Pelarangan alat tangkap cantrang yang masuk dalam kelompok alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan, dipastikan tetap akan berlaku sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Penegasan tersebut diucapkan langsung Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (18/1/2018). Menurut dia, penegasan tersebut harus diucapkan, karena ada kabar simpang siur tentang status cantrang setelah berlangsung pertemuan nelayan cantrang dengan Presiden RI Joko Widodo, Selasa (17/1/2018).
baca : Presiden Janjikan Solusi untuk Cantrang, Seperti Apa?
Susi mengatakan, mengacu pada peraturan tersebut, cantrang sudah tidak boleh dioperasikan karena mempertimbangkan kelestarian laut. Tetapi, karena masih ada kapal yang belum menyelesaikan proses peralihan alat tangkap, maka Pemerintah memperbolehkan tetap beroperasi hingga batas waktu tak terbatas.
“Kita perbolehkan, tapi kapal tersebut harus melaksanakan proses pergantian ke alat tangkap baru. Kita akan bantu dan dibimbing satu per satu,” ucap dia.
Susi kemudian menyebut pernyataan resmi yang dirilis oleh Istana Presiden pada Selasa. Sesuai pernyataan resmi, nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang masih diperbolehkan selama masa peralihan berlangsung. Adapun, nelayan yang mendapatkan keistimewaan tersebut berasal dari Kota Tegal, Batang, Pati, dan Rembang.
baca : Kebijakan Pelarangan Cantrang Seharusnya Tidak Ada, Kok Bisa?
Menurut Susi, komitmen bersama tersebut disepakati setelah pertemuan dilaksanakan antara perwakilan nelayan dan Presiden serta Menteri KP. Selama komitmen tersebut dilaksanakan, nelayan ataupun pemilik kapal disepakati untuk tidak boleh menambah jumlah kapal, melakukan pemalsuan ukuran kapal, terdaftar resmi, memiliki izin, serta tidak melaut ke luar perairan Pantai Utara Jawa.
“Kapal-kapal yang kita perbolehkan untuk tetap beroperasi, juga harus melakukan ukur ulang. Kita ingin, semua komitmen itu dipatuhi bersama. Dan proses peralihan alat tangkap dilakukan dengan baik,” tutur dia.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, Susi menegaskan bahwa Permen No.2/2015 tetap berlaku dan tidak pernah ada pencabutan permen sama sekali. Dengan kata lain, kata dia, Permen akan tetap berlaku di saat proses peralihan berlangsung hingga waktu tak terbatas.
Pernyataan tersebut, juga diucapkan Susi saat menemui massa nelayan di depan Istana Merdeka, Selasa. Kata dia,”Saya tidak mau ada kapal cantrang ilegal, tidak punya ukuran, ukuran mark down masih melaut. Kemudian tidak boleh ada kapal tambahan lagi. Semua harus berniat beralih alat tangkap. Setuju? Harus. Kalau nggak setuju, tak cabut lagi.”
baca : Nelayan Cantrang Bebas dari Pidana di Atas Laut, Tapi ….
Untuk kapal yang mendapatkan toleransi sekarang, disebutkan Susi, itu adalah kapal berukuran besar atau diatas 10 gros ton (GT). Untuk kapal-kapal tersebut, proses peralihan akan melibatkan perbankan yang berperan sebagai pemberi kredit.
“Kredit macet juga akan dibantu, tapi nggak boleh bohong ukuran kapal. Kalau masih ada yang bohong tahun depan ditenggalemin. Saya ingin Anda menguasai laut Indonesia, bukan kapal-kapal ikan asing. Hidup nelayan Indonesia!” tegas dia.
Sementara, Presiden Joko Widodo mengatakan, Pemerintah akan tetap memperhatikan nasib para pemilik kapal cantrang hingga bisa menyelesaikan proses peralihan alat tangkap. Oleh itu, dia meminta kepada para pemilik kapal dan nelayan untuk menyelesaikan proses peralihan dan mematuhi kesepakatan untuk tidak menambah kapal baru.
“Kesimpulannya adalah diberikan waktu untuk sampai rampung semua, pindah dari cantrang menuju ke yang baru, tanpa ada batasan waktu pun. Tapi jangan sampai nambah kapal,” ucap Presiden.
baca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang
Satuan Tugas
Agar proses peralihan alat tangkap bisa berjalan lancar di masa transisi tambahan pada 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membentuk satuan tugas (Satgas) khusus yang dipimpin Staf Khusus Presiden RI, Widodo. Satgas dibentuk untuk membantu setiap kapal menyelesaikan proses peralihan.
Menurut Susi Pudjiastuti, dalam bekerja, satgas akan mendatangani setiap kapal yang ada di wilayah yang sudah disepakati. Kapal-kapal tersebut kemudian akan diverifikasi dengan lengkap dan dibantu proses mendapatkan kredit dari perbankan.
“Pokoknya kita akan bantu hingga tuntas. Kita dampingi mereka satu per satu. Kita arahkan mereka untuk verifikasi, dan kita arahkan mereka untuk menuju ke perbankan. Kita akan terus lakukan itu ke setiap kapal,” jelasnya.
Dalam melaksanakan tugas di lapangan, Satgas akan bekerja penuh di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) yang dikepalai Sjarief Widjaja. Proses tersebut, akan berjalan tanpa ada batasan waktu.
“Selama proses peralihan masih berlangsung, itu akan diperbolehkan cantrang untuk melaut. Tapi, kita harapkan prosesnya bisa cepat dan tidak berlarut-larut. Lagipula, setiap kapal juga memiliki karakteristik yang berbeda,” tegasnya.
baca : Kenapa Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?
Dengan adanya satgas, Susi berharap proses peralihan bisa lebih cepat dan bisa menyelesaikan persoalan cantrang yang sudah menggantung selama hampir tiga tahun. Dengan demikian, keinginan Pemerintah untuk menyelamatkan ekosistem di perairan laut Pulau Jawa bisa segera terwujud.
“Kita sudah kehilangan Bagan Siapi-api karena trawl. Sekarang kita harus bisa menyelamatkan laut di pulau Jawa,” tandasnya.
Direktur Kapal dan Alat Penangkapan Ikan (API) DJPT Agus Suherman yang ditemui terpisah, menjelaskan, pembentukan satgas yang dilakukan oleh Menteri, tidak lain karena Pemerintah ingin persoalan cantrang bisa segera tuntas dengan cara yang bijak. Persoalan cantrang, kata dia, selama ini terus berlangsung, karena belum tercapai sinkronisasi data yang tepat.
Oleh itu, Agus mengatakan, untuk sekarang pihaknya fokus pada sinkronisasi data dan fakta yang ada di lapangan dengan cara melakukan verifikasi dan validasi informasi yang sudah ada, pengecekan terhadap kapal yang men cakup ukuran kapal, memberikan pendampingan alih teknologi, perizinan, dan permodalan dari perbankan.
“Jadi, yang sekarang sedang dilakukan itu adalah menyelesaikan proses peralihan tangkap untuk kapal tersisa. Itu akan kita dampingi langsung hingga semuanya beralih,” jelas dia.
Untuk kapal yang sudah masuk dalam data verifikasi saat ini, Agus memaparkan, terdapat 1.023 unit kapal yang ada di daerah yang sudah disebut di atas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 226 unit kapal sudah berhasil diverifikasi dan diketahui berukuran di bawah 30 GT. Kemudian, sebanyak 693 unit kapal berhasil diverifikasi dengan ukuran di atas 30 GT.
“Sementara, untuk 304 kapal tersisa, hingga saat ini masih belum berhasil diverifikasi dan itu akan terus didorong untuk bisa selesai,” tutur dia.
Untuk mempercepat proses peralihan, Agus mengaku akan menghadirkan nelayan pemilik kapal berukuran besar yang sudah mengganti alat tangkap. Kapal yang sudah sukses menggunakan alat tangkap baru itu, jumlahnya mencapai 202 unit kapal dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Saat ini, kapal-kapal tersebut menangkap ikan di perairan Laut Arafura.
Peta Jalan
Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, tarik ulur kebijakan cantrang yang sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir, memperlihatkan bahwa kinerja Pemerintah masih belum solid. Dia menyebutkan, ada dua indikator yang menjadi penanda bahwa Pemerintah belum solid, yaitu:
(1) Pemerintah tidak memiliki roadmap (peta jalan) yang jelas berkenaan dengan langkah-langkah mewujudkan tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab;
(2) Mesin birokrasi tidak bekerja sebagaimana mestinya mengatasi balada cantrang yang terjadi selama 3 tahun terakhir, khususnya bagi nelayan kecil.
Tidak adanya dua indikator tersebut, menurut Halim, seharusnya tidak perlu terjadi. Mengingat, pada prinsipnya setiap alat tangkap akan selalu memberi dampak terhadap ekosistem laut. Namun, besarnya dampak bergantung pada seberapa aktif dan selektifnya jenis alat tangkap yang digunakan.
“Pilihan kebijakan yang diambil mesti berpijak pada tiga dimensi perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab, yakni lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi,” tutur dia.
Terkait keputusan untuk mengizinkan kembali kapal cantrang beroperasi, Halim menyebutkan, KKP dan instansi terkait, seperti Kepolisian dan TNI AL, mesti bersinergi memastikan berjalannya pengaturan dan mekanisme pengawasan di laut. Hal itu, untuk memastikan tidak terjadi kriminalisasi terhadap nelayan.
“Apalagi tidak spesifik disampaikan oleh pemerintah bahwa Permen 2/2015 bakal dicabut. Sejarah mencatat, KKP pernah mengeluarkan Permen Jalur Penangkapan Ikan dan Penggunaan Alat Bantu Penangkapan Ikan,” tandas dia.
Dengan catatan tersebut, Halim menilai, akan sangat baik jika KKP mengesahkan kembali peraturan tentang pengoperasian kembali nelayan cantrang sekarang. Hal itu, untuk meminimalisasi dampak buruk terhadap kelangsungan ekosistem perikanan.
Dengan adanya aturan tersebut, menurut Halim, maka aparat keamanan di laut sangat dibutuhkan untuk bisa mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran. Cara tersebut, kata dia, dilakukan pula oleh Malaysia berkenaan dengan pemakaian alat tangkap trawl (pukat tunda).
“Mereka mendorong kapal pukat tundanya beroperasi di luar wilayah pesisir atau lebih dari 12 mil. Hanya saja juga perlu dipastikan, bukan alat tangkap trawl yang dipakai di Indonesia. Karena sejarah konflik sosial juga harus dijadikan sebagai pelajaran. Disitulah kemudian lahir Keppres No.39/1980 guna mengakhiri konflik sosial akibat trawl,” tegas dia.
Senada dengan Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, dari fakta yang ditemukan di lapangan, ditemukan masih banyak nelayan yang belum mendapatkan bantuan API yang baru yang ramah lingkungan. Di antara mereka itu, adalah sekitar 1.360 nelayan Indramayu dan 320 nelayan di antaranya sudah mendapatkan pergantian alat tangkap.
Menurut Susan, permasalahan tersebut disebabkan ketidaksiapan Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah setempat dalam melaksankan proses pergantian tersebut. Fakta tersebut, menjadi salah satu dari sekian banyak fakta yang ditemukan di lapangan selama proses pergantian dilaksankan.
“Pada saat bersamaan, kami melihat pro dan kontra akan terus bergulir. Nelayan-nelayan di Kabupaten Jepara, Kabupaten Kendal (Jateng), dan Kabupaten Serdang Bedagai (Sumut) menunjukkan respon persetujuan atas adanya peraturan pelarangan alat penangkapan ikan yang diatur dalam peraturan menteri,” ucap dia.
Untuk itu, Susan menyebut, diperlukan manajemen yang baik dan peraturan yang tepat dalam melaksanakan pergantian alat tangkap cantrang dan alat lain yang dikategorikan tidak ramah lingkungan. Dengan pengaturan yang baik, maka proses akan bisa dilaksanakan dengan tertib dan sesuai harapan.
Susan menegaskan, kebijakan pelarangan alat tangkap seharusnya didasari komitmen untuk mengatur pengelolaan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Akan tetapi, dalam skema implementasi kebijakan tersebut, pihaknya mencatat ada beberapa hal yang dinilai bahwa kebijakan tersebut belum layak untuk diterapkan.
Kata Susan, catatan yang pertama adalah, adanya permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan. Implementasi kebijakan tersebut, dinilai masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda.
Kemudian, catatan yang Kedua, kebijakan alat tangkap tidak dimasukan dalam konteks yang lebih luas, dengan kebijakan lainnya. Padahal, ekosistem perairan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan karenanya penegakkan dan penindakan hukum di lapangan tidak bisa terbatas hanya kepada nelayan yang dilarang oleh kebijakan.
“Namun juga konsisten kepada seluruh aktivitas pengelolaan kelautan dan perikanan seperti reklamasi, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil yang pada dasarnya sama merusak ekosistem perairan,” tegas dia.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Pemerintah resmi melarang alat penangkapan ikan (API) yang dianggap bisa merusak lingkungan.
API yang dilarang itu adalah:
Ketiga jenis API yang dilarang itu, karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh itu, KKP merilis, pelarangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.