Di Provinsi Aceh, diperkirakan jumlah populasi gajah sumatera yang ada sekitar 500 individu. Namun, kehidupan gajah liar tersebut menghadapi sejumlah ancaman, mulai dari pengrusakan habitat, perburuan, hingga pembunuhan karena dianggap hama.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, sejak 2012-2017, jumlah gajah yang mati di Aceh mencapai 55 individu. Dari jumlah tersebut, dua diantaranya gajah jinak yang sakit akibat terserang EEHV Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) atau herpes gajah.
“53 gajah liar yang dibunuh tersebut, ada yang ditembak, diracun, bahkan dijerat kawat yang dialiri arus listrik,” sebut Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh.
Sapto mengatakan, untuk 2017, wilayah yang paling banyak ditemukan gajah liar mati adalah Kabupaten Aceh Timur. Jumlahnya mencapai enam individu. Setiap menemukan gajah mati, BKSDA melaporkannya ke kepolisian, termasuk melakukan nekropsi untuk mengetahui penyebabnya.
“Kasus yang sudah ditangani pihak kepolisian di 2017 adalah, penembakkan gajah di Kabupaten Aceh Tengah, dan dua kematian gajah di Kabupaten Aceh Timur.”
Konflik gajah dengan manusia pada tahun 2017 juga sangat tinggi. Beberapa daerah yang sering terjadi adalah Aceh Utara, Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur, Pidie, juga Kota Subulussalam. “Meski begitu, tim BKSDA Aceh juga menemukan ada beberapa kelahiran anak gajah liar. Hal tersebut terdeteksi di beberapa kawasan hutan, bahkan ada kelompok gajah yang memiliki anak lebih dari satu individu,” jelas Sapto.
Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Krismanko Padang menyebutkan, Aceh merupakan provinsi yang memiliki populasi gajah terbesar di Sumatera. Menurutnya, perburuan gajah yang masih terjadi saat ini dikarenakan berbagai kepentingan, terutama untuk diambil gadingnya. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di beberapa daerah lain di Sumatera.
“Untuk menekan perburuan gajah sumatera, salah satu caranya adalah pemerintah melakukan gerakan nasional mencegah perburuan dan perdagangan bagian tubuh gajah. Selain itu juga, melakukan pendekatan ke berbagai pihak dan memastikan penegakan hukum terus dilakukan.”
Untuk menyelesaikan konflik gajah dengan manusia, pemerintah juga harus mencari terobosan cemerlang agar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang menjadi habitat gajah, bisa hidup berdampingan.
“Tidak ada solusi lain menyelesaikan konflik gajah dengan manusia selain manusia memahami keberadaan gajah dan menghargai gajah sebagai mahluk hidup yang juga memerlukan ruang hidup,” ujarnya.
Terkait penegakkan hukum kasus perburuan dan pembunuhan gajah sumatera, Krismanko berpendapat, saat ini belum maksimal. Di beberapa kasus masih ditemukan keterlibatan oknum sehingga para pelaku sulit ditangkap.
“Biasanya, penampung besar sulit ditemukan karena memiliki pelindung dari oknum aparat. Ini yang menjadi kendala dalam menuntaskan kasus perburuan dan perdagangan gading gajah,” tandas Krismanko.