Namanya Harmoni Rimbo. Ia merupakan anak gajah sumatera yang lahir pada 21 November 2017 dari sang induk Ria, gajah anggota Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Bagaimana kondisinya saat ini?
Saya berkesempatan langsung melihat Harmoni di Camp Flying Squad, penghujung Desember 2017 lalu. Pejantan tangguh ini tampak sehat dan bermain dengan induknya. Lari kecilnya, membuat siapa saja yang menyaksikannya akan tertawa.
Mahout yang bertugas merawat Ria (40 tahun) dan Harmoni adalah Bagus Prayudi. Setiap hari, warga Kota Binjai, Sumatera Utara ini, memberikan makanan sehat bergizi untuk keduanya. Bagus juga memeriksa caling di bagian mulut sang induk, membersihkan kotoran tersisa. Pemeriksaan mata juga dilakukan, jika keluar air menandakan kondisinya baik.
Baca: Kabar Gembira dari Tesso Nilo, Satu Bayi Gajah Baru Lahir…
Bagus menjelaskan, setiap hari keduanya dibawa ke hutan terdekat. Dibiarkan beraktivitas, melahap makanan berlimpah di alam. Sore, mereka dibawa kembali ke camp. “Saya menjaga sebaik mungkin Ria dan Harmoni, agar sehat selalu. Pemberian vitamian untuk keduanya juga dilakukan,” terangnya.
Syamsidar, Communication Senior Officer WWF-Indonesia Central Sumatra Program, mengatakan, kesehatan sang induk dan anaknya cukup stabil dan aktif. Keduanya sehat.
Ria menjadi tim inti Flying Squad sejak April 2004, bersama tiga individu gajah dewasa lain yang dibawa dari Pusat Latihan Gahah (PLG) Minas. Tugasnya, membantu penanganan konflik gajah. “Selama menjadi tim inti Flying Squad, Ria sudah tiga kali melahirkan,” jelasnya.
Baca juga: Ruang Hidup Gajah di Tesso Nilo Terbatas, Bisakah Konflik Diminimalisir?
Syamsidar menuturkan, WWF menginisiasi teknik penanganan konflik manusia-gajah liar, menggunakan gajah terlatih yang dikenal dengan nama Elephant Flying Squad. Tim terdiri dari empat gajah terlatih dan delapan perawat gajah (mahout) yang melakukan patroli dan edukasi kepada masyarakat untuk penanganan konflik di sekitar Tesso Nilo.
“WWF membantu dalam penanganan konflik, bekerja sama dengan BBKSDA Riau dan Balai TNTN. Status gajah merupakan binaan dari BBKSDA Riau. WWF dengan Balai TNTN mengelola Flying Squad,” terangnya.
Soal keberlangsungan hidup gajah sumatera jinak, menurut Syamsidar, perlu mendapatkan perhatian lebih kesejahteraanya, karena memang tidak hidup di habitatnya. “Kesehatan, pakan, tempat tinggal, dan lain-lain perlu diperhatikan.”
Edukasi masyarakat
Syamsidar menyatakan, gajah yang lahir di Tesso Nilo sebagaimana Harmoni, kedepannya akan difungsikan untuk mengedukasi masyarakat dalam hal pengenalan gajah sumatera. Jangka panjangnya, untuk kebutuhan penanganan konflik.
“Gajah yang telah intensif interaksi dengan manusia, cukup rentan dilepasliarkan ke alam. Perlu adaptasi lama dan pemantauan panjang. Di Riau, populasi gajah sumatera, yang jinak maupun liar berkisar 330-340 individu. Sebanyak 146 individu ada di blok hutan Tesso Nilo.”
Tingginya perburuan, dibunuh untuk diambil gadingnya, menurut Syamsidar, harus diikuti penegakan hukum yang serius. Tujuannya, membuat pelaku jera. Saat ini, hukum yang ada kurang intensif dan relatif rendah.
“UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya No 5/1990 yang belum juga direvisi sampai saat ini, terus didorong oleh para pegiat lingkungan. Harapannya, di 2018 masuk dalam prolegnas (Program Legislasi Nasional),” tandasnya.