Bunyi mesin ketinting terhenti. Naser Mustafa, melego sauh. Pria 60 tahun ini memastikan sauh tertancap di pasir laut dangkal itu, lalu mengambil dayung dan merapatkan perahu ke bibir pantai. Pagi itu, Sabtu (29/11/17), Naser baru pulang melaut, mencari kakap dan kerapu.
“Hanya satu yang saya dapat. Saya keluar mengail sejak subuh. Mungkin hampir tiga jam saya melaut. Hasilnya, satu ekor ini,” katanya. Untuk mendapatkan, ikan karang seperti kerapu dan kakap memang tak selalu berhasil. Kadang dapat kadang juga tidak.
Hari itu, Naser diajak bertemu beberapa orang dari Jakarta yang sedang menggelar pertemuan kelompok nelayan di Desa Kaiyasa. Mereka adalah tim USAID Sustainable Ecosystem Advanced (SEA) bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) yang sedang mengidentifikasi kakap dan kerapu melalui proyek pengelolaan perikanan lewat pendekatan ekosistem.
Kaiyasa, sebuah desa di Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Desa ini masuk zona konservasi Perairan Pulau Mare, kini diusulkan jadi kawasan konservasi perairan di Malut.
Desa ini di kelilingi hutan bakau dan sebagian warga adalah nelayan kerapu dan kakap serta ikan-ikan karang lain. Wilayah tangkapan nelayan ini sampai ke Pulau Mare, di mana usulan kawasan konservasi perairan ini ditetapkan.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan kelompok nelayan sempat muncul beragam keluhan, yang disampaikan langsung kepada USAID SEA, seperti hasil tangkapan tak menentu, bahan bakar tak sebanding dengan pendapatan dan beragam keluhan lain.
“Bicara hasil tangkapan semua tergantung cuaca. Untuk jarak jauh makin kurang memadai. Juga perlu es untuk mengawetkan ikan. Kita tak bisa pergi mengail dua sampai tiga hari karena armada dan es kurang,” kata Yahya Abdul Salam, Ketua Kelompok Nelayan Kaiyasa.
Desa Kaiyasa, masuk proyek USAID SEA bersama delapan desa di Malut yang masuk cakupan pengambilan data perikanan untuk kerapu dan kakap. Proyek ini ada juga di Kecamatan Oba, yakni, Desa Guraping dan Galala.
Pendataan
Yudi Herdiana Manajer Program WCS mengatakan, untuk pendataan WCS menyiapkan para enumerator di desa sampel yang bertugas setiap pagi sampai sore menunggu nelayan datang. Lalu, mereka akan mengidentifikasi ukuran ikan dan menghitung tangkapan. Data itu terutama dua jenis ikan, kerapu dan kakap walau pendataan tak dibatasi.
Pengukuran lengkap, katanya, termasuk lokasi penangkapan guna memastikan kakap dan kerapu masih tersedia sesuai ukuran atau sudah berkurang.
“Kita mendata keseluruhan ikan ditangkap. Tujuan kita bisa mengetahui apakah ikan tangkapan berkurang atau masih banyak,” katanya.
Dalam pengumpulan data, ada dua sumber, data trip dan non trip. Data trip ini, katanya, diambil langsung dari nelayan. Sedangkan data non trip dari pedagang pengumpul.
Para enumerator pakai papan ukur, mendata ikan baru tiba mulai nama nelayan penangkap ikan, lokal ikan, nama latin, berat, panjang dan lokasi tangkapan.
Mereka juga dilengkapi laptop, tablet, kamera dan flashdisk. Data dilaporkan online dan berkembang setiap saat.
Ryan Washburn, Acting Mission Director USAID Desember lalu di Sofifi, mengatakan, USAID SEA fokus program ke Malut, Papua Barat dan Maluku, karena memiliki sumberdaya laut luar biasa.
Malut, katanya, bagian penting keragaman hayati dunia. Sebanyak 69% atau 145.819 kilometer luasan wilayah ini perairan dengan garis pantai mencapai 3.104 kilometer. Potensi perikanan tangkap mencapai 1.035.230 ton dengan produksi 251110 ton pertahun.
”Malut jadi proyek USAID SEA karena kelimpahan kekayaan hayati laut dan potensi perikanan. Juga provinsi kepulauan dengan angka kemiskinan tinggi dan rentan perubahan iklim.”
Malut, katanya, juga alami penangkapan berlebihan hingga mengancam kelestarian sumberdaya perikanan, terutama tangkap ilegal, tak memenuhi aturan maupun tak terlaporkan.
Belum lagi pencurian ikan oleh nelayan asing dengan menangkap ikan pelagis besar dan demersal. “Ini ancaman serius.” Ancaman lain, katanya, pengambilan terumbu karang.
“Proyek ini fokus penanggulangan penangkapan ikan berlebih dan perikanan merusak dengan penelitian menilai status sumber daya ikan, mengidentifikasi tumpang tindih data, evaluasi, registrasi dan sistem pengawalan serta pengembangan pelacakan kapal,” katanya.
Proyek ini, kata Washburn, juga memperkuat metode pengumpulan dan pengelolaan data, sistem desiminasi serta mengembangkan baseline guna mengukur status sumberdaya laut.
Selain itu, katanya, juga ada kegiatan komunikasi, sosialisasi dan edukasi tentang aturan perikanan dan kelautan termasuk pengembangan mekanisme insentif bagi sistem pengawasan berbasis masyarakat.
Yudi menambahkan, data akan diserahkan kepada pemerintah dan pihak terkait guna bahan pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Malut. Ia bisa jadi dasar desain pengelolaan karena akan terlihat stok perikanan sekaligus langkah pemanfaatan ke depan.
“Terpenting data buat masukan pemerintah untuk memutuskan regulasi yang akan diambil.”
Mohtar Wahid, Kepala Seksi Tata Ruang laut Dinas Kelautan dan Perikanan Malut mengatakan, daerah-daerah pencadangan kawasan konservasi itu meliputi beberapa pulau dan perairan.
Pulau- pulau termasuk perairannya itu adalah, pertama, Mare, Kecamatan Tidore Selatan, seluas 2.810 hektar meliputi pesisir 603,7 hektar dan perairan 2.206 hektar.
“Status Pulau Mare pencadangan, dengan zona inti daerah migrasi lumba-lumba meliputi Perairan Oba Tengah hingga Mare,” katanya.
Kedua, Pulau Rao, Kecamatan Morotai Selatan Barat, luas 330 hektar meliputi zona perlindungan penyu 110 hektar, penangkaran penyu 90 hektar dan zona pemanfaatan terbatas 130 hektar.
Ketiga, Pulau Jiew, terletak di Kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah seluas 192 hektar meliputi darat dan laut. Keempat, Kepulauan Widi. Ia terletak di Kecamatan Gane Timur Selatan luas 7.690 hektar meliputi zona inti 940 hektar, zona pemanfaatan terbatas 2.420 hektar dan zona lain 4.330 hektar.
Kelima, Kepulauan Gura Ici di Kecamatan Kayoa, Halmahera Selatan dengan luas masing-masing, surat keputusan bupati 6.386,64 hektar darat dan laut, SK Gubernur 1.100,25 hektar meliputi Pulau Talimau, Pulau Sapang, dan Daramafala.