Alo Gawen, duduk di taman depan Pengadilan Negeri Malili. Pria 60 tahun ini bersama beberapa warga Desa Mantadulu, beristirahat di rumput. “Mungkin tak jadi sidang,” katanya.
Seharusnya, 11 Januari 2018, ada agenda sidang antara masyarakat Mantadulu sebagai penggugat dan PTPN XIV serta Pemerintah Luwu Timur sebagai tergugat. Ini sidang ke-19, sebelumnya pada Desember 2017.
Sidang ini melibatkan ratusan penggugat dan ribuan hektar lahan di Desa Mantadulu yang dikuasai PTPN XIV sejak 1994 hingga kini. Lahan-lahan warga yang dalam berita acara disebutkan sebagai “terhisap” oleh PTPN.
Baca juga: Kala Warga Mantadulu Berjuang Rebut Lahan dari Perusahaan Sawit Negara
Beberapa orang datang ke pengadilan sejak pukul 11.00. Pada sidang ke-18, jadwal siang hari. Sayangnya, kuasa hukum penggugat dan tergugat sejak pagi sudah datang, tak mendapat kepastian.
Saya bersama Nasrun dan Amir, kuasa hukum warga, menuju ruang utama pengadilan. Dalam layar informasi, tak ada sidang hari ini.
“Tidak ada sidang?”
“Sepertinya tunda. Memang seperti itu kalau ketua majelis sidang, dan dia juga ketua pengadilan. Ada banyak kegiatan tiba-tiba,” kata Nasrun.
Tak ada pemberitahuan. “Dari pengacara kita tidak tahu kalau sidang dibatalkan. Misalkan warga yang tiba-tiba berhalangan hadir, pasti dapat marah kita. Dibilangnya membuang waktu, kalau majelis yang menunda, kita warga sabar saja,” kata seorang warga.
Jarak Mantadulu menuju Malili tempat pengadilan sekitar 60 km. Warga datang berkendaraan roda dua. Mereka saling berboncengan dan patungan membeli bahan bakar. Sidang batal dan digelar Kamis, (18/1 18). “Semoga tidak tunda lagi karena ada acara mendadak ketua pengadilan.”
Langit mulai mendung. Udara terasa gerah. Alo Gawen, merapikan kemejanya. Dua kancing depan sudah telepas. Dia orang Flores Timur –dari Larantuka. “Saya datang Luwu Timur sebagai perantau. Saya kerja sebagai kontraktor,” katanya.
Tahun 1994, melalui bendera perusahaan Gaya Bakti dan Apasco, mendapat kerjaan sebagai pemborong untuk perintisan lahan di Kampung Wana-wana, Desa Mantadulu.
Dia mempekerjakan ratusan orang. “Saya itu yang menebang semua tanaman warga. Ada jambu mete, pisang, sukun, jagung. Banyak sekali,” katanya.
“Jadi kalau ada yang bilang, di tempat itu – Wana-wana – bukan tanah garapan, keliru. Saya bekerja selama hampir tiga bulan, menghabisi semua. Itu waktu itu, saya bekerja. Jadi saya tidak peduli,” katanya.
“Sekarang, ada beberapa teman seperti Pak Yos (Yulius Moronda) ini, menghubungi saya meminta jadi saksi. Saya mau. Saya akan bilang sejujurnya.”
Alo Gawen tahu, pembersihakn lahan sebagai perintisan kebun milik PTPN untuk kebutuhan sawit. Banyak orang kampung dan para transmigran ikut bekerja dengannya. Orang-orang dengan lahan masuk kebun PTPN akan jadi plasma. Kelak akan ada pembagian hasil.
Masalah berlanjut. Ketika memasuki lahan produktif lain, ada perlawanan dari masyarakat. Warga minta, menghentikan pembersihan.
“Saya bilang. Saya ini orang yang dipekerjakan. Kalau mau keberatan ke PTPN. Jangan ke saya,” kata Alo.
Yulius Moronda, warga etnik Pamona, sejak awal jadi penggarap lahan di Mantadulu, ikut bersuara. “Saya marah. Kenapa perusahaan ini tiba-tiba datang dan ambil kami punya lahan,” kata pria 70 tahun ini.
Om Yos, begitu biasa dipanggil mendatangi PTPN XIV saat masih di Desa Tawakua. “Saya dapat penjelasan, kalau kebun kami akan jadi plasma. Selama lima tahun akan dihitung bagaimana pembagian hasil. Jadi warga tidak bekerja ekstra, hanya dapat untung langsung,” kata Yos.
Ucapan dan janji dari petinggi PTPN XIV bernama Jhon Watumena, akhirnya mengendap. Selang lima tahun, Yos kembali mendatangi PTPN. Kejelasan keberadaan lahan makin sengkarut, hingga sekarang.
“Sekarang, kami bisa apa? Kami demonstrasi, kami tanya kiri kanan. Dari mulai Palopo (waktu masih Luwu), lalu ke Luwu Utara, sampai jadi Luwu Timur. Kami tidak dipedulikan,” katanya.
“Sekarang lahan kami, sudah jadi kantor dan pabrik PTPN.”
Pencemaran
PTPN massif buka lahan sawit, membuat kondisi lingkungan berubah. Sebelumnya, udara Mantadulu sejuk, perlahan mulai gerah dan panas.
Pabrik berdiri tak jauh dari badan Sungai Mantadulu. Ia mulai mencemari. Yos berulang bilang, menemukan onggokan tandan-tandan sawit dari arah pabrik hanyut di sungai.
“Kalau dulu mau cari ikan, malam-malam cukup bakar bambu saja, bawa parang untuk lihat gabus, mas. Sekarang, bawa lampu terang benderang, ikan susah sekali didapat,” katanya.
Dia bilang, kalau banjir sekarang air keruh seperti kopi susu. Dulu, suka banjir, tetapi jernih. “Saya tak tahu, apakah ini pengaruh sawit atau bukan. Tapi tanaman baru di sekeliling kampung itu kan sawit,” katanya.
***
Wana-wana di Desa Mantadulu, punya topografi berbukit. Beberapa wilayah lain masih rawa. Ketika mengunjungi tempat itu, berkali-kali rantai motor kami putus, harus terperosok dalam kubangan tanah berlumpur.
Pada 1980, ketika gelombang transmigrasi mendatangi Mantadulu, Wana-wana, untuk perladangan dan persawahaan. Di sini, tak ada irigasi. Warga migran hanya mengandalkan proses alam. Padi ladang garap setahun sekali, saat musim hujan.
Na’am, anak transmigran dari Lombok yang ikut bapaknya Ahmad Nahar, mengatakan, keluarga Wana-wana belum menggarap lahan dengan tekun.
“Waktu itu, kami berpikir untuk menggarap penuh. Di sana, tak ada air. Kami fokus padi persawahan di dekat pemukiman,” katanya. “Saya tahu, ada beberapa teman yang lain sudah menggarap. Mereka menanam berbagai macam tanaman.”
Tahun 1982, gelombang awal transmigran ini menanam kakao. Wana-wana akhirnya jadi terbuka sedikit demi sedikit. Kakao tak bertahan lama, karena serangan hama. Warga, bertahan dengan kondisi seadanya. Beberapa yang lain memilih keluar kampung mencari penghasilan tambahan, ada ada pula menjual tanah.
Tahun 1995, Na’am ikut menjadi pekerja lepas di PTPN sebagai tenaga pembabat. Dia ikut menebang tanaman koleganya. “Jadi saya tahu tempat itu, tahun 1995, ya bukan hutan. Tidak mungkin hutan, karena sudah ada tanaman produktif. Ada pula pondok kebun warga di dalamnnya.”
Ada lagi Usman dari Lombok. Pria 52 tahun ini datang ke Mantadulu pada 1981 jadi ketua kelompok membawa 10 orang pada unit VI.
Selama pemindahan, warga migran dibekali jatah hidup selama dua tahun untuk sembako dan lahan garapan seluas dua hektar dengan rincian 25 are rumah dan pekarangan. 75 are ladang, dan satu hektar persawahan.
Selama masa pemindahan dan proses memulai hidup di tanah baru itu, warga benar-benar bergantung dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Alas hak tanah mereka, hanya status hak pakai. Baru setelah 10 tahun, warga migran mendapatkan sertifikat hak milik.
Tahun 1990, Usman menjual beberapa tanah hak miliknya. Dia meninggalkan Mantadulu. Tahun 1992, dia kembali ke Mantadulu. Tahun 1995, dia menjadi buruh lepas di PTPN. Upahnya Rp1.000 hingga Rp1.500 per hari.
Alo Gawen, Na’am, dan Usman adalah saksi yang dipersiapkan pihak penggugat untuk melawan PTPN XIV dan Pemerintah Luwu Timur. “Kenapa saya mau menjadi saksi. Karena ini penting, orang PTPN harus tahu kebenaran. Jangan selalu bilang itu hutan di Wana-wana. Tidak ada tanaman warga,” kata Alo Gawen.
“Dulu waktu saya membabat semua tanaman warga itu, saya bekerja untuk mencari kehidupan. Sekarang, saya ingin membayarnya. Supaya orang Mantadulu berhak mendapatkan kembali tanahnya. Itu pikiran saya.”