“Bebaskan Sungai Brantas dari sampah popok.” “Bebaskan Brantas dari senyawa pengganggu hormon.”
Begitu tulisan di plang papan yang dibawa beberapa orang berpakaian dan masker serba putih di seberang Istana Negara, pekan lalu. Sampah popok jadi fokus protes massa aksi yang diiinisiasi Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) ini.
Dalam kajian Ecoton, setidaknya ada tiga juta popok bekas pakai bayi yang tinggal di sekitar aliran Sungai Brantas setiap hari. Popok dengan feses yang mengandung bakteri E-coli mengendap di sungai yang digunakan minimal 6 juta warga sebagai sumber air untuk kehidupan sehari-hari.
“Kami ingin Jakarta (pemerintah pusat) mendengar. Sungai ini sungai nasional di mana 45% penduduk Jawa Timur tinggal di daerah aliran sungai Brantas. Kami ingin Brantas juga jadi prioritas, nggak hanya Citarum. Kami butuh dukungan pusat,” kata Direktur Ecoton, Prigi Arisandi.
Prigi mengatakan, kondisi pencemaran karena sampah popok tak hanya terjadi di Brantas. Hampir semua sungai di Indonesia alami kondisi ini.
Selain aksi di depan istana, Ecoton juga aksi dan melayangkan surat ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Jumat (19/1/18). Sebelum itu, mereka juga mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melaporkan masalah ini.
“Sungai Brantas adalah sungai strategis nasional sesuai peraturan Menteri PU,” katanya. Saat ini, terjadi pembiaran dengan maraak buang sampah popok bayi ke bantaran dan badan air Sungai Brantas.
Survei Ecoton pada Juli tahun lalu menemukan setiap bayi bawha lima tahun gunakan empat hingga 9 popok perhari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 mencatat 750.000 bayi tinggal di DAS Brantas.
“Karena ada mitos suleten, yang percaya jika membakar atau membuang popok ke tempat sampah maka anaknya akan kena ruam atau iritasi kulit, sebagian besar warga membuang popok ke badan air biar adem.”
Tak heran, katanya, riset World Bank tahun lalu menunjukkan komposisi sampah di laut didominasi sampah organik (44%), popok atau diapers (21%), tas kresek atau plastik (16%), sampah lain (9%), pembungkus plastik (5%), beling kaca, metal (4%), botol plastik (1%).
“Popok menempati urutan kedua sampah terbanyak di laut.”
Ecoton juga membentuk Brigade Evakuasi Popok (BEP) untuk mengurangi sampah popok di Kali Brantas. Evakuasi BEP pada 16 kota dan kabupaten yang dilewati aliran Sungai Brantas, mulai Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Kota Blitar. Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung. Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Nganjuk, Kota Batu, Kabupaten Malang dan Kota Malang.
Hasilnya, menegaskan Sungai Brantas sebagai tempat pembuangan sampah popok. Selain popok bayi(98%) juga popok dewasa (1,9%), sisanya pembalut perempuan.
Di Kali Surabaya BEP juga menemukan kondom dalam aliran sungai. Dari pengangkatan sampah di bantaran sungai dan yang tersangkut di kaki jembatan, dari 1×1 meter ditemukan 60% popok, 30% plastik kresek, sisanya sampah organik, karet, dan kayu.
Kesimpulan lain BEP, tak ada standar operasi atau prosedur penanganangan sampah popok.
“Sampah popok yang berhasil dievakuasi BEP masih banyak tertempel feses. Seharusnya sebelum dibuang, kotoran bayi ini dibuang dalam septic tank,” kata Prigi.
Dampak serius
Ketidakhadiran pemerintah dalam pengelolaan sungai menyebabkan kerusakan lingkungan serius. Sebanyak 50% bahan baku penyusun popok adalah plastik, juga absorben, gel, pelembut, phtalat, pewangi dan pemutih dikategorikan senyawa pengganggu hormon.
Dampaknya, terjadi penyimpangan ekosistem perairan berupa dominasi ikan betina (80%). Penelitian Universitas Brawijaya tahun 2013 menunjukkan, 25% ikan bader di Kali Mas Surabaya di hilir Brantas mengalami intersex.
Ancaman lain karena air Kali Brantas jadi bahan baku PDAM Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan tumpuan irigasi pertanian yang mendukung 20% stok pangan nasional.
Untuk itu, Ecoton mendesak pemerintah pusat revolusi popok dengan mengevakuasi popok dari aliran Kali Brantas, edukasi revolusi popok, menuntut tanggungjawab produsen, dan menyusun kebijakan pembebasan Brantas dari sampah popok. Juga, menertibkan bangunan liar di bantaran sungai dan memasang plakat larangan membuang sampah popok ke kali.
“Pemerintah perlu kerjasama, misal rumah sakit ibu dan anak untuk edukasi bahaya sampah popok dan mendorong ibu menggunakan popok kain yang bisa dipakai berkali-kali,” kata Prigi.
Produsen, katanya juga wajib menyediakan sarana pembuangan popok sementara atau dropping point popok (droppo) untuk kemudian jadi tanggungjawab pemkot atau pemkab mengangkat ke TPA.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kementerian lain termasuk Kementerian Perindustrian, BPOM dan Kementerian Kesehatan perlu mewajibkan produsen mencantumkan larangan membuang popok ke sungai. Juga mencantumkan standar penanganan popok bekas.
Pemerintah, katanya, diminta menyusun kebijakan pembebasan Brantas dari sampah popok dan membangun sanitary landfill khusus popok.
Isu baru?
Menanggapi aksi dan surat Ecoton, KLHK mengakui problema pencemaran sampah popok adalah masalah baru bagi pemerintah pusat. KLHK melalui Dirjen Kerusakan Lingkungan berjanji mengundang semua Dinas Lingkungan Hidup dengan daerah dialiri Sungai Brantas untuk membicarakan tanggungjawab pemerintah kota dan kabupaten.
“Dari Gakkum KLHK kita mengharapkan ada identifikasi apakah ada tindakan melawan hukum untuk membuat masyarakat jera membuang sampah popok ke sungai. Jika perlu tiap jembatan dikasih CCTV,” kata Prigi.
Keterangan foto utama: Aksi Ecoton soal sampah popok di Istana Negara, pekan lalu. Foto: Ecoton/ Mongabay Indonesia