Pergantian alat penangkapan ikan (API) cantrang milik para pemilik kapal nelayan yang ada di wilayah Pantai Utara Jawa terus didorong selesai secepat mungkin. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membentuk satuan tugas (Satgas) untuk proses tersebut. Di sisi lain, para nelayan dan pemilik kapal menyambut positif pergantian tersebut.
Akan tetapi, menurut Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Pati Rasmijan, sebelum melakukan pergantian, para nelayan dan pemilik kapal meminta ada jaminan dari Pemerintah Indonesia untuk membantu proses pergantian secepat dan sebaik mungkin. Dengan demikian, setelah proses tersebut selesai, aktivitas penangkapan ikan bisa kembali dilakukan seperti biasa.
“Yang namanya nelayan, itu kami pakai alat tangkap apa saja mau. Tapi, yang jadi pertimbangan adalah alat tangkap tersebut harus bisa menghasilkan jumlah tangkapan yang banyak,” ucap dia saat memberi keterangan di Jakarta, Kamis (18/1/2018).
baca : Satgas Khusus Dibentuk untuk Selesaikan Polemik Cantrang?
Menurut Ramijan, jaminan yang dimaksud oleh para nelayan, adalah akses permodalan untuk membeli alat tangkap yang baru. Akses tersebut penting untuk didapatkan, karena biaya yang dibutuhkan untuk membeli alat tangkap baru sangatlah besar. Dia menyebut, biaya yang dibutuhkan per kapal berbeda-beda, tetapi besarnya mencapai miliaran rupiah.
Tak hanya mendapatkan kepastian jaminan modal, Ramijan menjelaskan, para pemilik cantrang juga meminta ada jaminan dari Pemerintah dan perbankan untuk pembayaran cicilan kredit bisa dilakukan setelah alat tangkap terpasang dengan baik dan proses pemahaman selesai dilakukan. Dengan kata lain, kata dia, pembayaran diharapkan baru dimulai setelah kapal mulai kembali melaut.
“Bisa tidak perbankan memberikan jaminan itu. Bisa tidak cicilan mulai dilakukan setelah kapal pulang dari melaut dengan alat tangkap yang baru?” tanya dia.
baca : Presiden Janjikan Solusi untuk Cantrang, Seperti Apa?
Adanya desakan jaminan seperti di atas, menurut Ramijan, muncul karena para nelayan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan akses permodalan dari perbankan. Padahal, perbankan sudah diamanahi tugas oleh Pemerintah Indonesia untuk membantu permodalan para pemilik kapal cantrang berukuran 10 gros ton (GT) ke atas.
Kata Ramijan, tugas yang dibebankan Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu, pada kenyataannya memang tidak dirasakan oleh para nelayan. Sementara, para nelayan sendiri tidak ingin menggantungkan proses pergantian hanya pada Pemerintah saja. Kata dia, jika pergantian bisa dilakukan mandiri, itu akan dilakukan saja.
“Untuk permodalan, biayanya bisa miliaran rupiah. Itu termasuk untuk alat tangkap dan juga alat pendingin (freezer). Karena kita melaut agak jauh, jadi otomatis harus ada alat pendingin,” sebut dia.
Satu lagi, Ramijan menambahkan, agar proses pemberian modal bisa lebih cepat, para nelayan meminta perbankan tidak menerapkan aturan agunan untuk jaminan pinjaman. Syarat tersebut dinilai tidak masuk akal, karena saat ini para nelayan masih terikat utang dengan perbankan untuk peminjaman dana pembelian cantrang sebagai alat tangkap.
“Kita juga masih punya utang, lalu bagaimana bisa dapat pinjaman lagi dari perbankan? Makanya, kenapa harus pakai agunan?” tanya dia.
baca : Kebijakan Pelarangan Cantrang Seharusnya Tidak Ada, Kok Bisa?
Penjelasan rinci dari Ramijan tersebut didukung penuh oleh rekan sesama nelayan yang masih berada di Jakarta. Selain dia, ada juga nelayan yang juga menjabat Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) Rembang Suyoto, Hadi Santoso dari Kota Tegal, Joko Suprihadi dari Rembang, dan nelayan cantrang asal Lampung, Kosim.
Untuk diketahui, pelarangan cantrang diberlakukan resmi oleh Pememerintah Indonesia sejak 1 Januari 2018. Pelarangan tersebut didasarkan pada kebijakan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
baca : Kenapa Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?
Modifikasi Cantrang
Berkaitan dengan pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti yang dikuatkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja yang menyatakan bahwa cantrang yang beroperasi sekarang di Indonesia, adalah cantrang yang sudah dimodifikasi, para nelayan memberikan tanggapannya.
Menurut Suyoto, cantrang memang dikategorikan alat tangkap ramah lingkungan dan itu dibuktikan sendiri oleh dirinya saat sedang ada di laut untuk menangkap ikan. Namun, penggunaan alat tangkap tersebut dewasa ini juga sudah mulai dimodifikasi oleh sejumlah nelayan dan itu dilakukan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
“Tetapi, tidak semua nelayan melakukan modifikasi. Ada yang melakukan dan ada yang tidak. Nelayan itu ada yang nakal dan tidak,” sebut dia.
Sjarief Widjaja sebelumnya menyatakan bahwa pada awal penggunaannya, cantrang adalah API yang ramah lingkungan. API tersebut muncul untuk menggantikan API yang tidak ramah lingkungan dan dilarang oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980.
“Dulu tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Lalu muncul cantrang. Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi,” ungkap dia.
baca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang
Menurut Sjarief, cantrang yang diizinkan sebenarnya tidak boleh menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan manusia. Namun, saat ini cantrang justru jaringnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, menggunakan pemberat, dan ditarik mesin.
Susi Pudjiastuti berpendapat, penggunaan cantrang selama ini menjadi penyebab konflik antar-nelayan. Kata dia, banyak nelayan yang tidak suka dengan kapal yang menggunakan cantrang. Konlfik sudah terjadi sejak dulu sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres No.39 Tahun 1980.
“Jadi banyak yang menangkap itu bukan aparat, tetapi nelayan langsung yang melaporkan, karena mereka tidak mau cantrang masuk daerah mereka. Cantrang ini menghabiskan ikan dan merusak (ekosistem),” tegas dia.
Selain itu, Susi menegaskan, pelarangan cantrang dilakukan, karena Pemerintah tidak ingin kejadian kasus Bagan Siapi-api terulang di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa. Nama yang disebut Susi tersebut, adalah sebuah kota pelabuhan sibuk di masa pemerintah Belanda dan kemerdekaan hingga masa orde baru. Tetapi, kesibukannya tidak bertahan lama, karena hasil tangkapan sudah tidak ada.
“Penyebabnya, karena Bagan Siapi-api itu alat tangkap yang digunakannya adalah trawls. Memang hasilnya banyak, tapi alamnya juga rusak banyak,” tandas dia.
Sementara Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto menyatakan, cantrang yang beroperasi dewasa ini memang sudah melenceng dari cantrang di awal kemunculan. Saat ini, cantrang yang beroperasi rerata sudah dimodifikasi hingga menyerupai alat tangkap trawls yang dilarang karena merusak ekosistem di laut.
Luky menjelaskan, penggunaan cantrang sebagai alat tangkap, memang sebaiknya dievaluasi dan diganti dengan alat tangkap lain yang lebih ramah lingkungan. Namun, penggantian tersebut sebaiknya memperhatikan kemampuan alat tangkap saat menangkap ikan yang kemampuannya menyamai cantrang atau bahkan lebih baik lagi.
“Minimal itu sama. Jadi, nelayan tidak akan keberatan jika harus diganti karena penghasilannya tidak akan berbeda. Selain itu, dengan kemampuan yang sama, alam bisa tetap dijaga dengan baik,” tutur dia.
Tak hanya mengganti alat tangkap, Luky mengatakan, untuk memulihkan ekosistem di Pantura Jawa, pengguna cantrang sebaiknya ditiadakan untuk sementara atau dilaksanakan moratorium. Selama proses itu, para pemilik kapal bisa diberi pilihan untuk melaut ke kawasan Indonesia Timur.
Menanggapi itu, Direktur Kapal dan API Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Agus Suherman mengatakan, apa yang diharapkan para nelayan cantrang sebenarnya sudah disiapkan oleh tim yang tergabung dalam Satgas Peralihan Cantrang. Bahkan, pihaknya juga sudah menyiapkan lokasi tangkapan baru yang bisa menjamin secara ekonomi bagi para nelayan cantrang.
“Jadi, kalau soal permodalan, itu dijamin perbankan. Kita akan bantu dan dampingi sampai sukses. Kita akan juga dampingi untuk peralihan teknologi dari alat tangkap lama ke alat tangkap baru. Itu untuk menjamin para nelayan tetap bisa mengoperasikan alat tangkap yang baru,” tutur dia.
Untuk saat ini, Agus menerangkan, dari hasil pendataan akhir, terdapat 1.223 kapal cantrang yang belum beralih ke alat tangkap baru di kawasan Pantura Jawa Tengah, terutama di Kota Tegal, Rembang, Pati, dan Batang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 226 kapal sudah diverifikasi sebagai kapal berukuran di bawah 30 GT. Kemudian, sebanyak 693 kapal berukuran di atas 30 GT dan sisanya adalah kapal yang belum diverifikasi.
Bagi kapal-kapal yang sudah melakukan pergantian alat tangkap, Agus menjanjikan, semuanya akan mendapatkan lokasi tangkapan baru yang lebih bagus dan kaya akan sumber daya ikan. Lokasi yang dimaksud, di antaranya adalah Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Aru, dan Laut Bitung.
Selain menunggu kapal yang sedang berganti alat tangkap, Agus menyebutkan, kawasan perairan yang disebut di atas, terutama di Indonesia Timur, saat ini sudah diisi kapal eks pengguna cantrang yang jumlahnya mencapai 1.497 unit dengan berbagai ukuran.
“Untuk kapal cantrang yang ukurannya di bawah 10 GT yang saat ini ada, kita juga sudah usulkan untuk diberikan bantuan berupa kapal baru. Jumlah yang sudah diusulkan sebanyak 3.900 kapal,” tegas dia.
Kelompok API
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Pemerintah resmi melarang alat penangkapan ikan (API) yang dianggap bisa merusak lingkungan.
API yang dilarang itu adalah :
Ketiga jenis API yang dilarang itu, karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh itu, KKP merilis, pelarangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.