Satu individu gajah jantan ditemukan mati di Desa Kota Dalam, Kecamatan Mekakau, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan. Saat ditemukan warga, Minggu (07/01/2018) sekitar pukul 09.00 di kebun milik Jakpar, dua gadingnya hilang, sudah dipotong. Mulutnya bersimbah berdarah dan perutnya bengkak.
“Kemungkinan besar, gajah ini mati dibunuh pemburu yang mengincar gadingnya. Dugaannya diracun, sebab tidak ada bekas luka di tubuhnya,” kata Muhroni dari Jejak Indonesia yang ke lokasi kejadian, Minggu sore.
Muhroni mengatakan, dikhawatirkan, bukan hanya satu individu gajah saja yang diracun dikarenakan gajah selalu hidup berkelompok. Akan tetapi, lokasi tempat gajah itu berkeliaran pun sudah ditebar racun. “Kemungkinan, setelah racun bereaksi, gajah ini mati saat berada di wilayah Desa Kota Dalam,” terangnya.
Kenapa gajah menuju kebun warga? Dijelaskannya, hampir semua kebun warga Desa Kota Dalam berada di Hutan Lindung Gunung Raya yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Hutan lindung ini bagian dari koridor gajah sumatera yang sebagian besar wilayah jelajahnya di TNBBS.
Koridor gajah sumatera ini ada di Kabupaten OKU Selatan, di Hutan Lindung Saka dan Gunung Raya. Kedua hutan lindung tersebut berbatasan dengan TNBBS. Menurut Hendra A. Setyawan, pendiri Jejak Indonesia, gajah sumatera di OKU Selatan nasibnya terus terancam. Selain dibunuh para pemburu, berkonflik dengan warga yang menetap dan berkebun di sekitar koridor gajah juga terjadi. “Warga marah karena kawanan gajah sering merusak kebun mereka.”
Sebenarnya, kata Hendra, konflik antara warga dengan gajah tidak perlu terjadi, jika hutan lindung dan TNBBS tidak dirambah untuk dijadikan kebun. “Sejak ratusan tahun lalu, kawasan itu sudah menjadi koridor gajah. Saat dirusak dan dijadikan kebun, jelas gajah-gajah itu marah,” ujarnya.
Bonnie Dewantara dari ZSL, yang lama bekerja di TNBBS mengatakan, dilihat dari kondisi gajah yang mati tanpa gading, membuktikan gajah tersebut dibunuh pemburu. “Itu kerja pemburu profesional, apalagi gajah itu tanpa luka tembakan atau lainnya,” katanya.
Para pemburu gajah sudah lama beroperasi di TNBBS. “Mereka mengambil gadingnya dengan wilayah operasi dari Aceh hingga Lampung,” ujarnya.
Hukuman berat
“Terkait matinya gajah tersebut, kami segera melaporkan ke BKSDA Sumatera Selatan dan kepolisian. Ini bukan persoalan sederhana. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin gajah sumatera di OKU Selatan akan habis. Dampaknya, TNBBS bukan tidak mungkin statusnya sebagai Situs Warisan Dunia akan dicabut,” kata Hendra.
Menurut Hendra, masih maraknya para pemburu liar yang mengincar gajah, harimau, dan hewan dilindungi lainnya dikarenakan adanya permintaan pasar, di Indonesia maupun international. “Gading gajah itu bernilai tinggi. Kalau tidak ada permintaan pasti akan terlindungi atau setidaknya terjaga,” katanya.
Selain itu, hukuman terhadap para pemburu masih terlalu ringan. “Kalau hanya 2-5 tahun tidak memberikan dampak berarti. Harusnya, hukuman penjaranya 10 tahun ke atas. Kalau hukuman berat, pasti akan habis atau berkurang pemburunya.”
Hukuman berat cukup beralasan, sebab apa yang mereka lakukan merusak tatanan ekologis dan keseimbangan ekosistem lingkungan. “Tuhan saja akan menghukum seberatnya, mereka yang merusak ciptaan-Nya selain manusia,” kata Hendra.
Jejak Indonesia, sebuah lembaga peduli lingkungan hidup yang basis kerja di OKU Selatan, kata Hendra, akan segera melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat yang menetap di sekitar hutan lindung. Kegiatan ini bekerja sama dengan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM).
“Tujuannya, selain menjaga satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera, juga mengajak masyarakat agar tidak lagi merambah dan membuka kebun di kawasan hutan lindung. Terlebih TNBBS,” tandasnya.
Banner: Kematian gajah sumatera tidak hanya terjadi di Sumatera Selatan, tetapi juga di Aceh. Gajah ini, beberapa waktu lalu mati akibat berkonflik dengan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia