi hutan. Pengeringan menyebabkan permukaan air tanah turun dan bagian yang tidak terbasahi ini akan mengalami dekomposisi sehingga karbon akan terlepas ke udara. Pelepasan ini berlangsung terus menerus, perlahan.
“Kebakaran juga mempercepat proses terlepasnya karbon ke udara, dalam waktu singkat. Akibatnya, gambut akan kempes dan turun (subsidensi) yang menyebabkan lahan kehilangan produktivitas dan fungsi regulasinya.”
Semua pihak termasuk pengusaha, pemerintah dan masyakat harus bersama menjaga gambut di Indonesia. Apabila gambut rusak, tidak akan mungkin lagi dikembalikan.
“Gambut harus dijaga kelestariannya dengan tidak melakukan pengeringan dan pencegahan terjadinya kebakaran. Gambut yang telanjur dibuka dan berada di kawasan fungsi budidaya, harus dimanfaatkan tanpa drainase dan tanpa bakar. Untuk gambut yang telah dikelola dan terletak di kawasan fungsi lindung, harus direstorasi menjadi hutan rawa gambut agar fungsi alaminya bekerja,” jelas Reza.
Hitung karbon di gambut
Penelitian Rudiyanto dan kawan-kawan yang dipublikasi dalam Jurnal Geoderma 2017, menyebutkan, penghitungan perkiraan karbon yang akurat memang memiliki hambatan. Ini dikarenakan, terbatasnya distribusi peta dan ketebalan gambut di Indonesia.
“Metode yang kami gunakan dengan pemetaan digital, menggabungkan pengamatan lapangan dengan faktor-faktor yang diketahui, tentunya mempengaruhi distribusi ketebalan gambut. Faktor-faktor ini ditunjukkan dari beberapa sumber data yang dapat diakses terbuka dan gratis. Misalnya, data ketinggian permukaan bumi secara digital (digital elevation models -DEM) dari foto Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), informasi geografis, dan gambar dari satelit radar (dari Sentinel dan ALOS PALSAR),” jelasnya.
Menurut Rudiyanto, dari data-data tersebut, diperoleh informasi berupa gambar dan peta kedalaman lahan gambut dengan resolusi spasial 30 m atau 1 piksel pada citra satelit mewakili luasan aslinya berukuran 30m x 30m. Ketebalan gambut dihitung dengan cara melakukan pengeboran di lapangan dengan kedalaman 30 cm dan hasil dari Kementrian Lingkungan dan Kehutanan yang sebelumnya telah dilakukan penelitian pada tahun 2015.
Selain itu juga, dari pengukuran berat massa tanah per satuan volume tertentu (g/cm3) dan dari kandungan karbon. Dari data-data ini, didapat perkiraan cadangan karbon di lokasi tersebut.
“Dari penelitian yang kami lakukan di Pulau Bengkalis, Provinsi Riau, dengan perhitungan luas wilayah penelitian 50.000 ha dan menggunakan metode ini, menunjukkan akurasi data 98% dengan kesalahan relatif hanya 5%. Dari segi biaya produksi peta dibutuhkan dua hingga empat bulan, sekitar $ 0,3 dan $ 0,5 per hektar. Metode ini dapat menjadi salah satu cara dalam memetakan lahan gambut skala nasional,” terangnya.
Berdasarkan buku Wahyunto dkk tentang “Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan” dijelaskan bahwa kandungan karbon pada lahan rawa gambut di Sumatera pada 2002 adalah 18.813 juta ton. Nilai kandungan karbon tertinggi terdapat di Propinsi Riau (14.605 juta ton C atau 77.63% dari total Sumatera), disusul Jambi (1.413 juta ton), Sumatera Selatan (1.470 juta ton), Aceh (459 juta ton), Sumatera Utara (377 juta ton), dan Sumatera Barat (422 juta ton). Berikutnya adalah Lampung (36 juta ton karbon) dan Bengkulu (31 juta ton) dan
Luas gambut di dunia, diperkirakan lebih dari 4 juta km2 atau 3% dari luas permukaan bumi, mewakili setengah lahan basah global. Gambut di Indonesia sendiri, dapat menyimpan 55 x 109 Mg per 20 juta hektar atau lebih dari 60% cadangan gambut global.
Referensi:
Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo H. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Bogor: Wetlands International.
Murdiyarso D, Hergoualc’h K, Basuki I, Sasmito S, Hanggara B. 2017. Cadangan Karbon di Lahan Gambut. Pusat Penelitian Kehutanan Inrernasional (CIFOR)
Rudiyanto, Minasny B, Setiawan B.I, Samtomo S.K, McBratney, A.B. 2018. Open Digital Mapping as a Cost-effective Method for Mapping Peat Thickness and Assessing the Carbon Stock of Tropical Peatlands. Geoderma 313: 25-40
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa: Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme