Seorang warga Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, menemukan bangkai orangutan mengambang di sungai. Ia yang tinggal di atas rumah apung, biasa disebut rumah lanting, Senin (15/01/2018) pagi, kaget melihat sosok mayat yang tersangkut itu. Segera, ia melapor temuannya ke kepolisian setempat.
Anggota kepolisian bersama warga sekitar mengangkat jasad tersebut ke darat. Kronologis kejadian dicatat dan berita acara kematian dibuat. Selanjutnya mayat dikubur oleh staf BKSDA Kalimantan Tengah.
Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalimantan Tengah Adib Gunawan, kepada Mongabay melalui sambungan seluler mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti temuan orangutan tersebut dengan penyelidikan. “Kami berkoordinasi dengan kepolisian. Juga, melakukan pengembangan informasi dari masyarakat sekitar dan upaya lain,” katanya.
Adib belum bisa mematikan penyebab kematian orangutan tersebut. Apakah karena konflik dengan manusia atau ada kesengajaan. Saat ditemukan, kondisinya memprihatinkan. Bulu di sekujur tubuhnya rontok, kepala putus dan belum ditemukan. Tangannya hampir putus. Selain itu, ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik seperti bekas sabetan senjata tajam. Diperkirakan, sudah dua hari mayat ini hanyut.
“Agar hal serupa tak terulang, kami akan meningkatkan penyuluhan dan penyadartahuan kepada masyarakat. Khususnya, terkait satwa liar dilindungi undang-undang serta peran orangutan bagi manusia,” katanya.
Monterado Fridman, Manajer Komunikasi dan Edukasi BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) Nyaru Menteng mengatakan, pihaknya menyayangkan kejadian tersebut. “Jika benar kematian orangutan ini akibat konflik dengan manusia, sebagaimana luka benda tajam, kami mengutuk keras. Kami juga mengajak berbagai pihak untuk gencar kampanyekan pelestarian orangutan. Setop perburuan, pembunuhan dan kekerasan terhadap orangutan,” katanya.
Langsung dikubur
Sebagian pihak, menyayangkan reaksi cepat BKSDA Kalteng yang langsung mengubur mayat orangutan tersebut, tanpa dilakukan nekropsi terlebih dahulu. Proses ini dianggap penting untuk mengetahui penyebab kematiannya.
Ramadhani, Manajer Program Perlindungan Habitat COP (Centre for Orangutan Protection) mengatakan, harusnya dilakukan nekropsi atau pemeriksaan secara ilmiah oleh dokter hewan.
“Kita harus mencari tahu penyebab kematiannya. Mayat dapat diketahui apakah mati tenggelam atau mati terlebih dahulu, baru dibuang ke sungai. Hasil pemeriksaan paru-paru bisa kita lihat melalui pemeriksaan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemeriksaan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bahkan, jika kasus berlanjut ke meja hijau bisa dijadikan alat bukti. “Kematian satwa liar tidak bisa dianggap biasa. Harus ada prosedur yang dilalui, jangan langsung dikubur.”
Berdasarkan catatan COP, kasus penemuan mayat orangutan di sungai pernah terjadi di Sungai Sangatta, Kalimantan Timur, Mei 2016. Saat itu, mayat orangutan diamankan kepolisian setempat. “Berdasarkan nekropsi diketahui penyebab kematiannya, walau tersangka sampai sekarang tidak diketahui,” ujarnya.
Hal senada ditambahkan Monterado Fridman. Ia juga menyayangkan mayat orangutan langsung dikubur tanpa nekropsi. “Setidaknya kita tahu sedikit penyebab kematian atau jika mau diproses hukum bisa dilakukan.”
Menanggapi hal tersebut, Adib Gunawan mengatakan, penguburan mayat orangutan dilakukan segera karena konsisinya yang membusuk. “Dikhawatirkan menjadi sumber penyakit. Pemeriksaan awal sudah kami lakukan,” tandasnya.
Pelepasliaran
Ada kabar duka, ada pula kabar bahagia. Pada 10 Januari 2017, BOSF Nyaru Menteng melakukan pelepasliaran empat individu orangutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Terdiri dari dua jantan dan dua betina. Pelepasliaran tersebut, menjadi yang kedelapan kalinya di TNBBBR, kerja sama antara BOSF Nyaru Menteng, BKSDA Kalteng dan USAID Lestari. Total, 75 individu yang dilepasliarkan di TNBBBR.
CEO BOSF Jamartin Sihite mengatakan, empat orangutan tersebut telah sangat siap untuk hidup di alam liar. Menunda pelepasliaran mereka untuk menunggu yang lain siap bukan pilihan yang tepat. “Masih ada ratusan orangutan lain menanti di pusat rehabilitasi kami di Nyaru Menteng. Untuk mempercepat proses pelepasliaran, kami menyiapkan sejumlah pulau pra-pelepasliaran. Tahun ini direncanakan dilepaskan 200 individu orangutan, baik ke pulau pra-pelepasliaran, pulau suaka orangutan, atau hutan,” katanya.
Rehabilitasi adalah proses yang membutuhkan waktu bertahun. Orangutan bukan spesies yang bisa kita lepasliarkan begitu saja ke hutan, butuh waktu lama mengasah keterampilan bertahan hidup mereka di alam liar. “Biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Di tahun yang baru ini, mari kita susun harapan baru,” tutur Jamartin.
Heru Raharjo, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat mengatakan, pihaknya selaku penanggung jawab dan pengelola TNBBBR mengapresiasi kerja sama yang telah terbangun. “Dengan banyaknya orangutan yang hidup bebas di hutan, berarti capaian besar kita terhadap upaya konservasi berjalan baik. Semoga, akan lahir populasi liar baru yang terus berkembang,” jelasnya.
Sebagai informasi, sejak 2012 hingga saat ini, Yayasan BOS telah melepasliarkan 330 orangutan di tiga situs pelepasliaran. Di Hutan Lindung Bukit Batikap, Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, dan Hutan Kehje Sewen.