Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan hutan hujan yang membentang di 13 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Luasnya mencapai 2,25 juta hektar. KEL pun telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional oleh pemerintah dikarenakan perannya yang penting. Akan tetapi, hutan nan kaya ini justru tidak dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2013-2033.
Dalam Sidang Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh ke-5 atau forum pertemuan periodik (triwulan) anggota DPR Aceh lintas fraksi dan komisi, 19 Januari 2018, di ruang sidang utama Kantor DPR Aceh, Banda Aceh, isu revisi RTRW Aceh kembali mencuat untuk memasukkan KEL. Pertemuan tersebut, dihadiri juga oleh mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja dan Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah.
Pegiat lingkungan yang juga perwakilan masyarakat Aceh yang pernah menggugat RTRW Aceh ke Pengadilan Negeri, Teuku Muhammad Zulfikar dalam sidang bertajuk “Menuju Aceh Hebat Dalam Bingkai RPJMA Hijau” kembali mendesak DPR dan Pemerintah Aceh segera merevisi rencangan tata ruang tersebut.
“Pemerintah dan DPR Aceh harus segera merevisi RTRW Aceh dan memasukkan pengelolaan KEL dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dengan pemanfaatan lestari,” ujar TM Zulfikar, sapaannya.
TM Zulfikar berpendapat, jika KEL tidak segera dimasukkan dalam RTRW Aceh, kondisi hutan hujan tersebut akan bertambah hancur. “Berbagai kegiatan ilegal akan semakin tinggi,” terangnya.
Baca: Kawasan Ekosistem Leuser, Mengapa Penting Dimasukkan Dalam Rencana Tata Ruang dan Pembangunan Aceh?
Chairman Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh yang juga Wakil Ketua DPR Aceh, Teuku Irwan Djohan mengatakan, DPR Aceh telah memasukkan revisi atau perubahan Qanun RTRW Aceh sebagai pembahasan prioritas 2018.
“Kita telah sepakat merevisi qanun ini dan memasukkan KEL dalam RTRW Aceh. Setelah pembahasan APBA selesai, kita akan membahas Rancangan Qanun termasuk perubahannya,” sebutnya.
Irwan mengatakan, dalam survei online yang dilakukan Kaukus diketahui, 82 persen masyarakat menyatakan KEL harus dikelola secara tepat. “Masyarakat memilih, KEL harus dikelola berdasarkan RTRW yang mengedepankan konsep perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari untuk peningkatan ekonomi masyarakat atau perhutanan sosial. Tindakan pencegahan diikuti penegakan hukum serta usaha “hijau” oleh Pemerintah Aceh guna menghindari kerusakan ekologis yang lebih parah di masa mendatang,” terangnya.
Irwan menambahkan, dalam survei tersebut masyarakat juga memilih, kemiskinan di Aceh terjadi karena buruknya tata kelola sumber daya alam sehinga tidak memiliki daya ungkit perekonomian dan menimbulkan bencana alam yang merusak investasi pembangunan sebelumnya.
“Sebanyak 63% menyatakan, buruknya tata kelola sumber daya alam telah menyebabkan kemiskinan. Pemerintah Aceh harus melakukan perbaikan menyeluruh, sesuai target SDGs 10 yaitu memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif.”
Irwan juga mengatakan, kekayaan hutan Aceh harus membawa kesejahteraan bagi rakyat, dimanfaatkan tanpa merusaknya. Kawasan Ekosistem Leuser harus dapat dijadikan sentra industri jasa kreatif dari pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan lainya, seperti ekowisata, energi terbarukan dan agroforestry.
“Menurut hemat kami, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh harus mengenal sistem imbal jasa kepada wilayah hulu berupa prioritas pembangunan berbasis keunggulan wilayah masing-masing,” ungkapnya.
Kesejahteraan masyarakat
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah, mengatakan hal yang sama. Menurutnya, Pemerintah Aceh akan terus menjaga KEL dan hutan lainnya di Aceh agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Pemerintah Aceh telah mengeluarkan moratorium logging, moratorium tambang, dan kegiatan lain untuk penyelamatan hutan dan lingkungan. Terkait kegiatan ilegal yang merusak hutan, itu merupakan wewenang penegak hukum untuk menertibkannya,” terangnya.
Saat ditanya mengapa KEL tidak dimasukkan dalam RPJM Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, sebenarnya substansi keberadaan KEL bukan di RPJM, tapi di RTRW Aceh. Pemerintah Aceh juga telah memutuskan adanya revisi RTRW Aceh, sehingga bisa memasukkan KEL dalam Qanun atau Perda tersebut.
“Pertemuan Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh ini juga merekomendasi RTRW Aceh direvisi untuk memasukkan KEL. Kita sangat menghargai rekomendasi tersebut. Kalau KEL sudah masuk RTRW Aceh, otomatis akan ada dalam RPJM Aceh,” ungkap Nova Iriansyah.
Sarwono Kusumaatmadja yang menjadi narasumber dalam sidang tersebut mengatakan, hutan Aceh termasuk KEL sangat penting dijaga dari berbagai kerusakan. Bukan untuk kepentingan orang luar, tapi untuk masyarakat Aceh sendiri. “Topografi Aceh ekstrim dan rentan akan bencana hidro-meteorologi. Kalau hutan rusak, bencana akan sering terjadi, ini berdampak buruk pada masyarakat.”
Menurut Sarwono, CEU Consulting GmbH, AGRECO Consortium 2016 menyebutkan, hutan di Aceh yang luasnya mencapai 3,5 juta hektar, memiliki nilai ekonomi sebesar Rp208,2 triliun. “Produk bukan kayu, zat-zat berguna dan komuditas yang diperoleh tanpa memerlukan penebangan pohon diperkirakan bisa mencapai nilai 44 juta US Dollar,” ungkapnya.
Selain itu, sambung Sarwono, ketahanan pangan dipengaruhi oleh ketercukupan sumber air dan keragaman potensi plasma nutfah atau jasa lingkungan dari hutan. Aceh juga memiliki potensi sangat besar dalam mendukung ketahanan pangan nasional. “Aceh satu-satunya provinsi di Sumatera yang masih memiliki kelengkapan spesies kunci membanggakan yaitu harimau, badak, gajah, dan orangutan sumatera. Satwa-satwa ini akan lebih menguntungkan jika tetap hidup dan diselamatkan,” tandasnya.
Banner: Perkebunan sawit yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia